COP27 di Tengah Krisis Energi
COP27 akan diadakan dalam situasi geopolitik yang berat, ketika dunia menghadapi krisis energi dan ancaman krisis lainnya. Percepatan transisi energi untuk memitigasi perubahan iklim akan memakan waktu lebih lama.
Pertemuan Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Ke-27 atau COP27, berlangsung 6-18 November ini di Sharm el-Sheikh, Mesir.
Berbeda situasinya dengan COP26 di Glasgow tahun lalu yang diwarnai optimisme terkait komitmen global untuk menekan laju percepatan krisis iklim, COP27 tahun ini diselimuti kabut resesi dan krisis energi global. Perang Rusia-Ukraina yang sudah berlangsung sembilan bulan dan belum ada tanda-tanda berakhir jadi pemicu utama krisis energi yang membayangi pelaksanaan COP27.
Perang memicu saling embargo antara negara-negara Barat dan Rusia. Rusia menghentikan pengiriman pasokan gas dan bahan bakar ke sejumlah negara Eropa yang selama ini bergantung padanya.
Upaya negara-negara Barat untuk mengisolasi Moskwa dengan sanksi ekonomi telah mendorong kenaikan harga energi dengan tajam. Eskalasi krisis energi masih akan meningkat ketika anggota OPEC+ dalam pertemuannya di Vienna, Austria, awal Oktober 2022, sepakat memangkas produksi hingga dua juta barel per hari mulai November 2022.
Tentu saja disrupsi pasokan energi dunia akan kembali terjadi, dengan harga minyak mentah Brent akan naik lagi, setelah sempat turun ke kisaran 93 dollar AS per barel. Pemotongan produksi OPEC+ kian memperparah krisis energi mengingat mereka menyumbang sekitar 40 persen total produksi minyak mentah dunia.
OPEC+ adalah organisasi berisi 23 negara-negara pengekspor minyak, termasuk Rusia, yang bertemu setiap bulan di Vienna, untuk memutuskan berapa banyak minyak mentah akan dimasukkan ke pasar dunia. Anggota intinya 13 negara Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), yang sebagian besar negara Timur Tengah dan Afrika.
Baca juga : Menjelang COP27 di Mesir
Tekanan geopolitik
COP27 akan diadakan dalam situasi geopolitik yang berat, ketika dunia menghadapi krisis energi dan ancaman krisis lainnya. Semua ini dapat berdampak pada tingkat ambisi yang dapat menyebabkan gangguan terhadap prioritas mitigasi perubahan iklim. Percepatan transisi energi untuk memitigasi perubahan iklim yang disepakati pada pertemuan COP26 di Glasgow tahun lalu diperkirakan akan memakan waktu lebih lama dari target semula.
Banyak negara maju di kawasan Eropa (Uni Eropa/UE) kembali mengaktivasi pembangkit batubaranya untuk mencegah krisis energi dan krisis listrik lebih dalam. Kekeringan hebat di sebagian wilayah China akibat perubahan iklim beberapa bulan lalu, menurut laporan Badan Energi Internasional (IEA, 2022), telah meningkatkan konsumsi batubara China di tingkat tertinggi tahun ini.
Sementara itu, bagi negara berkembang, khususnya negara-negara Afrika, menerapkan transisi energi tak bisa mengabaikan pertumbuhan ekonomi. Mereka berpendapat, tak boleh kehilangan kesempatan mengeksploitasi cadangan minyak dan gas mereka. Menjadi kewajiban negara maju untuk mendengarkan aspirasi Afrika dalam adaptasi dan ketahanan energi.
Eropa dianggap terlalu cepat membeli gas alam Afrika, sementara Afrika sendiri tertinggal dalam pendanaan infrastruktur hijau, jaringan pipa gas dan pembangkit listrik. Hal ini menjadikan negara-negara seperti Angola, Nigeria, atau Senegal kembali melirik bahan bakar fosil yang lebih kotor, dan menunda akses listrik bagi ratusan juta orang.
Merujuk laporan Badan Meteorologi Dunia (WMO, 2022), Afrika adalah salah satu benua yang menderita paling parah dan tak proporsional terkena dampak perubahan iklim meski hanya menyumbang kurang dari 4 persen emisi karbon global.
COP27 akan menjadi kesempatan untuk ”mengintegrasikan konsep keadilan iklim” bagi negara berkembang yang menderita akibat perubahan lingkungan yang sebagian besar diciptakan negara maju. Ketidakadilan iklim ini terbukti dan dapat dilihat semua orang.
Negara-negara di Afrika juga memiliki keterbatasan dalam ketahanan energi, yang bersifat sistemik dan laten. Berlainan situasinya dengan anggota UE sebagai representasi negara maju saat ini, yang baru menghadapi krisis energi saat terjadi konflik geopolitik. Mesir dan negara-negara Afrika lainnya masih bergulat soal ketahanan energi dengan harga yang terjangkau bagi warganya.
Sebagai tuan rumah COP27, seperti dikutip Reuters (19/7/ 2022), Mesir ingin memastikan tak ada kemunduran pada komitmen memperlambat laju perubahan iklim, bahkan ketika para pemimpin global tengah bergulat mengatasi krisis energi dan krisis pangan, serta inflasi yang tinggi. Fokus utama COP27 adalah untuk ”meningkatkan ambisi” dan menegaskan ”tidak ada kemunduran” pada komitmen dan janji yang telah dibuat di pertemuan puncak sebelumnya.
Krisis energi yang terjadi akibat konflik Rusia-Ukraina menjadikan negara-negara G20 perlu menyesuaikan kembali komitmennya terkait target transisi energi.
KTT G20 dan COP27
Sejak adanya kesepakatan iklim Paris 2015, dalam berbagai forum global, isu perubahan iklim dan krisis energi selalu menjadi topik bahasan. Momentum ini bisa jadi kontribusi Indonesia, dalam posisinya sebagai presidensi G20, memediatori kelompok negara maju dan negara berkembang dalam mitigasi krisis iklim, baik secara konseptual maupun praktik di lapangan.
Dalam hal aksi di lapangan, Indonesia telah meningkatkan target pengurangan emisi karbon, sebagaimana tercantum dalam dokumen komitmen terhadap Persetujuan Paris (Enhanced National Determined Contribution/ENDC).
Salah satu yang dimutakhirkan adalah target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia pada 2030. Sebelumnya, pada Updated NDC, target penurunan emisi sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri, kini menjadi 31,89 persen. Sementara target penurunan dengan dukungan internasional meningkat dari 41 persen menjadi 43,20 persen.
Keterlibatan organisasi internasional dan solidaritas nasional dibutuhkan saat ini, sebagaimana pernah disampaikan Presiden Joko Widodo dalam berbagai forum, seperti G7, G20, dan Global Crisis Response Group (GCRG), untuk mengatasi krisis pangan dan energi global. Bahkan kawasan yang selama ini dikenal makmur, yakni Eropa, juga terlihat rentan ketika didera krisis energi.
Ini selaras dengan hasil pertemuan menteri lingkungan hidup dan iklim negara G20 di Bali, awal September lalu, yang menyepakati sejumlah isu lingkungan, yang akan dibawa dalam pertemuan puncak G20 pada November di Bali.
Dari aspek pengendalian perubahan iklim, setiap negara sepakat untuk terus menguatkan aksi iklim. Krisis energi yang terjadi akibat konflik Rusia-Ukraina menjadikan negara-negara G20 perlu menyesuaikan kembali komitmennya terkait target transisi energi.
COP27 akan berlangsung dalam tekanan ketat krisis global. Namun, kita harus menggunakan COP27 sebagai momentum untuk menguatkan komitmen, terlepas dari semua krisis itu, bahwa darurat perubahan iklim tetap menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia.
COP adalah forum para pemimpin global untuk pencapaian target mencegah kenaikan pemanasan suhu Bumi 1,5 derajat celsius pada 2050.
Dalam pergolakan krisis energi dunia dan kenaikan harga energi, negara-negara di seluruh dunia seperti mengalami kesulitan untuk menempatkan perubahan iklim sebagai agenda utama aksi mereka. Namun, ini adalah kesalahan karena dunia menghitung mundur ke COP27 di Mesir, November ini, di mana langkah konkret komunitas global tak dapat ditunda guna mencegah krisis iklim.
Eko SulistyoKomisaris PT PLN (Persero)