Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif ditujukan bagi generasi muda agar dapat mewarisi, serta melanjutkan cita-cita dan pemikiran-pemikiran Buya Syafii. Juga agar bisa menyebarkan pemikiran Islam yang inklusif, toleran.
Oleh
MOH SHOFAN
·5 menit baca
Maarif Institute bersiap menggelar Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif pada 12 November 2022, di Surakarta, Jawa Tengah. Muktamar ini sebagai upaya untuk mewariskan nilai-nilai perjuangan dan pemikiran dari tokoh yang akrab disapa Buya Syafii itu kepada generasi muda Indonesia.
Fokus muktamar pemikiran ini adalah membahas relevansi pemikiran Buya Syafii dalam konteks tantangan keindonesiaan dan kemanusiaan hari ini. Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka syiar Muktamar Ke-48 Muhammadiyah yang akan digelar pada 19-20 November 2022 di Surakarta, Jawa Tengah.
Pemikiran Buya Maarif
Jejak langkah dan titik kisar perjalanan Buya Syafii dari tanah kelahirannya, Nagari Calau, Sumpur Kudus, di Minangkabau, Sumatera Barat hingga menjadi tokoh, bukan hanya nasional tetapi kaliber dunia, melukiskan perjuangan hidup seorang anak kampung yang tertatih-tatih, menempuh jalan bergelombang, naik turun di sana-sini, hingga akhirnya sukses mengubah nasib hidupnya. Buya Syafii bukanlah manusia yang datang tiba-tiba dari ruang kosong. Ia adalah sosok manusia yang tumbuh dari dentuman demi dentuman zaman.
Buya Syafii yang selama hidupnya telah melewati proses evolusi intelektual yang panjang, telah memberikan sumbangan pemikiran yang begitu besar dalam ilmu keislaman, kebangsaan, kemanusiaan, dan kebhinekaan di Indonesia. Pergulatan panjang Buya Syafii dengan tema seputar Islam dan politik serta keinginannya untuk menjaga nilai-nilai keagamaan--seraya mengadopsi teori, metodologi, dan konsep-konsep kenegaraan modern--terus membuatnya gelisah dan mengganggu pikiran sepanjang hidupnya. Tak heran, jika pertanyaan seputar dasar negara, model pemerintahan, serta konsep-konsep penting seperti demokrasi, toleransi, kebebasan beragama, keadilan sosial, radikalisme dan terorisme menjadi sorotan utama dalam banyak karya dan tulisan-tulisannya.
Bahkan, pada dua isu yang disebut terakhir, Buya Syafii sering mengingatkan tentang bahaya radikalisme dan terorisme. Buya sangat concern untuk menjaga Pancasila dan mewaspadai terorisme yang mengancam negeri ini.
Buya Syafii mengkhawatirkan “teologi maut” yang dapat memonopoli kebenaran terhadap kelompok lain. Para penganut paham itu berani menempuh jalan ekstrem seperti mengakhiri hidup demi membela ajarannya. “Teologi maut, berani mati karena tidak berani hidup, memonopoli kebenaran bahwa di luar kami haram. Negara tidak boleh kalah,” tegas Buya.
Pertanyaan mengapa Islam yang begitu dimuliakan dan membawa pesan-pesan moral universal bagi semesta alam gagal dipahami secara benar oleh umat, telah menjadi kegelisahan batin Buya Syafii yang dirasakannya semenjak masih di Universitas Chicago. Di universitas ini, Buya Syafii berguru dan berdialog secara intensif dengan Fazlur Rahman, yang di kemudian hari telah membuka hatinya tentang makna Alquran bagi umat Islam dan kemanusiaan seluruhnya. Buya Syafii berkeyakinan bahwa prinsip persaudaraan universal serta pengakuan atas prinsip kesatuan umat manusia, sekalipun terdiri dari berbagai suku, bangsa, dan latar belakang sejarah harus disertai dengan kesediaan menegakkan keadilan dan persaudaraan yang tulus antar manusia.
Buya Syafii dalam berbagai tulisan dan kesempatan, tak henti-hentinya menyerukan agar ungkapan " rahmatan lil-alamin" dijadikan sebagai filosofi dasar untuk memahami dan menjalankan seluruh kegiatan keagamaan.
Sebagai seorang Muslim yang paham tentang agamanya, Buya Syafii selalu berpesan bahwa Alquran telah memerintahkan agar umat manusia menggiring bola sejarah untuk mewujudkan persaudaraan universal yang menjadi keharusan metafisika. Untuk itu, Buya Syafii dalam berbagai tulisan dan kesempatan, tak henti-hentinya menyerukan agar ungkapan "rahmatan lil-alamin" dijadikan sebagai filosofi dasar untuk memahami dan menjalankan seluruh kegiatan keagamaan.
Islam adalah ajaran untuk kemanusiaan sejagat. Tidak ada hak untuk memonopoli kebenaran sebagaimana itu tampak nyata pada paham wahabisme, yang merasa benar di jalan yang sesat. Terlebih, gerakan wahabisme dan ISIS yang berkoar-koar atas nama agama telah menggoda dan merayu anak-anak muda yang frustasi untuk memilih jalan hidup yang tidak sah dan berkhianat terhadap Alquran.
Buya Syafii sangat piawai dalam mempertemukan visi teosentris yang terselubung di balik ritual-formal seluruh agama. Sehingga kajian tentang keislaman tidak terbatas kepada persoalan teologis-normatif-keagamaan, tetapi juga kontekstualisasi ajaran Islam dengan berbagai persoalan sosial kontemporer dan kemanusiaan. Tak diragukan lagi, pemikiran dan karya intelektualnya memiliki pengaruh besar dalam pembentukan tradisi intelektualisme Islam di Indonesia.
Pemikiran Buya Syafii merefleksikan komitmennya terhadap ajaran Alquran dalam menguak pikiran kitab suci tersebut dan relevansinya bagi kehidupan kontemporer. Buya juga selalu berpesan bahwa harus ada keberanian untuk melakukan terobosan dengan berpijak atas dalil-dalil agama yang dipahami secara benar dan cerdas, tekstual, sekaligus kontekstual. Buya ingin agar Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah sebuah Islam yang ramah, terbuka, inklusif, dan mampu memberi solusi terhadap berbagai persoalan bangsa dan negara.
Indonesia bagaikan sebuah kapal raksasa dengan penumpangnya yang sangat beragam. Keberagaman ini ditandai bukan hanya sebatas letak geografis,—yang terdiri atas berbagai pulau dari Sabang sampai Merauke—namun keberagaman ditunjukkan dengan beraneka suku, adat, tradisi, bahasa etnis, maupun agama, termasuk di dalamnya para penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tersebar di sudut-sudut halaman Nusantara. Ini tentu, sebuah anugerah terbesar yang jarang ditemui di dunia.
Dan, kita semua tahu hingga di usia senjanya, Buya Syafii tak surut dan berhenti menyuarakan kebenaran dan keadilan. Justru volumenya semakin menguat. Buya Syafii adalah sarana pemulihan bagi jiwa yang tersesat, sebagai penawar kegalauan di tengah kecemasan, dan kurikulum terbaik dalam universitas kehidupan—yang tak dibatasi oleh sistem kredit semester (SKS) atau waktu—yang mampu melahirkan renungan-renungan mendalam dan menuntun manusia menapaki langkah demi langkah memasuki labirin terdalam dirinya, mengenali ajaran agama sebagai panggilan kemanusiaan.
Sebab itu, sebagai institusi kultural, Maarif Institute terus bergerak dan memperjuangkan serta mensosialisasikan watak dan ciri khas Islam Indonesia sebagai agama rahmatan li al-alamin, inklusif, dan toleran serta memiliki kesesuaian dengan demokrasi yang berpihak kepada keadilan, sebagaimana dicita-citakan oleh Buya Syafii.
Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif—sebagaimana ditegaskan di awal tulisan ini—ditujukan bagi generasi muda agar dapat mewarisi, serta melanjutkan cita-cita dan pemikiran-pemikiran Buya Syafii. Juga, bisa menyebarkan pemikiran Islam yang inklusif, toleran, moderat, serta berpihak kepada kemanusiaan, kenegaraan, serta keindonesiaan. Setidaknya, anak-anak muda itu memiliki perspektif, sikap dan pendirian yang relatif sama dalam memotret dinamika, perubahan dan perkembangan kehidupan keberagaman di Indonesia.