Etnometodologi Kasus Sambo
Kasus Sambo menarik karena sarat dengan unsur drama, sensualitas, misteri, ketegangan, dan kekerasan. Namun, proses untuk membuktikan kesalahan Sambo dan para terdakwa lainnya begitu kompleks.
Di negeri semaju Amerika Serikat pun peradilan berdasarkan sistem juri pernah tersesat. Riset Michael Gross, Profesor Hukum dari Universitas Michigan, menunjukkan, antara 1989 dan 2013, setelah didakwa atas pembunuhan atau pemerkosaan, sebanyak 340 orang ternyata tak bersalah walau mereka dihukum mati atau dipenjara seumur hidup.
Salah satunya adalah Glenn Ford, terpidana mati yang dibebaskan tahun 2014 setelah puluhan tahun dipenjara di Lousiana. ”Putra-putra saya masih bayi ketika saya pergi. Kini mereka sudah dewasa dan punya bayi,” katanya getir pada hari kepulangannya.
Sejumlah kesalahan vonis hakim bagi terdakwa pernah juga terjadi di Indonesia. Di antara kasus yang terkenal adalah ketika pengadilan memenjarakan Sengkon dan Karta yang didakwa membunuh sepasang suami-istri di Bekasi pada dekade 1970-an. Di kemudian hari, terbukti ternyata mereka tidak bersalah.
Proses mengadili terdakwa bisa tersesat karena sebagai manusia biasa, para juri di Amerika atau majelis hakim di Indonesia cenderung menerapkan ”cocokologi” bukti. Mereka menghukum terdakwa berdasarkan penafsiran, tanpa bukti yang benar-benar logis. Harold Garfinkel dalam studi Etnometodologi-nya (1967), menunjukkan bahwa proses peradilan tidak pernah obyektif.
Etnometodogi mengkaji cara manusia berbahasa dalam menafsirkan dunia sosial untuk mencapai kepentingannya.
Proses mengadili terdakwa bisa tersesat karena sebagai manusia biasa, para juri di Amerika atau majelis hakim di Indonesia cenderung menerapkan ”cocokologi” bukti.
Studi ini memandang kehidupan sosial itu ringkih; tetapi manusia berilusi seakan ada ”keteraturan” dalam kehidupan mereka sehingga mereka cenderung menjustifikasi kelogisan hubungan antara sejumlah motif dan atau tindakan sosial yang sejatinya tak berkaitan.
Dalam pandangan Garfinkel, meski juri memberikan perhatian penuh pada instruksi hakim dan cara berpikir menurut undang-undang (UU), mereka lebih banyak menggunakan jenis logika yang berbeda: logika yang diasumsikan, yang mereka ungkapkan dalam frasa seperti ”siapa pun dapat melihat” bahwa ini dan itu telah terjadi.
Garfinkel menyimpulkan bahwa ”seseorang adalah 95 persen juri sebelum ia memasuki pengadilan”, dan perhatiannya terfokus pada elemen umum pengetahuan dan penalaran, yang juga dibawa warga ke ruang juri—seperti juga ke tempat lain.
Menurut Garfinkel, para juri di pengadilan Amerika, seperti juga anggota masyarakat biasa, memutuskan tindakan berdasarkan penafsiran atas apa yang disebut fakta, bukti, opini, kesalahan, apa yang pasti sudah terjadi, apa yang saksi maksudkan melalui ujarannya, dan segala hal yang dipikirkan hakim.
Melalui penafsiran mereka, para juri mampu membuahkan keputusan yang ”logis”, ”adil”, dan ”tak memihak” bagi mereka dan orang lain.
Medan interaksi simbolik
Pengadilan adalah medan interaksi simbolik, yang mempertandingkan penafsiran dari jaksa, penasihat hukum, terdakwa, dan para saksi. Permainan kata-kata yang keluar dari mulut semua aktor tersebut adalah lumrah agar hakim mendefinisikan situasi yang menguntungkan bagi pihaknya.
Majelis hakim mesti memikirkan ”teori-teori” yang disampaikan terdakwa, penasihat hukum, jaksa, dan saksi. Karena itu, tugas mereka berat.
Dalam kasus Irjen Ferdy Sambo, penasihat hukum Sambo memunculkan wacana bahwa Sambo tidak memerintahkan Richard Eliezer untuk menembak Joshua Hutabarat, melainkan hanya untuk menghajarnya. Tentu hakim harus menafsirkan, apakah masuk akal bahwa Irjen Sambo meminta Eliezer untuk menghajar Joshua, sementara Sambo pun menyerahkan sekotak peluru kepada Eliezer?
Hakim harus mendengarkan saksi lain, untuk menemukan ”kebenaran,” bukan untuk mengarahkan ke simpulan tertentu. Siapakah di antara para saksi yang menyampaikan kebenaran? Adakah saksi yang berdusta karena ia takut atau diancam atau mendapatkan keuntungan dari kasus itu?
Meminjam teori dramaturgi Erving Goffman (1959), seluruh presentasi tim jaksa atau tim penasihat hukum dan dialog mereka dengan saksi di pihak mereka atau di pihak lawan adalah panggung depan (front stage) untuk menampilkan citra tertentu untuk mendapatkan dukungan majelis hakim.
Dalam pengelolaan kesan itu, segala taktik—verbal dan nonverbal—dilakukan meski terkadang tidak relevan. Suatu dakwaan di pengadilan bisa dimanipulasi dengan bukti ”cukup”, berdasarkan rangkaian fakta yang diupayakan ”mendukung”.
Suatu dakwaan di pengadilan bisa dimanipulasi dengan bukti ”cukup”, berdasarkan rangkaian fakta yang diupayakan ”mendukung”.
Pengadilan menganut perspektif deduktif-positivis yang dipinjam dari ilmu alam, yang menganggap bahwa realitas (perilaku manusia) ditandai dengan kausalitas. Padahal, dunia hukum bukan matematika.
Berdasarkan teori interaksi simbolik, yang sejalan dengan etnometodologi, semua ucapan jaksa, penasihat hukum, terdakwa, saksi, dan hakim adalah penafsiran subyektif. Penafsiran subyektif itu dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti agama, budaya, kesukuan, pendidikan, pengalaman, keuntungan material, kepentingan kekuasaan, pencitraan, kebencian, ketakutan, dan sebagainya.
Itu sebabnya, tim pembela Sambo menganggap dakwaan jaksa terhadap Sambo tidak jelas atau tidak cermat, untuk memengaruhi hakim, sementara tim pembela Eliezer tidak mengajukan eksepsi atas dakwaan jaksa.
Dakwaan jaksa terhadap Eliezer, bahwa Eliezer diperintah Sambo untuk menembak Joshua, dianggap sudah cermat dan tepat oleh kuasa hukum Eliezer. Tujuannya untuk menguatkan dakwaan jaksa terhadap Sambo bahwa Sambo telah memerintah Eliezer untuk menembak Joshua.
Untuk memengaruhi majelis hakim dan demi tujuan pengurangan hukuman, di pengadilan seusai sidang dakwaan, Eliezer menyatakan menyesal telah membunuh Joshua, ikut berbelasungkawa dan meminta maaf kepada keluarga Joshua.
Kasus Sambo menarik karena sarat dengan unsur drama, sensualitas, misteri, ketegangan, dan kekerasan. Namun, proses untuk membuktikan kesalahan Sambo dan para terdakwa lainnya begitu kompleks.
Setelah mendengarkan saksi-saksi, penafsiran majelis hakim boleh jadi terus berubah, atau kembali lagi ke penafsiran sebelumnya, sebab mereka harus terlebih dulu yakin siapa yang mengatakan ”kebenaran”, dan siapa yang berbohong.
Ada orang yang mungkin tak berbohong, tetapi tak berterus terang karena ia tak bersedia menanggung risiko. Ada juga yang mungkin berbohong untuk mendapatkan keuntungan materi atau nonmateri.
Mustahil bagi majelis hakim untuk menerima pandangan bahwa semua orang mengatakan ”kebenaran”.
Kerumitan proses peradilan kasus dugaan pembunuhan berencana oleh Sambo diperparah oleh rantai yang hilang, terutama ketiadaan kesaksian Joshua yang telah wafat. Majelis hakim harus mempertimbangkan perilaku verbal dan nonverbal para aktor yang tampil di pengadilan.
Jangan sampai mereka terkesan oleh keterampilan bersilat lidah jaksa atau penasihat hukum, atau terpesona oleh penampilan fisik dan cara berbusana terdakwa untuk memberikan kesan tertentu.
Masih ingat, bagaimana (mantan) Jaksa Pinangki Sirna Malasari mengenakan hijab ketika diadili dan divonis tahun lalu karena korupsi. Padahal, sebelumnya ia selalu tampil modis. Begitu ia dibebaskan beberapa minggu lalu, ia pun menanggalkan hijabnya.
Masih ingat, bagaimana (mantan) Jaksa Pinangki Sirna Malasari mengenakan hijab ketika diadili dan divonis tahun lalu karena korupsi.
Banyak penasihat hukum menganjurkan agar klien mereka berbusana sedemikian rupa di ruang pengadilan. Dalam suatu pengadilan di Amerika tahun 1976, terdakwa perampokan bank, Patty Hearst, mengenakan busana lawas dan konservatif, termasuk blus yang besar dan longgar, sesuai dengan perintah penasihat hukumnya, F Lee Bailey.
Busana lawas dan gombrang dikenakan oleh terdakwa untuk melunakkan fakta bahwa ia kaya dan untuk memberikan kesan bahwa berat badannya melorot untuk membangkitkan simpati para juri.
Hukum progresif
Dalam kasus Sambo, majelis hakim seyogianya menerapkan hukum progresif seperti yang dianut oleh akademisi dan praktisi hukum Satjipto Rahardjo, Bismar Siregar, Adi Andoyo, dan Artidjo Alkostar. Prinsipnya, hukum itu buat manusia, bukan sebaliknya.
Dalam konteks ini, dialog dengan hati nurani dan penafsiran yang kreatif sangat vital karena hukum bukan sekadar seperangkat peraturan formal, melainkan juga budaya, cita-cita dan keadilan bagi masyarakat.
Majelis hakim perlu, misalnya, merenungkan pengakuan Richard Eliezer yang tidak berdaya menolak perintah atasannya yang jenderal, untuk menembak Joshua, dengan mempertimbangkan sistem komando di kepolisian dan budaya paternalisme di Indonesia.
Jika Brigjen Hendra Kurniawan saja tidak kuasa untuk menolak perintah Irjen Sambo untuk mengamankan TKP, apalagi seorang Richard Eliezer yang hanya anggota biasa.
Deddy Mulyana Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran