Mereformasi Polri
Selama 24 tahun di era reformasi, Polri bagai metamorfosis TNI AD di era Orba, kini kesempatan emas ada di tangan presiden dan segenap pejabat tinggi di pemerintahan, DPR, DPD, terlebih elite Polri untuk membenahi Polri.

ilustrasi
Mendahului reformasi 1998, Panglima ABRI saat itu, Jenderal Wiranto, mengambil kebijakan untuk melakukan reformasi internal ABRI.
Caranya dengan menghapus Dwifungsi ABRI. TNI dikembalikan ke jati diri sebagai alat negara dengan core bisnis di bidang pertahanan. Sementara Polri dipisah dari TNI dan kembali ke jati dirinya sebagai kepolisian negara dengan kedudukan sebagai bagian dari sistem hukum dan peradilan (law and justice system).
Perubahan mendasar ini merujuk kepada platform yang berlaku universal di negara demokrasi, di mana keamanan nasional adalah output dari sistem sipil, sama sekali bukan hasil kerja aparatur keamanan semata. Jika terjadi masalah keamanan, terlebih dulu harus ditangani aparatur sipil (termasuk di dalamnya Polri) dan dilakukan dengan cara-cara sipil (beradab), di mana hukum adalah panglima.
Namun, ketika aparatur sipil ternyata gagal/dipastikan akan gagal/dipastikan bakal jatuh korban, biar satu orang sekalipun, saat itu pula masalah keamanan beralih menjadi tugas militer dan dilakukan dengan cara-cara militer (supremasi militer), di mana perintah adalah hukum tertinggi.
Perubahan platform keamanan nasional ini di awal reformasi sebagian telah diwujudkan jadi kebijakan pemerintah, di mana untuk sementara kedudukan Polri di bawah Kemenhan dan kelak pada saatnya pindah di bawah Kemendagri. Atau langsung di bawah lembaga pemerintah yang menangani penegakan hukum dalam konsep law and justice system.
Baca juga : Survei Litbang ”Kompas”: Mendongkrak Citra Polri dari Kerja Nyata
Baca juga : 7 Mantan Kapolri Sampaikan Dukungan agar Polri Dapat Berbenah
Kesemrawutan rancang bangun sistem
Sangat disayangkan, setelah jatuhnya Orde Baru (Orba), awal proses reformasi lebih diwarnai dengan rebutan kekuasaan antar-penganut paham Orba. Bahkan, kedudukan Polri diubah di bawah presiden. Sementara platform keamanan nasional sebagaimana tergambar di Pasal 27 dan 30 UUD hasil empat kali amendemen belum ada perubahan dari paham yang diterapkan selama Orba.
Lebih dari itu, melalui UUD dan UU turunannya, kini rakyat malah dijadikan ”kelinci percobaan” gagasan elite bangsa (dalam hal ini anggota MPR dan pemerintah). Padahal, validitas kebenaran gagasan itu belum teruji, baik secara teori maupun praktik, di mana pun.
Bagaimana mungkin masalah keamanan nasional yang selama Orba dikenal dengan sebutan pertahanan dan keamanan (hankam) begitu saja dipisah, dengan pertahanan jadi porsi TNI dan keamanan jadi porsi Polri.

Ilustrasi
Padahal, pertahanan dan keamanan adalah satu kesinambungan perkembangan keadaan yang mustahil bisa dipisahkan satu dengan lainnya karena keduanya ”satu tarikan napas”. Keamanan yang jadi porsi Polri di era Orba sendiri adalah keamanan dalam kaitan ketertiban masyarakat, sama sekali bukan keamanan dalam arti luas, tidak termasuk dalam mengatasi keamanan dalam negeri.
Lantas bagaimana mungkin penanganan keamanan nasional secara terukur bisa efektif, terlebih saat Polri harus menghadapi kombatan karena Polri bukanlah lembaga yang disiapkan untuk menghadapi perlawanan rakyat bersenjata? Artinya, rancang bangun sistem keamanan kita justru menempatkan rakyat sebagai bakal korban. Dan, dari sana pula kini Polri dilengkapi senjata tempur.
Juga, bagaimana kita bisa mencegah ekses agar penampilan Polri tak militeristik?
Akhirnya Polri kini jadi satu-satunya lembaga kepolisian teraneh di lingkungan negara demokrasi di mana pun—militer bukan, tetapi sipil juga bukan. Sementara itu, aturan main dalam mengerahkan TNI sendiri mewajibkan bagi presiden untuk dapat persetujuan DPR terlebih dulu. Lantas, jaminan dari mana kalau presiden dipastikan tak bakal terkendala dalam mendapatkan persetujuan DPR?
Artinya, rancang bangun sistem keamanan kita justru menempatkan rakyat sebagai bakal korban.
Artinya, kembali lagi rakyat pada saat butuh negara turun tangan dengan mengerahkan TNI justru dikorbankan akibat aturan main. Terlebih jika Polri gagal atau dipastikan akan gagal menangani masalah keamanan.
Lebih parah lagi dalam penegakan hukum. Akibat keberadaan Polri belum sebagai ”Para Legal” sebagaimana dianut di semua negara demokrasi serta dihadapkan pada realitas UUD dan UU turunannya yang belum mengatur sistem peradilan yang menjamin semua aparatur penegak hukum (dalam hal ini polisi, jaksa, dan hakim) bisa mandiri, maka tak ada jaminan mereka bebas dari intervensi kekuasaan dan pengaruh uang.
Begitu pula ”tugas karya” model TNI (AD) di era Orba belakangan ini juga sedang jadi tren dalam pembinaan personel Polri. Sudah barang tentu proses ”tugas karya” bukan karena kemauan atau permintaan pimpinan Polri, apalagi arahan/perintah presiden, tetapi niscaya atas permintaan pimpinan kementerian/lembaga negara terkait. Hal ini tak bisa lepas dari kepentingan taktis mereka karena jauh lebih praktis dan efektif manakala mereka punya kedekatan dengan pimpinan, apalagi punya staf yang dijabat oleh perwira tinggi Polri.

Dari kondisi obyektif di atas, mustahil sejumlah oknum elite Polri yang duduk di jabatan tertentu tak terlibat fund rising berkolaborasi dalam praktik mafia narkoba dan hukum, judi online, ”tarif” jabatan, dan banyak lagi praktik penyalahgunaan kekuasaan bermotif uang.
Di tingkat bawah, oknum Polri yang duduk dalam jabatan tertentu juga sulit tak terlibat dalam praktik ”setoran” dari klub hiburan, rumah bordil (prostitusi), judi ilegal, hotel, dan banyak lagi sumber lain sebagaimana dulu dilakukan oknum TNI AD di masa Orba.
Perppu Keamanan Nasional
Di balik fakta sosial yang tergelar selama 24 tahun di era reformasi, di mana Polri bagai metamorfosis TNI AD di era Orba, kini kesempatan emas ada di tangan presiden dan segenap pejabat tinggi lain di pemerintahan, DPR, DPD, dan terlebih elite Polri untuk membenahi Polri. Akankah bangsa ini terus melanjutkan konsep tata kelola Polri yang mengulangi kesalahan TNI AD yang dulu selama 32 tahun menjadi alat kekuasaan?
Akankah bangsa ini terus melanjutkan konsep tata kelola Polri yang mengulangi kesalahan TNI AD yang dulu selama 32 tahun menjadi alat kekuasaan?
Mengambil hikmah dari kasus Sambo, Teddy Minahasa, dan Tragedi Kanjuruhan, tempalah besi selagi masih panas. Segera lakukan reformasi Polri sebagaimana tuntutan demokrasi.
Diperlukan Perppu Keamanan Nasional untuk mereformasi Polri, dan ini sekaligus bisa jadi ”pintu masuk” perbaikan sejumlah UU yang terkait sistem keamanan nasional, sistem hukum, dan sistem peradilan (sekaligus dengan memberlakukan sistem ”pembuktian terbalik”).
Sebab, tanpa jaminan keamanan dan kepastian hukum yang berkeadilan, sesungguhnya bangunan NKRI di era reformasi niscaya akan bermutasi jadi ”bangunan pasir” yang begitu saja akan luluh lantak saat diterjang ombak sebagaimana yang terjadi di ujung kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru.
Saurip Kadi, Wakil Ketua Tim II Penyusun Konsep Reformasi ABRI 1998

Saurip Kadi