Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Keppres No 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM disebut-sebut sebagai komitmen Presiden Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Benarkah demikian ?
Oleh
CHRISTIAN RAHMAT
·5 menit baca
Ragam reaksi muncul pasca-pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu atau Tim PPHAM.
Ihwal pembentukan Tim PPHAM ini diutarakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR, 16 Agustus 2022 lalu. Pada momen itu, Presiden Jokowi mengatakan bahwa dirinya telah menandatangani keputusan presiden (keppres) yang menjadi dasar hukum pembentukan Tim PPHAM.
Keppres No 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (Keppres 17/2022) disebut-sebut sebagai komitmen Presiden Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal yang sudah sering diucapkan Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan. Pertanyaannya, tentu, benarkah demikian?
Problematik
Faktanya, pembentukan tim ini problematik. Alasannya, pertama, tak ada rasionalisasi kesesuaian inisiatif pembentukan Tim PPHAM dengan peta jalan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Jika dicermati, upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di era Presiden Jokowi masih sporadis. Belum pernah ada peta jalan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Kedua, Tim PPHAM mengabaikan prinsip-prinsip penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Keberadaan tim ini justru mendistorsi pemahaman tentang penyelesaian secara yudisial dan penyelesaian secara nonyudisial. Penyelesaian nonyudisial seharusnya dilakukan setelah negara memenuhi hak korban atas keadilan.
Jika dicermati, upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di era Presiden Jokowi masih sporadis.
Pemulihan akan efektif hanya jika negara telah mengungkapkan kebenaran kepada para korban dan keluarganya. Bahwa negara memang telah lalai menegakkan HAM di masa lalu sehingga menyebabkan penderitaan di pihak para korban. Jika tanpa pengungkapan kebenaran, upaya pemulihan akan tampak seolah-olah sebagai kebaikan negara.
Padahal, pemulihan adalah upaya sistematis untuk, selain memenuhi hak-hak korban, juga mengungkap manipulasi sejarah yang membuat banyak orang menjadi korban pelanggaran HAM.
Ketiga, tugas Tim PPHAM berpotensi tumpang-tindih dengan tugas Komnas HAM. Contohnya, Pasal 3 huruf a Keppres 17/2022 menyebutkan Tim PPHAM bertugas melakukan pengungkapan berdasarkan data dan rekomendasi Komnas HAM. Hasil penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM dengan sendirinya adalah sebuah pengungkapan.
Lantas, pengungkapan seperti apa lagi yang hendak dilakukan Tim PPHAM? Tim PPHAM hanya akan mengulang apa yang telah dilakukan Komnas HAM. Padahal, persoalannya selama ini adalah tidak adanya upaya dari Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti temuan Komnas HAM, bukan pengungkapan yang tak efektif.
Hak korban dan kewajiban negara
Korban pelanggaran HAM berat masa lalu memiliki setidaknya tiga hak yang harus diperhatikan dalam proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Tiga hak yang kemudian dapat pula kita sebut sebagai prinsip penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut adalah kebenaran (truth), keadilan (justice), dan pemulihan (reparation).
Ketiganya terhubung satu sama lain. Pengungkapan kebenaran dengan sendirinya adalah upaya memulihkan korban, pemulihan dengan sendirinya adalah upaya memberi keadilan bagi korban dengan mengembalikannya pada posisi setara dengan yang lain, dan seterusnya. Ketiganya harus dipenuhi secara menyeluruh.
Dalam rangka memenuhi hak-hak korban tersebut, negara memiliki setidaknya empat kewajiban dalam proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Empat kewajiban itu adalah kewajiban mengingat (duty to remember), kewajiban menuntut pidana (duty to prosecute), kewajiban mengembalikan keadaan korban (duty to redress), dan kewajiban menjamin pencegahan keberulangan (guarantees of non-recurrence).
Seperti hak korban, kewajiban negara ini pun terhubung satu sama lain. Harus dilaksanakan secara menyeluruh.
Kewajiban menuntut dilaksanakan karena negara menjalankan kewajibannya untuk mengingat. Dengan menuntut pelaku di pengadilan, negara sedang berupaya mencegah keberulangan, dan dengan demikian bisa mengambil langkah konkret untuk mengembalikan keadaan korban.
Mari lihat Keppres 17/2022. Upaya mengembalikan keadaan korban melalui jalur nonyudisial tentu utopis, ketika tak ada tanda-tanda untuk menyeret pelaku ke pengadilan, alih-alih memberinya jabatan di lingkaran rezim yang berkuasa.
Membaca Keppres 17/2022, kita nyaris tak menemui prinsip-prinsip penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sebagaimana mestinya. Tim ini hanya dibebani tugas-tugas yang berpotensi tumpang-tindih dengan tugas Komnas HAM, lagi tidak mengarah pada efektivitas penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Misalnya saja, langkah untuk memberikan bantuan pendidikan (Pasal 4 Keppres 17/2022) kepada keluarga korban tak memiliki paradigma pemulihan, alih-alih terkesan sebagai santunan semata. Sebuah cara pandang yang sangat ditentang dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Memberi bantuan pada korban adalah upaya transformatif, bukan karitatif.
Masa tugas Tim PPHAM pun turut membuat kita mengerutkan dahi. Disebutkan pada Pasal 15 Ayat (1) Keppres 17/2022, Tim PPHAM akan bekerja sampai tanggal 31 Desember 2022. Ditetapkan di akhir Agustus, praktis Tim PPHAM hanya punya waktu empat bulan untuk melaksanakan tugasnya.
Ketika upaya-upaya sistematis untuk mendorong penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu (International People’s Tribunal 1965 sebagai contoh) saja masih menemui jalan buntu, nyaris tak ada alasan untuk memercayai sebuah tim kecil dapat memberi perubahan signifikan hanya dalam waktu empat bulan.
Di ayat selanjutnya, memang disebutkan bahwa masa kerja Tim PPHAM dapat diperpanjang berdasarkan keputusan presiden. Namun, lagi-lagi, hal ini justru mengonfirmasi bahwa pemerintah memang tak punya peta jalan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
Tim PPHAM lebih tampak sebagai pencitraan dibanding sebuah upaya terencana untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Pemerintah harus serius kalau ingin menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Harus ada roadmap penyelesaiannya. Pembentukan tim adalah hal teknis, yang akan sia-sia jika tanpa panduan.
Christian Rahmat Staf Divisi Studi dan Advokasi di Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (BAKUMSU)