Aspek Internasional Permohonan Pengujian UU Pengadilan HAM
Penerapan Yurisdiksi Universal di Indonesia berpotensi melanggar kedaulatan negara dan prinsip-prinsip hukum internasional. Hal ini akan mendorong terjadinya persoalan politik dan hubungan diplomatik antar negara.
Permohonan pengujian Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang diajukan beberapa pegiat hak asasi manusia di Mahkamah Konstitusi telah menjadi perhatian banyak pihak di dalam maupun luar negeri.
Tujuan utama permohonan itu adalah mendorong penerapan ”yurisdiksi universal” (YU) di Indonesia sehingga pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di luar negeri (termasuk di Myanmar) dapat diadili di Pengadilan HAM Indonesia.
Permohonan itu berkenaan dengan Pasal 5 UU Pengadilan HAM yang mengatur kewenangan Pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi di luar wilayah negara Indonesia oleh warga negara Indonesia. Pasal ini memberikan kewenangan kepada Pengadilan HAM untuk menerapkan prinsip extraterritorial jurisdiction.
Namun, kewenangan tersebut dibatasi oleh ”Asas Nasionalitas Aktif” (asas hukum pidana internasional yang juga telah diadopsi oleh Pasal 5 KUHP). Berdasarkan asas ini, ketentuan hukum pidana Indonesia dapat diterapkan secara ekstrateritorial hanya apabila kejahatan tersebut dilakukan oleh WNI.
Konsekuensi yuridis penghapusan itu adalah Pengadilan HAM akan berwenang mengadili pelanggaran HAM berat yang dilakukan di mana pun oleh warga negara mana pun.
Pemohon menghendaki pembatasan itu dihapuskan. Mereka berupaya agar Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan frasa ”oleh warga negara Indonesia” bertentangan dengan UUD 1945 dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat. Konsekuensi yuridis penghapusan itu adalah Pengadilan HAM akan berwenang mengadili pelanggaran HAM berat yang dilakukan di mana pun oleh warga negara mana pun. Dengan kata lain, penghapusan frasa itu akan memberikan kewenangan kepada Pengadilan HAM untuk menerapkan YU.
Isu YU dalam diskursus hukum internasional bukan merupakan isu yang tanpa kontroversi. Sejak 2009 sampai sekarang, Komite Hukum Majelis Umum PBB masih belum dapat menuntaskan persoalan definisi dan ruang lingkup YU. Bahkan, pada tahun 2018, persoalan YU juga disampaikan ke International Law Commission guna memperoleh pertimbangan teknis hukum mengenai penerapannya.
Perbedaan pandangan di antara negara-negara menunjukkan belum adanya pemahaman bersama tentang YU. Oleh karena itu, aspek hukum dan politik internasional yang muncul dari permohonan tersebut sudah sepatutnya mendapat perhatian khusus.
Aspek hukum internasional
Isu yang paling kontroversial dalam penerapan YU adalah keterkaitannya dengan prinsip hukum internasional tentang penghormatan kedaulatan negara. Pada pokoknya, kewenangan penuh suatu negara untuk menerapkan yurisdiksi hukumnya terbatas hanya di dalam wilayah negaranya sendiri dan tidak boleh menjangkau kedaulatan negara lain. Meskipun demikian, pembatasan tersebut tidak bersifat absolut.
Dalam situasi tertentu, hukum internasional tidak melarang penerapan hukum nasional secara ekstrateritorial. Misalnya, suatu negara dapat saja menerapkan hukum pidananya terhadap suatu kejahatan yang terjadi di luar wilayahnya sepanjang pelaku atau korban kejahatan tersebut adalah warga negaranya sendiri. Penerapan yurisdiksi secara ekstrateritorial juga diperbolehkan terhadap kejahatan yang menimbulkan dampak/kerugian terhadap kepentingan negara tersebut.
Namun, penerapan yurisdiksinya secara ekstrateritorial berdasarkan YU karakteristiknya berbeda. Suatu negara dapat menerapkan yurisdiksi hukum pidananya secara ekstrateritorial terhadap suatu kejahatan tertentu yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai hostis humani generis (musuh bersama umat manusia). Dengan bertindak atas nama masyarakat internasional, negara itu dapat mengadili kejahatan dimaksud.
Penerapan yurisdiksi pidana secara ekstrateritorial berdasarkan YU dapat dilakukan meskipun tidak ada keterkaitan antara kewarganegaraan pelaku atau korban serta dampak kejahatan tersebut dengan negara dimaksud.
Masyarakat internasional telah menyepakati secara bulat bahwa YU bisa diterapkan terhadap pembajakan di laut lepas ( piracy) dan perbudakan.
Masyarakat internasional telah menyepakati secara bulat bahwa YU bisa diterapkan terhadap pembajakan di laut lepas (piracy) dan perbudakan. Dalam perkembangannya, semakin banyak negara yang memperluas ruang lingkup YU sehingga berlaku terhadap pelanggaran HAM berat dan terorisme. Walau demikian, perbedaan pandangan tentang ruang lingkup YU terus berlangsung.
Hal ini terjadi karena sejauh ini tak ada norma hukum internasional yang secara spesifik melarang penerapan YU. Pada saat yang sama, tak ada juga ketentuan hukum internasional yang mewajibkan penerapan YU. Oleh karena itu, setiap negara melalui prosedur domestik masing-masing memiliki kebebasan untuk menetapkan penerapan YU untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, penerapan YU pada dasarnya persoalan pilihan kebijakan hukum suatu negara.
Dalam praktik, banyak negara mengkhawatirkan penyalahgunaan YU yang dapat menimbulkan dampak buruk terhadap rule of law di tingkat internasional. Akibatnya, sampai hari ini perdebatan tentang YU di Komite Hukum Majelis Umum PBB masih terus berlangsung.
Negara-negara berkembang berpandangan bahwa penerapan YU harus tetap konsisten dengan berbagai prinsip hukum internasional lainnya (misalnya prinsip penghormatan kedaulatan dan prinsip kekebalan hukum pejabat negara). Selain menekankan pentingnya peranan YU dalam menghapuskan impunitas, Indonesia juga mengimbau pentingnya kesepakatan bersama tentang ruang lingkup dan batas-batas penerapan YU. Namun, kesepakatan bersama itu masih jauh dari kenyataan.
Aspek politik internasional
Penerapan YU di Indonesia jelas berpotensi melanggar kedaulatan negara dan prinsip-prinsip hukum internasional lainnya. Hal ini tentunya akan mendorong terjadinya persoalan politik dan hubungan diplomatik antara Indonesia dan negara lain. Sejarah mencatat penerapan YU secara eksesif terhadap Adolf Eichmann telah menimbulkan ketegangan antara Argentina dan Israel pada tahun 1960. Upaya penangkapan Abdoulaye Yerodia Ndombasi (Menteri Luar Negeri Kongo) pada tahun 2000 juga menimbulkan krisis mengakibatkan krisis diplomatik yang berujung pada sengketa di International Court of Justice antara Kongo dan Belgia.
”Jurisdictional imperialism”
Negara-negara Afrika dan Amerika Latin melihat bahwa ”sasaran utama” penerapan YU adalah warga dari negara-negara berkembang. Sebaliknya, kita semua mengetahui sejauh ini belum pernah terjadi YU diterapkan terhadap kejahatan kemanusiaan yang dilakukan warga dari negara-negara maju. Oleh karenanya, sangat dimengerti apabila banyak pakar menggambarkan situasi ini sebagai jurisdictional imperialism.
Di samping itu, penerapan YU juga berpotensi mengganggu atau menghalangi prosedur national reconciliation yang dilakukan suatu negara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Negara lain dapat secara sepihak mengabaikan dengan menganggap upaya rekonsiliasi nasional ini ”tidak memadai”, dan karenanya negara tersebut dapat mengadili pelanggaran HAM yang telah terjadi berdasarkan YU.
Indonesia memiliki kebebasan untuk menerapkan YU atau tidak.
Dapat dipastikan, situasi seperti ini akan menimbulkan ketegangan hubungan diplomatik antarkedua negara tersebut. Contoh kasus yang paling menarik adalah Kasus Jenderal Pinochet yang juga menimbulkan persoalan politik antara Cile dan Spanyol. Tidak mengherankan apabila Henry Kissinger (mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat) dalam tulisannya yang berjudul ”The Pitfall of Universal Jurisdiction” di Jurnal Foreign Affairs (edisi Juli/Agustus 2001) secara khusus mengidentifikasi kendala dan problem politik yang mungkin timbul akibat penerapan YU.
Berdasarkan ulasan di atas, kita melihat pentingnya untuk melihat aspek hukum dan politik internasional dalam Permohonan pengujian UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Tidak ada ketentuan hukum internasional yang melarang atau mewajibkan Indonesia untuk menerapkan YU guna mengadili pelanggaran HAM yang terjadi di luar wilayah NKRI. Indonesia memiliki kebebasan untuk menerapkan YU atau tidak. Hal itu merupakan pilihan kebijakan hukum yang lazimnya diputuskan oleh lembaga legislatif.
Dalam menentukan pilihan kebijakan hukum tersebut sepatutnya Indonesia juga mencermati secara hati-hati potensi ramfikasi politik internasional beserta seluruh dinamikanya yang dapat muncul dari penerapan YU.
Abdul Kadir JailaniDiplomat RI/Pemerhati Isu-isu Hukum Internasional