Sir Paul McCartney terpotret berkali-kali naik ”tube”, kereta komuter di London. Pentolan Beatles itu mengingatkan tokoh publik menjadi panutan tepat untuk membumikan penggunaan dan pembangunan angkutan umum perkotaan.
Oleh
NELI TRIANA
·3 menit baca
Unggahan 21st Century City ketika foto Sir Paul McCartney naik ”tube”, sebutan warga London, Inggris, untuk kereta komuter di sana, disukai seperempat juta pemilik akun di Twitter. Kutipan legendaris, yaitu ”Negara maju bukanlah tempat di mana orang miskin memiliki mobil, tetapi ketika orang kaya menggunakan transportasi umum”, menyertai gambar itu.
Keriuhan warganet suka-suka mengomentari unggahan tersebut. Ada yang menyatakan tak selamanya kutipan bijak itu dipahami dan diwujudkan dengan keberpihakan pada masyarakat umum, terutama warga berekonomi pas-pasan.
Beberapa akun lain menyinggung kembali bahwa prinsip dasar membangun angkutan umum massal perkotaan adalah tak hanya disukai si kaya, tetapi terjangkau oleh si miskin. Prinsip lain, cakupan layanan luas dan mencapai titik awal keberangkatan serta tujuan perjalanan warga kota.
Pada pekan yang sama dengan viralnya foto pentolan grup band Beatles naik ”tube” itu muncul perdebatan lain di dalam negeri. Salah satu akun di Twitter mengingatkan layanan jaringan transportasi publik perkotaan adalah fasilitas yang sudah semestinya dipenuhi penyelenggara kota dan negara.
Pejabat perlu ikut merasakan bahwa angkutan umum kita itu tidak seperti yang digembar-gemborkan.
Kesuksesan penyelenggaraan sarana-prasarana penentu kelancaran mobilitas masyarakat tersebut tidak dinilai dari besaran profit yang diperoleh pengelolanya, tetapi kepuasan warga yang dilayaninya. Jor-joran pembangunan oleh pihak penyelenggara angkutan umum diperlukan dalam rangka peningkatan mutu layanan juga perluasan cakupannya serta integrasi antarmoda transportasi, bukan semata memoles tampilan fisik halte atau stasiun.
Pendapat serupa sebelumnya mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan salah satu lembaga di bawah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ajang diskusi itu mencoba mencari cara bagaimana menarik lebih banyak orang menggunakan angkutan umum di Jakarta, akhir pekan lalu.
Pada akhirnya, sosiolog, psikolog, praktisi perubahan perilaku, ahli transportasi, dan pakar kebijakan publik sepakat, jika ingin mengatasi kemacetan Jakarta dan sekitarnya, layanan transportasi publik mesti diperluas se-Jabodetabek.
Selain itu, mereka seragam menyebut, karena publik di negeri ini begitu mudah meniru idolanya, maka tidak bisa tidak, seorang gubernur atau penjabat gubernur, wali kota, para kepala dinas, dan jajarannya diminta ikut jadi pelanggan angkutan umum. Itu sekaligus untuk merasakan hasil kebijakannya sendiri. Para pesohor alias selebritas juga perlu digandeng dalam kampanye penggunaan transportasi publik.
”Pejabat perlu ikut merasakan bahwa angkutan umum kita itu tidak seperti yang digembar-gemborkan. KRL cepat dan murah dibandingkan naik bus atau kendaraan pribadi di jam sibuk. Katanya aman-nyaman, nyatanya tiap pagi dan sore berdesak-desakan. Tak ada jarak antarorang. Mepet semua,” kata salah satu pakar memaparkan isu seputar angkutan umum dalam diskusi.
Belum lagi horornya praktik pelecehan seksual di angkutan umum. Kisah seorang perempuan yang trauma karena dilecehkan berkali-kali dalam sehari saat naik KRL yang dibagikan melalui media sosial sungguh sangat mencekam. Kondisi tersebut makin membuat banyak perempuan berpikir ulang untuk naik angkutan umum.
”Kenapa di Jakarta dengan moda angkutan umum cukup banyak dan cakupan layanannya luas, jumlah penggunanya belum signifikan? Pengguna KRL 1 juta-an orang per hari, bus Transjakarta di bawah itu, moda lain jauh lebih kecil. Padahal, warga Jakarta saja lebih dari 10 juta jiwa ditambah komuter dari tetangga Jakarta bisa 5 juta-7 juta orang per hari. Sebagian besar masih pakai kendaraan bermotor pribadi. Pantas macet terus,” timpal peserta diskusi lainnya.
Penyebabnya, ternyata tidak semua rute yang tersedia sesuai kebutuhan riil masyarakat. Kawasan-kawasan padat penduduk di Jakarta Utara dan kota lain di Ibu Kota, misalnya, masih ada yang justru jauh dari halte atau stasiun. Di kota tetangga Jakarta, layanan angkutan umum bahkan amat sangat sedikit.
Di lapangan begitu terasa pengelola transportasi umum perkotaan berlomba membenahi halte, jembatan menuju halte, stasiun, dan agresif mencari celah pengembangan usaha dengan memanfaatkan sarana-prasarana yang dikelolanya. Ironisnya, penataan dan pengembangan rute dan kapasitas angkutan yang begitu dibutuhkan publik justru bisa dikatakan berjalan sepelan siput.
Alasannya, membangun rute baru, menambah koridor layanan, membutuhkan riset mendalam dan memakan waktu bertahun-tahun dengan biaya jauh dari murah. Bandingkan dengan membuat halte ikonik yang bisa selesai dalam hitungan bulan saja. Namun, manfaatnya lebih untuk pelesiran semata.
Jika para pesohor seperti Sir Paul McCartney turut merasakan dan menyuarakan situasi riil yang timpang itu, diyakini dapat memicu perubahan baik dalam pembangunan angkutan umum perkotaan secara cepat.
Laporan Daily Mail, Oliver Wong senang bukan kepalang menyadari dirinya berada dalam kereta yang sama dengan musisi berusia di atas 70 tahun itu. McCartney dengan kekayaan pribadi ratusan juta poundsterling atau triliunan rupiah itu disebut membumi naik ”tube” dengan pakaian sederhana.
Kebiasaan McCartney membuat rakyat biasa seperti Wong bangga dan berbesar hati menjadi pengguna angkutan umum yang murah meriah. Sebagian orang pun langsung terinspirasi menjajal naik angkutan umum. Namun, tentu saja semangat itu tak akan bertahan lama jika kualitas layanan transportasi perkotaan tak ditingkatkan. Yuk, Jabodetabek segera bergerak dan berbenahlah.