Pemimpin dan Penerimaan Pasar
Meski keturunan India Rishi Sunak terpilih sebagai PM Inggris yang baru. Sunak dianggap punya kapasitas untuk menangani perekonomian Inggris yang sedang tertekan. Pasar tidak mau berkompromi dengan persoalan sentimentil.
September lalu Inggris memilih Liz Truss sebagai perdana menteri menggantikan Boris Johnson. Ratu Elizabeth II mengikuti pilihan anggota Partai Konservatif dan menugaskan Truss membentuk pemerintahan.
Hanya 44 hari setelah memerintah, Truss memutuskan meletakkan jabatannya. Kebijakan ekonomi yang diambil untuk menurunkan pajak kepada kelompok berpendapatan tinggi ternyata dianggap sebagai keputusan populis yang membahayakan ekonomi Inggris.
Pasar langsung menghukum kebijakan pemerintahan Truss yang dinilai tidak masuk akal. Nilai surat berharga Inggris langsung ambruk di pasar karena orang merasa berisiko memegang obligasi Inggris. Pound sterling pun terpuruk nyaris sama nilainya dengan dollar AS. Bank sentral Inggris harus mengambil langkah drastis dengan menggelontorkan cadangan devisa untuk menyelamatkan perekonomian dari keambrukan.
Baca juga : Liz Truss, Thatcher Baru, dan Indonesia
Baca juga : PM Inggris, Liz Truss Mengundurkan Diri
Truss yang menyadari kekeliruannya sempat mencoba mengoreksi kebijakan Menkeu Kwasi Kwarteng. Namun, kebijakan U-turn yang ditempuh Truss kian memperpuruk kredibilitas pemerintahannya. Untuk menyelamatkan perekonomian dari keterpurukan lebih dalam, ia memutuskan mundur.
Setelah empat hari terjadi kekosongan kepemimpinan nasional, anggota Partai Konservatif, Senin (24/10/2022), memilih Rishi Sunak sebagai PM yang baru. Sunak yang dikalahkan Truss dalam pemilihan pada September lalu dinilai sebagai pilihan terbaik Inggris untuk saat ini.
Meski keturunan India, Sunak dianggap punya kapasitas untuk menangani perekonomian Inggris yang sedang tertekan. Sebagai mantan menkeu pada pemerintahan Boris Johnson, Sunak tahu langkah yang diperlukan guna menyelamatkan rakyat Inggris dari kesulitan.
Saat kampanye pemilihan PM sebelumnya, ia telah mengajukan usulan untuk membangun fiskal yang lebih kredibel. Kebijakan ekonomi yang ditawarkan Sunak memang akan menyakitkan rakyat Inggris dalam jangka pendek. Namun, pil pahit itu harus diambil untuk membangun kembali ekonomi Inggris yang sedang tertekan.
Tidak bisa dihindari
Dengan tingkat inflasi yang sudah di atas 11 persen, Inggris tidak punya pilihan lain kecuali menaikkan suku bunga. Bank of England sudah beberapa kali meningkatkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi. Suku bunga Inggris yang sejak 2010 selalu di bawah 0,5 persen, pada September lalu sudah meningkat menjadi 2,25 persen. Kecenderungan suku bunga yang terus meningkat ini sejalan dengan angka inflasi yang belum juga bisa dikendalikan.
Konsekuensi dari kenaikan bunga ini adalah naiknya suku bunga pinjaman masyarakat. Tingkat mortgage perumahan di Inggris memang sudah bergerak naik. Nilai saham otomatis juga turun karena mereka yang punya kelebihan dana memilih memegang pound sterling. Di sisi lain, nilai tukar pound sterling mengalami tekanan.
Meski keturunan India, Sunak dianggap punya kapasitas untuk menangani perekonomian Inggris yang sedang tertekan.
Sejak pemilihan pada September lalu, Sunak sebenarnya calon terkuat. Hanya karena masih kuatnya ”sentimen negatif terhadap pemimpin kulit berwarna”, anggota Partai Konservatif menolak memilihnya. Mereka memilih Truss meski ia tak cukup berpengalaman menangani ekonomi. Namun, pasar tidak mau berkompromi dengan persoalan sentimentil.
Bagi pasar, yang lebih utama adalah rasionalitas. Dalam situasi perekonomian negara yang sedang tertekan, yang dibutuhkan adalah fiskal yang kredibel. Hanya dengan fiskal yang lebih masuk akal, perbaikan ekonomi bisa diharapkan. Truss tidak sanggup melawan pasar.
Ketika kebijakan pemerintahannya dinilai tak masuk akal dan membahayakan perekonomian Inggris, pasar tanpa ampun menghukumnya. Bank sentral Inggris harus membayar kekeliruan kebijakan itu dengan harga yang sangat mahal.
Sekarang, anggota Partai Konservatif menyadari, dalam menghadapi ”badai sempurna yang panjang” (perfect long storm), yang dibutuhkan adalah kebijakan anggaran negara yang kredibel. Inggris membutuhkan anggaran belanja yang memungkinkan pemerintahan bisa berjalan normal, pemerintahan yang mampu menjalankan kebijakan prorakyat, serta mampu menjadi stimulus bagi kebangkitan kembali ekonomi.
Pelajaran berharga
Pergantian tiga PM hanya dalam kurun kurang dari dua bulan di negara yang sudah matang demokrasinya memberi pelajaran bagi kita di Indonesia. Bahwa demokrasi tak pernah bisa diterapkan secara taken for granted. Rasionalitas harus menjadi dasar dalam memilih pemimpin. Tepat juga apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo saat menyampaikan pidato pada peringatan ulang tahun ke-58 Partai Golkar.
Kritikan ”mengapa demokrasi tidak bisa berjalan” umumnya terjadi ketika pemimpin dipilih berdasarkan popularitas daripada kemampuan menghadapi tantangan yang ada.
Analogi memilih seorang pilot atas dasar benefit yang diberikan bukan atas dasar kemampuan yang dimiliki sangatlah tepat. Ketika keputusan untuk memilih orang yang akan membawa bangsa ini ke tujuan besar lebih didasarkan kepada pertimbangan populisme, yang akan dikorbankan adalah keselamatan bangsa.
Kebijakan salah pilih yang terjadi di Inggris dampaknya akan sangat panjang.
Kebijakan salah pilih yang terjadi di Inggris dampaknya akan sangat panjang. Semua orang akan menunggu sejauh mana pemerintahan baru akan mampu mengambil kebijakan yang kredibel. PM Rishi Sunak tidak bisa lagi melakukan kebijakan trial and error. Ia harus langsung membuat kebijakan yang tepat dan yang paling utama dinilai pasar sebagai kebijakan yang masuk akal.
Sunak beruntung mendapatkan respons awal yang positif dari pasar. Pasar Modal London langsung naik 0,5 persen setelah ia dipastikan menjadi PM Inggris menyusul mundurnya Ketua House of Common Penny Mordaunt dari pencalonan.
Pound sterling pun menguat menjadi 1,12 dollar AS. Namun, perjalanan Sunak masih panjang. Dalam pidato perdana seusai mendapat restu dari Raja Charles III sebagai PM Inggris, Selasa (25/10), Sunak berjanji untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada pemerintah.
Selasa sore, ia langsung membentuk kabinet dengan mempertahankan beberapa menteri yang mendapatkan kepercayaan dari pasar, seperti Jeremy Hunt sebagai menteri keuangan, James Cleverly sebagai menteri luar negeri, dan Ben Wallace sebagai menteri pertahanan.
Tantangan ekonomi
Semua negara dihadapkan pada tantangan ekonomi yang tak ringan. Ketegangan geopolitik yang bercampur dengan upaya pemulihan ekonomi global dari pandemi Covid-19 dan perubahan iklim membutuhkan kebijakan terukur dan hati-hati.
Apalagi, kita dihadapkan pada keinginan untuk bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Dengan bonus demografi yang waktunya kian pendek, Indonesia harus mampu memacu pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen per tahun.
Pertumbuhan yang konsisten 6 persen hanya bisa dicapai apabila mampu menarik investasi. Padahal, investasi selalu berkorelasi negatif dengan tingkat suku bunga. Kebijakan suku bunga tinggi yang diterapkan seluruh negara di dunia otomatis akan menekan tingkat investasi. Dengan tingkat investasi yang menurun, lapangan kerja akan ikut berkurang dan pada gilirannya akan menurunkan kesejahteraan masyarakat.
Calon pemimpin Indonesia yang akan datang harus memahami ekonomi.
Dengan kondisi seperti ini, ditambah pilpres yang akan berlangsung pada 2024, tidak mudah untuk mengendalikan ekonomi. Semua pihak harus sama-sama ikut menjaga stabilitas politik dan stabilitas sosial yang kita miliki sekarang ini.
Calon pemimpin Indonesia yang akan datang harus memahami ekonomi. Sebab, tantangan terberat yang juga harus dihadapi Indonesia adalah persoalan ekonomi.
Mereka yang memiliki ambisi sebagai presiden harus mulai juga memikirkan kabinet yang akan dibentuknya. Terutama para menteri ekonomi, harus yang benar-benar mengerti persoalan. Bahkan, bukan hanya mengerti, melainkan bisa diterima pasar.
Suryopratomo Duta Besar Indonesia untuk Singapura