Teater “Healing” dari Nusa Damai
Banyak tempat melukat yang kemudian seperti bertriwikrama, dari yang tadinya bernuansa sakral dan hanya untuk kepentingan upacara, kini sebagian tempat itu “menerima” jasa healing.
Bali seperti pertunjukan teater yang tak pernah selesai. Babak demi babak, sejak era pra-kolonial sampai pasca pandemi Covid-19, permainan di atas panggung itu masih terus bersambung. Para sutradara, produser, dan aktor-aktornya senantiasa mereproduksi sebuah teater metafisis yang benar-benar tak pernah habis. Kekuatan utamanya, bagaimana mereka menghubungkan antara jero (batin) dengan jaba (fisik) agar terjadi suatu kerja sama atau komunikasi yang tertata, dalam rangka membangun semesta panggung yang dramatis.
Dua pekan lalu, serombongan turis asal Rusia dengan sangat antusias dan patuh mengikuti seluruh petunjuk pemandunya saat melakukan ritual melukat di Pura Taman Beji Griya Manuaba, Abiansemal, Badung. Tidak hanya patuh dan tertib dalam mengenakan kain, para turis lelaki itu juga melakukan upacara persembahyangan dengan mantra yang diucapkan sang pemandu. Mereka mengangkat tangan puyung (kosong), bunga, dan kuwangen (aneka bunga) berganti-ganti. Semuanya ditujukan untuk memuja representasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Ida Sang Hyang Surya, Bethara ring Pura Beji, Semesta, dan terakhir memohon berkah.
Baca juga: Spiritualisme Ubud
Kelima tata cara persembahyangan ini disebut sebagai Panca Sembah, yakni lima urutan persembahyangan yang telah diwariskan oleh para leluhur orang Bali. Bahkan sebelum persembahyangan dimulai para turis Rusia itu berkomat-kamit mengikuti puja Tri Sandya, yang dilantunkan oleh sang pemandu. Entahlah, apakah mereka mengerti atau tidak, yang jelas mereka mengikutinya. //Om Om Om bhur bwah swah/tat sawi tur warenyam/bhargo dewasya dhimahi/diyo yo nah paracodayat…// (Om adalah bhur, bwah, swah/kita memusatkan pikiran/pada keheningan/dan kemuliaan Tuhan/semoga Ia memberikan ketenangan pikiran…//
Setiap hari, kata pemandu lainnya, di Pura Taman Beji Griya Manuaba, ratusan wisatawan asing berdatangan. Mereka datang sendiri-sendiri atau berombongan seperti turis asal Rusia tadi. “Pokoknya jumlahnya bisa ratusan tiap hari, belum termasuk warga Bali sendiri,” katanya.
Luh Manik, yang memandu kami bercerita, lokasi melukat (membersihkan diri dengan tirta) di Pura Taman Beji Griya Manuaba sebenarnya sudah mulai dikenal sebelum pandemi. “Sudah mulai dikenal tahun 2019, tetapi kan Taman Beji ini memang untuk mengambil air suci upacara sejak dulu. Cuma terus setelah pandemi pengunjungnya banyak,” kata Manik.
Hal yang menarik, skenario “pementasan” teater metafisis di sini telah dimulai ketika para penangkil (pengunjung) diarahkan untuk membeli seperangkat sesaji, minimal berupa satu buah daksina pejati dan 25 canangsari. Selain itu, bagi yang tidak membawa pakaian adat, terutama turis asing, bisa menyewa pakaian. Seluruhnya dihitung secara paket, masing-masing Rp 300.000 per orang untuk pengunjung asing dan Rp 200.000 untuk turis dalam negeri. Mereka akan dituntun seorang pemandu setempat, yang tugasnya mengarahkan penangkil ke tempat-tempat suci yang harus didatangi.
Jika suatu hari kau menjadi pengunjung, kau akan dituntun untuk menuruni anak tangga, sedikit menyusur lembah, bertemu dengan campuhan (pertemuan air), lalu masuk dalam celah sempit dengan tebing yang tinggi. Air di sini menjadi berkah, berlimpah, memancur atau mengalir untuk menciptakan bianglala yang indah. Sembari menyusur semua lokasi itu, kau akan diajak untuk bersembahyang, memanjatkan doa untuk kesehatan, kesejahteraan, umur panjang, kenaikan karier, memperoleh keturunan, atau berkelimpahan rezeki.
“Di sini ada 25 tempat suci, di mana setiap pengunjung harus bersembahyang. Ada juga di mana pengunjung mencuci kepala dan muka serta minum airnya sebanyak tujuh kali,” kata Luh Manik. Ketentuan itu, tambahnya, telah digariskan oleh pengelola tempat melukat, yakni Griya Manuaba Abiansemal.
Pada bagian akhir dari ritual pentas itu, pengunjung akan tiba di sebuah air terjun. Di situ, setiap pengunjung yang melakukan ritual melukat dengan berteriak sekuat-kuatnya untuk menumpahkan segala amarah dalam diri. Barangkali inilah puncak drama itu, sebab bisa jadi orang di sampingmu termasuk yang pernah membuatmu marah. Sekarang berteriaklah sekuat-kuatnya sampai mengalahkan deburan air terjun di hadapanmu! Bergeser sedikit, walau masih di lokasi air terjun, semuanya diharuskan tertawa sepuas-puasnya. Banyak orang tak punya alasan untuk tertawa, apalagi terpingkal-pingkal. Di sini, di hadapan air terjun yang berdebur, silakan menertawakan kekonyolan dirimu sendiri, barangkali. Itu sama sekali tidak dilarang.
Penari Nungki Kusumastuti, yang pernah melakukan ritual melukat di sini mengatakan, di hadapan tebing dan air terjun, ia merasa kecil, hanya partikel yang tak berarti apa-apa. “Di sini aku merasakan kebesaran Tuhan. Di hadapan tebing tinggi dan air terjun, aku merasa bukan siapa-siapa,” tuturnya. Sebagai orang urban, sering kali ia merasa telah mencapai prestasi paling puncak dalam hidupnya. “Begitu berbaur dengan alam, kita bukan siapa-siapa lho,” tambahnya.
Endingnya kisahnya, seluruh pengunjung diciprati atau tepatnya diguyur dengan air kelapa hijau dan merah, yang dipercaya mengandung kekuatan menyucikan jiwa dan raga manusia.
Nah, selesai sudah teater pelukatan (pembersihan diri) di beberapa mata air yang mengucur di tebing-tebing Desa Punggul, Abiansemal, Badung itu. Para wisatawan Rusia, yang secara khusyuk mengikuti seluruh rangkaian ritual itu mengatakan mereka suka karena mendapatkan pengalaman yang berbeda. “Ini adalah pengalaman yang berbeda. Kami menyukainya,” kata Andrei, salah seorang dari mereka.
Selain itu, katanya, ada feel yang menjadi energi penyemangat mereka untuk bekerja lebih keras lagi sekembali ke negerinya. “Rasanya ada feel, semangat lagi untuk bekerja. Kami tak paham apakah itu spiritual atau bukan, tetapi ini seperti mengikuti prosesi yang langka,” tambah Andrei.
Ketika membahas soal Negara Teater pada abad ke-19 di Bali, antropolog Clifford Geertz mengatakan seluruh tatanan yang membentuk semesta kebudayaan di Bali berasal dari teater metafisis, yang diciptakan para raja sebagai penguasa. Di situ, ada para pendeta yang bertindak sebagai penulis skenario dan pemimpin adat sebagai para sutradaranya. Sementara rakyat senantiasa ditempatkan sebagai para aktor dan figuran, yang bertugas menjalankan seluruh tahapan ritual.
Dalam upacara seperti Ngaben, terjadi relasi metafisis yang saling merasa dikuatkan. Pertama para penguasa, dalam hal ini raja-raja, menjadi produser sebuah ritual yang melibatkan pendeta dan rakyat. Raja-raja selalu menggunakan ritual untuk memobilisasi massa. Bila perlu mobilisasi itu diciptakan dengan sangat kolosal atas restu para penulis naskah, yakni para pendeta. Kedua, dalam teater kolosal bernama Ngaben itu, rakyat mendapatkan peran dengan menunjukkan bhakti, dalam sistem yang disebut ngayah, pengorbanan yang ikhlas kepada pitra (ruh) dan para raja sebagai penguasa.
Sesungguhnya, kata Geertz, ketika para penguasa menggelar upacara seperti Ngaben tadi, yang melibatkan begitu banyak massa, dalam sekali dayung mereka terus memperteguh kekuasaannya. Sebaliknya, rakyat yang dimobilisasi adalah aktor-aktor yang justru merasa lebih kuat eksistensinya dalam panggung teater. Mereka merasa telah berhasil menunjukkan rasa bhakti dengan ngayah.
Hubungan yang langgeng antara raja dan rakyat dalam sebuah “negara” inilah yang kemudian ditangkap secara cepat di masa kolonialisme. Belanda memperkokoh kekuasaan dengan meluncurkan program Baliseering atau Balinisasi tahun 1938. Orang Bali dibikin sibuk berkesenian dan berkebudayaan, bahkan mereka diarahkan untuk mempertahankan Bali kuno. Hasilnya, pada saat itu Bali dianggap memasuki masa renaissans budaya, tetapi melupakan aktivitas politik yang bisa merongrong pemerintah kolonial. Ujungnya, kekuasaan Belanda di Bali makin tak tergoyahkan sampai kemerdekaan bergema. Barulah tahun 1946 terjadi perlawanan dalam perang Puputan Margarana yang dipimpin oleh Letkol TNI I Gusti Ngurah Rai.
Orang Bali dibikin sibuk berkesenian dan berkebudayaan, bahkan mereka diarahkan untuk mempertahankan Bali kuno
Saat proyek Baliseering dijalankan, Belanda memang membangun Museum Bali Denpasar dan kemudian mengumpulkan pustaka lontar di Gedong Kirtya Singaraja. Pada masa ini pula lahir sebutan-sebutan yang memposisikan Bali sebagai surga terakhir (Bali the Last Paradise) atau Bali Pulau Dewata (The Island of God). Kenyataan ini ditangkap secara cerdik oleh penguasa republik dengan meluncurkan proyek pariwisata budaya pada awal tahun 1970-an.
Dengan begitu brand Bali sebagai surga terakhir, yang sebenarnya telah disuntikkan sejak akhir abad ke-19, terbukti dengan kehadiran Muriel Stuart Walker alias K’tut Tantri, yang melahirkan buku monumental berjudul Revolt in Paradise, semakin hari semakin kuat. Apalagi setelah itu lahir pula buku Eat Pray Love dari Elizabeth Gilbert, yang kemudian difilmkan dengan judul sama dengan bintang Julia Robert. Terakhir, jika kau menyaksikan film Ticket to Paradise, yang walau tidak mengambil lokasi shooting di Bali, tetapi Bali sebagai narasi besar tentang surga itu seperti terus menerus hidup. Lagi-lagi Julia Robert, yang berkali berucap, bahwa pulau itu indah sekali. Di pulau itu bahkan pasangan Georgia Cotton (Julia Robert) dan David Cotton (George Clooney), menemukan kembali keharmonisan hidup, kendati sudah bertahun berpisah.
Apa yang sesungguhnya kini hidup di kepala banyak orang di seluruh dunia tentang sepotong surga di negeri tropis bernama Bali itu, tak lebih dari sebuah ciptaan yang telah berlangsung berabad-abad. Para penciptanya tak lain dari orang-orang yang memiliki sejumlah otoritas seperti para raja, pemerintah kolonial, para pendeta, para peneliti asing, para seniman asing, pemerintah lokal, penulis, serta para wisatawan yang datang dengan segunung harapan seperti Muriel dan Elizabeth.
sepotong surga di negeri tropis bernama Bali itu, tak lebih dari sebuah ciptaan yang telah berlangsung berabad-abad
Belakangan otoritas itu digenggam oleh para pengelola jasa wisata, terutama agen-agen perjalanan, yang turut andil memasarkan Bali secara berbeda. Pasca-pandemi, ketika media sosial gencar menarasikan tentang perlunya melakukan perjalanan untuk healing, setelah didera ketegangan dan karut-marut dunia, Bali menangkap peluang itu. Banyak tempat melukat yang kemudian seperti bertriwikrama, dari yang tadinya bernuansa sakral dan hanya untuk kepentingan upacara, kini sebagian tempat itu “menerima” jasa healing.
Tak kurang produser dan sutradara Lola Amaria, misalnya, berkali datang ke Bali untuk melukat. Bahkan kini, Lola mengelola sebuah kafe dan bar di kawasan Pantai Canggu, Badung. “Aku merasa dipanggil ke Bali,” kata Lola di sela-sela pembukaan kafe dan bar bernama Amagia itu. Dengan memiliki usaha, eh dan juga kebun jeruk di Kintamani, Lola merasa secara total menghirup desiran hawa surga untuk kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari dirinya.
Ups…jangan khawatir di kawasan Taman Beji Giya Manuaba itu tak hanya disediakan ritual melukat, tetapi juga ada para balian (terapis), yang siap menyembuhkan kegalauan hidupmu. Mereka adalah dukun-dukun muda, yang menguasai sejumlah mantra penyembuhan, terutama memberikan pemandangan baru dalam menjalani hidup ke depan.
Baca juga: Ubud Lebih dari Sekadar ”Healing”
Sekali lagi, begitulah teater healing itu terjadi sejak dulu sampai kini dan akan terus berlangsung. Rupanya manusia modern memang selalu membutuhkan semacam iming-iming, yang berbau surgawi untuk kemudian melompat dari kerja satu ke kerja berikutnya. Begitu pulalah hidup ini, senantiasa juga membutuhkan ruang yang lebih lebar untuk menemukan diri sendiri di tengah gempuran peradaban yang kian tak ramah. Pasca pandemi, kita butuh terlibat dalam pementasan teater untuk benar-benar mengekspresikan diri dan kemudian terus-menerus bertanya: siapakah aku, siapakah dirimu? Bukankah itu hakikat menjadi seorang aktor?