Kerusakan habitat, ekosistem, serta sumber daya pesisir dan laut terus terjadi. Perlu penguatan peran dan kewenangan kabupaten-kota untuk menata dan mengelola kawasan yang sejak UU No 1/2014 menjadi kewenangan provinsi.
Oleh
YONVITNER
·4 menit baca
Delapan tahun sejak revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 menjadi UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, kualitas pesisir belum memperlihatkan arah yang makin baik. Bahkan, sebaliknya, tidak sedikit kerusakan habitat, ekosistem, dan sumber daya terjadi di depan mata masyarakat. Fenomena ini terjadi akibat hilangnya peran pemerintah kabupaten-kota terhadap segala sesuatu berbau laut.
Fenomena penangkapan ikan yang merusak dengan potasium ataupun jaring pukat dan perusakan ekosistem terumbu mulai banyak terjadi di depan mata masyarakat. Berdasarkan pengamatan penulis, penggunaan alat tangkap yang merusak juga mulai kerap terjadi di zona kawasan konservasi sehingga tidak hanya ikan yang habis, tetapi terumbu karang juga turut rusak.
Tidak ada upaya pengawasan yang bisa dilakukan oleh kabupaten-kota di daerah laut kecuali hanya melihat fenomena tersebut terjadi. Program, termasuk pengalokasian anggaran kabupaten-kota, diamputasi oleh peralihan kewenangan laut ke level provinsi menurut UU No 1/2014. Sementara, provinsi tidak mampu melakukan pengelolaan dengan baik.
Pembiayaan untuk perbaikan lingkungan laut, rehabilitasi ekosistem, pengawasan, dan segala sesuatu kegiatan yang berbau air laut jika dilakukan kabupaten-kota menjadi tabu karena akan berakhir menjadi temuan BPK. Sementara itu, rentang kendali provinsi yang jauh ke kabupaten-kota bahkan laut menjadi celah berbagai pelanggaran. Anggaran yang terbatas, sumber daya manusia yang kurang, dan dukungan prasarana yang tidak memadai menyebabkan provinsi tidak bisa melakukan pengelolaan tersebut dengan baik.
Agar kerusakan ekosistem, pencemaran termasuk plastik terkendali, sumber daya ikan dapat dijaga, serta keberlanjutan hidup nelayan kecil di kabupaten-kota dapat berlangsung lebih lama, setidak ada empat langkah mitigasi yang harus dilakukan segera sebelum semua terlambat. Pertama, penyempurnaan revisi UU No 1/2014. Kedua, penguatan peran kabupaten-kota melalui revisi UU Cipta Kerja. Ketiga, revisi UU No 23/2014 tentang Otonomi Daerah untuk penguatan peran kabupaten-kota. Keempat, penguatan kebijakan turunan UU Otonomi Daerah yang mengakomodasi peran kabupaten-kota.
Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dapat memilih langkah tersebut sebagai upaya revisi terbatas terhadap muatan kebijakan dengan mengembalikan peran kabupaten-kota. Pengembalian peran ini dapat mencakup substansi peran mengelola, peran pengawasan lokal, peran perlindungan konservasi dan aktivitas berusaha serta pengaturan harmonisasi ruang yang mengalami kerusakan.
Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dapat memilih langkah tersebut sebagai upaya revisi terbatas terhadap muatan kebijakan dengan mengembalikan peran kabupaten-kota.
Sebagai sektor yang berperan, KKP dapat mengambil inisiatif lebih awal. Aspirasi Aspeksindo yang disampaikan pada pertemuan Aspeksindo pada 28 Agustus lalu di GMB III KKP bisa menjadi pertimbangan KKP dalam memulai langkah ini. Upaya ini sejalan dengan semangat KKP yang mendorong investasi melalui perikanan terukur, pemanfaatan ruang yang berbasis ekologi.
Langkah kedua yang bisa juga ditelusuri adalah penguatan UU No 11/2021 tentang Cipta Kerja dengan menyertakan muatan peran kabupaten-kota. Ketika investasi berbasis perizinan pusat, maka pengawasan di level tapak ada pada daerah. Banyak kerusakan terjadi saat ini, seperti banjir yang menyertakan longsor dan permukiman penduduk yang tenggelam karena rob dan land subsidence, harus ditangani kabupaten-kota.
Begitupun perikanan skala kecil yang dominan berada di wilayah kabupaten-kota, kehidupan masyarakat adat yang hidup di atas air, dan izin berusaha kelompok small scale di kabupaten-kota. Jika UU Cipta Kerja, PP No 27, dan Permen KP No 11 menyiratkan peran daerah kabupaten-kota sebagai unit pengusul usaha UMKM bagi masyarakat, maka upaya pembinaan, pelestarian, pengawasan, dan harmonisasi ruang juga dapat dilakukan kabupaten-kota. Usaha rumput laut, keramba apung, perikanan artisanal, serta pengelolaan jasa ekosistem bisa didelegasikan ke kabupaten-kota.
Langkah ketiga, yaitu revisi UU No 23/2014, juga bisa dijadikan pintu masuk untuk mencari jalan keluar. Agar hierarki dalam tata kelola pemerintahan tetap mudah, maka pendalaman substansi dan peran kabupaten-kota oleh kementerian dalam negeri harus dilakukan. Tidak hanya soal anggaran namun tata laksana dan tata kelola sumber daya akan sejalan dengan otonomi yang sampai ke level kabupaten-kota. Kementerian Dalam Negeri tidak perlu ragu untuk melakukan revisi guna menyelamatkan kawasan pesisir, ekosistem, dan pemberdayaan masyarakat.
Jika Kemendagri menganggap sudah final dengan UU Otonomi Daerah, langkah terakhir yang dapat dilakukan adalah menyiapkan aturan turunan yang inline dengan anggaran dan tupoksi kabupaten-kota. Skema pengelolaan terhadap laut yang ada di antara pulau kabupaten-kota, pembiayaan terhadap perbaikan fasilitas perikanan skala kecil, bantuan terhadap sistem usaha nelayan, serta pembiayaan dalam perbaikan ekosistem bisa disiapkan Kemendagri.
Fenomena investasi pengelolaan sebatas tingkat provinsi telah menelantarkan hak masyarakat adat untuk dapat perlindungan, dukungan berusaha nelayan skala kecil, serta dukungan recovery dan resilience ekosistem berbasis masyarakat. Karena peran propinsi yang tidak mampu memobilisasi masyarakat di kabupaten-kota, maka menjadi krusial peran kabupaten-kota dikembalikan. Skema pengembalian peran dapat dirancang sebagai penugasan, pelimpahan sebagian kewenangan dengan perjanjian atau kerja sama dalam semua hal baik pada level menteri maupun sebagai keputusan atau peraturan pemerintah.
Minimal dengan empat langkah tersebut, investasi tetap berjalan, dan sustainability serta kesejahteraan tetap terkawal sampai level pemerintah daerah. Tidak tabu bagi KKP atau Kemendagri melakukan penyempurnaan kebijakan tersebut agar sengkarut tata kelola yang terjadi saat ini tidak berkepanjangan. Jangan sampai kita terlambat sadar, disaat semua sudah di ambang kehancuran. Selamatkan pesisir, dan laut adalah menyelamatkan generasi kita mendatang.
Yonvitner, Kepala PKSPL IPB University/Dosen MSP FPIK IPB University