Inflasi dan Suku Bunga Tinggi
Dengan inflasi 4,69 persen dan perkiraan inflasi 2022 sekitar 7 persen, nilai rupiah melemah lebih Rp 15.000 per dollar AS, BI kemungkinan masih harus menaikkan suku bunga untuk kendalikan inflasi dan stabilitas rupiah.
Tekanan inflasi global masih tinggi. Bank-bank sentral menaikkan suku bunga lagi. Kemungkinan akan terjadi resesi global dan Indonesia harus menyesuaikan diri.
Perekonomian Indonesia sendiri saat ini masih tumbuh cukup tinggi, didukung konsumsi dan harga komoditas yang tinggi. Dengan inflasi yang masih tinggi, yakni 8,3 persen di AS, 9,1 persen di Eropa, dan sangat tinggi di beberapa negara berkembang seperti Turki dan Argentina— terutama karena tingginya harga energi dan pangan, ditambah berlanjutnya perang Rusia-Ukraina— bank sentral masih harus terus menaikkan suku bunga.
Bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga lagi dengan cukup tinggi, 0,75 basis poin (bps), menjadi ke kisaran 3-3,25 persen. Karena inflasi masih tinggi, diperkirakan The Fed masih akan menaikkan bunga lagi beberapa kali sampai sekitar 4 persen pada akhir 2022 dan 4,6 persen pada 2023 guna mengendalikan inflasi di kisaran 2 persen.
Bank sentral lain mengikuti menaikkan suku bunganya karena juga menghadapi inflasi tinggi dan menyesuaikan langkah The Fed untuk mengatasi aliran modal keluar dan pelemahan nilai tukar mata uang. Bank Indonesia (BI) juga menaikkan lagi suku bunga kebijakan bahkan lebih tinggi 0,50 persen menjadi 4,75 persen.
Dengan inflasi 4,69 persen dan perkiraan inflasi pada 2022 sekitar 7 persen, nilai rupiah melemah melebihi Rp 15.000 per dollar AS, BI kemungkinan masih harus menaikkan suku bunga lagi untuk mengendalikan inflasi dan stabilitas rupiah.
Baca juga : Meredam Ekspektasi Inflasi
Baca juga : Resesi Global dan Pilihan Kebijakan
Inflasi dan kebijakan moneter
Inflasi tinggi sebenarnya tidak saja terkait dengan tingginya harga pangan dan energi, tetapi juga terkait dengan kebijakan moneter dengan suku bunga rendah untuk menstimulasi ekonomi yang berjalan cukup lama pascakrisis keuangan global 2009.
Kenaikan inflasi semestinya dapat diantisipasi sebagai konsekuensi dari rendahnya suku bunga, tetapi bank sentral pada umumnya menyepelekannya sehingga terkejut dan terlambat mengantisipasi kenaikan inflasi.
Dengan perkiraan inflasi yang masih tinggi, sementara tidak banyak yang bisa dilakukan untuk menaikkan pasokan energi dan pangan, serta kesulitan menghentikan perang Rusia-Ukraina, andalan instrumen kebijakan praktis menjadi sepenuhnya bergantung pada kenaikan suku bunga sekalipun risiko resesi, atau pertumbuhan negatif, menjadi konsekuensinya.
Kebijakan ini dijalankan sebagian besar bank sentral, kecuali Jepang. Dengan demikian, kita memasuki masa dengan inflasi dan suku bunga tinggi dalam beberapa tahun ke depan.
Ekonomi Indonesia terus tumbuh
Meskipun kemungkinan terjadi resesi di ekonomi negara maju dan pelemahan pertumbuhan ekonomi di China, ekonomi Indonesia masih dapat tumbuh cukup baik, sedikit di atas 5 persen pada 2022 dan 2023. Harga komoditas yang tinggi, terutama batubara dan CPO, ditambah kuatnya pemulihan konsumsi masyarakat, memungkinkan berlanjutnya pertumbuhan ekonomi di tengah melemahnya perekonomian dunia.
Kredit perbankan yang berkorelasi kuat dengan pertumbuhan ekonomi juga tumbuh tinggi sekitar 10,7 persen, terjadi di semua kategori kredit. Dana pihak ketiga juga masih tumbuh cukup tinggi, sekitar 9 persen, yang menunjukkan ketersediaan likuiditas individu dan perusahaan. Tentu saja kenaikan suku bunga kebijakan yang akan diikuti oleh bunga pinjaman, mengoreksi pertumbuhan kredit, tetapi dengan permintaan kredit masih tinggi, maka pertumbuhan kredit juga masih cukup tinggi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Keadaan ini mengingatkan kita pada periode 2010-2014 pascakrisis keuangan global ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi, 5-6 persen, bersamaan dengan pertumbuhan kredit yang tinggi dan harga komoditas yang tinggi. Ketika harga komoditas menurun, pertumbuhan kredit dan ekonomi mengalami perlambatan. Ketika itu sektor terbesar manufaktur yang semestinya melanjutkan pertumbuhan justru mengalami perlambatan karena kebijakan yang protektif sehingga menghambat investasi.
Selektivitas harus dilakukan untuk mengoptimalkan perhitungan cost benefit dari pemrosesan mineral di dalam negeri.
Sekarang pertumbuhan manufaktur masih sekitar 4 persen, lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya gangguan rantai pasokan global yang dikuasai China—karena lockdown Covid-19 dan ketegangan China-AS— maka seperti Vietnam, Indonesia dapat lebih besar berpartisipasi dalam pengalihan dan transformasi rantai pasokan dunia dari ketergantungan pada China.
Keharusan pemrosesan mineral di dalam negeri tentu mendorong perkembangan manufaktur. Namun, sebaiknya bersifat selektif karena tidak bisa semua pemrosesan mineral bisa berkembang kompetitif, apalagi manajemen volatilitas harga mineral juga sulit. Tambahan lagi tantangan dari pihak importir juga sangat besar, seperti kasus larangan ekspor nikel oleh Uni Eropa, yang menghambat perdagangan. Selektivitas harus dilakukan untuk mengoptimalkan perhitungan cost benefit dari pemrosesan mineral di dalam negeri.
Energi dan pangan
Indonesia sebagai produsen batubara terbesar mendapatkan keuntungan besar dengan kenaikan harga yang mencapai sekitar 440 dollar AS per ton. Pembangkit listrik juga masih didominasi oleh batubara yang harga domestiknya masih dikendalikan pemerintah.
China dan India masih memanfaatkan batubara dari Indonesia secara signifikan. Negara-negara Eropa yang mengalami krisis energi karena penghentian impor gas dari Rusia kembali mempergunakan batubara sekalipun ini bertentangan dengan pencapaian program zero carbon emission.
Dengan desakan transisi energi untuk meninggalkan batubara, perbankan juga makin meninggalkan pembiayaan untuk batubara. Sayangnya program transisi energi terhambat pelaksanaannya karena PLN dengan bahan bakar batubara mengalami kelebihan pasokan listrik sehingga kurang mendukung transisi energi ke sumber energi baru dan terbarukan (EBT).
Sementara itu, harga minyak juga masih akan tinggi karena permintaan yang tinggi dan pasokan yang kurang dapat menyesuaikannya. Sayangnya, produksi minyak dan gas Indonesia cenderung menurun dengan kurangnya investasi eksplorasi ladang baru migas.
Perbaikan lingkungan investasi, terutama untuk gas, akan menaikkan produksi gas, apalagi gas masih dikategorikan sebagai sumber energi yang ramah lingkungan dibandingkan dengan batubara dan minyak. Pelaksanaan pengembangan gas Masela yang sangat terlambat dapat menjadi pemicu bagi peningkatan investasi gas.
Pengembangan EBT, khususnya tenaga surya, masih jauh dari harapan. Padahal, potensi Indonesia sangat besar, khususnya energi surya, dan pasar ekspor juga besar. Semestinya pengembangan energi surya untuk ekspor difasilitasi lebih baik untuk mendorong pengembangan energi terbarukan, bukannya melarang ekspor energi surya. Tentu saja kewajiban domestik dan sertifikasi hijau harus memberikan kredit kepada kepentingan nasional.
Pengembangan EBT, khususnya tenaga surya, masih jauh dari harapan.
Produksi pangan, khususnya beras, cukup baik sehingga tidak perlu impor. Harga minyak goreng yang volatilitasnya tinggi juga sudah dapat dikendalikan, yang terbantu dengan koreksi harga CPO, dengan CPO sebagai salah satu produk ekspor utama produksi dan harganya masih dapat meningkat, tentu dengan pertimbangan sustainabilitas lingkungan yang lebih tinggi.
Pelajaran berharga, baik bagi negara maju maupun berkembang, adalah bahwa pasokan energi dan pangan sangat penting bagi stabilitas dan perkembangan ekonomi, dan tentu bagi kesejahteraan rakyat. Indonesia diberkahi dengan potensi energi dan pangan yang dapat dikatakan melimpah. Tentu saja bagaimana mengelola dan memanfaatkan secara ekonomislah yang menentukan terealisasikannya berkah tersebut.
Permasalahan inflasi tinggi masih akan kita hadapi. Kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi harus terus disesuaikan. Meski demikian, pertumbuhan ekonomi dapat terus berjalan, tak bergantung pada harga komoditas yang tinggi, dengan meningkatkan perkembangan industri manufaktur, memanfaatkan peluang relokasi rantai pasok global. Produksi energi, baik yang konvensional, terutama gas, maupun EBT, bisa ditingkatkan dengan memfasilitasi investasi untuk eksplorasi.
Umar JuoroSenior Fellow the Habibie Center