Ketahanan Pangan Berbasis Kearifan Lokal
Kearifan lokal tidak hanya menjadi fondasi, namun juga menyediakan pilar-pilar alternatif yang turut menyanggga rumah ketahanan pangan kita supaya tetap tegak berdiri manakala amukan badai krisis menerpanya.

Ilustrasi
Kehidupan di Indonesia yang belum sepenuhnya modern terbukti – sampai pada titik tertentu – justru menyelamatkan kita dari krisis demi krisis yang datang menerpa. Ketika Covid-19 mewabah dan waktu itu vaksin belum tersedia, masyarakat tradisional kita tetap kuat berkat ramuan tradisional empon-empon.
Jika benar krisis pangan terjadi, orang-orang di kampung dan desa tidak akan cepat terpuruk karena biasa mengkonsumsi bahan pangan dari kebun. Bahkan masyarakat kita yang masih hidup nomaden dengan berburu dan meramu tidak akan terdampak karena biasa mencari pangan dari hutan. Sementara keluarga-keluarga saling memberi bantuan pangan dengan bergotong-royong, para penghayat kepercayaan asketis tradisional bahkan biasa berpantang dan berpuasa.
Artinya, kita punya segudang kearifan lokal, mulai dari etnomedisin hingga hukum adat dan tatanan sosial tradisional, yang memampukan kita menghadapi berbagai krisis termasuk krisis pangan. Itulah sebabnya bangsa ini tidak punah meski melewati kejamnya rezim-rezim penjajah keji yang menindas, mem-pekerja-paksa, memiskinkan, dan meng-genosida.
Lihat foto cerita: Ngunjal, Kearifan Lokal untuk Ketahanan Pangan Komunal
Refungsionalisasi
Ketahanan pangan itu ibarat rumah yang terdiri dari bagian atap, pilar-pilar, dan fondasi. Bagian atap menunjuk kepada kondisi ideal terpenuhinya kebutuhan pangan bagi negara sampai pada perorangan. Rogers (2003) memberikan indikator-indikator kondisi ideal itu antara lain indikator ketersediaan pangan (food availability), indikator akses pangan (food access), indikator penyerapan pangan (food utilization), dan indikator status gizi (nutritional status). Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, kondisi ideal ketahanan pangan itu menjadikan masyarakat dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Pilar-pilar ketahanan pangan menunjuk kepada sistem-sistem teknis yang menjadi penyangga kondisi ideal itu. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ada tiga pilar dalam hal ini. Pertama, pilar ketersediaan pangan yang mencakup sistem produksi dan distribusi. Kedua, pilar akses pangan berupa kemampuan ekonomi, fisik, dan sosial masyarakat untuk mendapatkan pangan. Ketiga, pilar pemanfaatan pangan. FAO (Food and Agriculture Organization) menambahkan pilar keempat, yaitu pilar stabilitas dari ketiga komponen itu (ketersediaan, akses, dan pemanfaatan pangan) secara berkelanjutan.
Pilar-pilar teknis ketahanan pangan yang kuat tidak akan berarti manakala kehidupan masyarakat chaos, penuh konflik, dan berkecamuk dalam perang.
Adapun fondasi ketahanan pangan menunjuk kepada kompleksitas tatanan kehidupan sosial-budaya masyarakat. Pilar-pilar teknis ketahanan pangan yang kuat tidak akan berarti manakala kehidupan masyarakat chaos, penuh konflik, dan berkecamuk dalam perang. Mentalitas, karakter, etos kerja, moral, dan etika dalam hidup bermasyarakat melandasi kokoh atau rapuhnya pilar-pilar itu.
Fondasi sosio-kultural yang dalam konteks daerah diidentifikasi sebagai kearifan lokal itu bahkan mampu menyediakan pilar alternatif yang ikut menyangga rumah ketahanan pangan masyarakat. Hal itu dapat diperbandingkan dengan dengan rumah demokrasi kita yang memiliki tiga pilar teknis berupa sistem eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dari tatanan sosial budaya masyarakat, lahirlah pilar keempat demokrasi yaitu pers, media, dan sekarang media sosial digital. Pilar keempat inilah yang membuat rumah demokrasi kita masih berdiri meskipun parlemen mandul, pemerintah korup, dan institusi yudikatif tumpul.

Muasnah (50) memasak di dapur yang dilengkapi lumbung jagung di bagian atasnya di rumahnya yang terletak di Lingkungan Papring, Kecamatan Kalipuro, Banyuwangi, Kamis (7/5/2020). Lumbung jagung ditempatkan di atas perapian agar jagung kering dan tidak berjamur.
Setidaknya ada empat fungsi kearifan lokal sebagai fondasi dan pilar alternatif ketahanan pangan. Pertama, menjadi fondasi dan pilar mentalitas ketahanan pangan. Sistem nilai, adat istiadat, termasuk sistem kepercayaan tradisional melatih jiwa asketis, mental toughness, militansi, dan kecerdasan adversiti personal dan komunal dalam urusan pangan.
Kita punya semangat holopis kuntul baris, rawe-rawe rantas malang-malang putung, berjuang sampai titik darah penghabisan. Para pejuang di jaman revolusi di Yogyakarta dahulu hanya bisa makan nasi bungkus kecil-kecil sumbangan ibu-ibu yang sangat sederhana, dikenal sebagai nasi kucing (sego kucing). Faktanya kita tetap perkasa (rosa) mengusir penjajah. Makan atau tidak makan, kita tetap bersatu untuk berjuang bersama (mangan ora mangan, kumpul).
Kearifan lokal semestinya diinjeksikan kepada diri penguasa dan pengusaha sehingga mereka menjadi lebih bijaksana.
Kedua, kearifan lokal menjadi fondasi dan pilar kohesi dan kecerdasan sosial penyangga ketahanan pangan. Tradisi Makan Patita di Maluku menunjukkan bahwa pangan dan makanan itu lebih dari urusan perut. Makan adalah simbol kekeluargaan, persaudaraan, persatuan. Nasi tumpeng bagi masyarakat tradisional mendorong kita berdoa, bertafakur, bersyukur, lalu berbagi, senasib sepenanggungan. Sementara itu desakralisasi pangan menyebabkan manusia-manusia modern di dunia Barat mudah berputus asa sebagaimana media sosial bergosip tentang para perempuan di negara maju yang rela menjual diri menjadi PSK hanya demi sesuap nasi.
Ketiga, kearifan lokal menjadi fondasi dan pilar etos dan sistem ekonomi kerakyatan penyangga ketahanan pangan. Kita punya kearifan distribusi berkeadilan, merata meski hanya sedikit-sedikit (sithik eding). Ada sedikit dibagi sedikit, ada banyak dibagi banyak (ana setithik dibagi setithik, ana akeh dibagi akeh). Ekonomi kerakyatan juga menekankan etos dan militansi kerja, hanya yang aktif bergerak yang bisa makan (sapa obah bakal mamah, ora obah ora mamah).
Baca juga: Pangan Lokal untuk Kesehatan Diri dan Bumi
Keempat, kearifan lokal menjadi fondasi dan pilar pengetahuan tradisional (ethnoscience) yang jika dipadu dan di-upgrade bersama ilmu pengetahuan ilmiah akan menjadi holistik. Ramuan tradisional misalnya, dapat memperkaya upaya pemanfaatan pangan. Sistem pengetahuan agrikultur tradisional pranata mangsa atau kerta masa di Jawa dan Bali misalnya, dapat diolah setidaknya menjadi inspirasi inovasi pembangunan pertanian modern masa kini.
Kearifan lokal semestinya diinjeksikan kepada diri penguasa dan pengusaha sehingga mereka menjadi lebih bijaksana. Sebab krisis pangan pada faktanya sering terjadi karena permainan politik dan manipulasi bisnis. Seperti ditegaskan Adrianus Suyadi, kesenjangan akses pangan dapat terjadi secara struktural karena sistem monopoli berorientasi profit yang meminggirkan rakyat kecil (Menghargai Pangan, Mengormati Manusia dan Alam, Kompas, 17/10/2022). Bukannya berbagi adil sithik eding, namun yang besar, kuat, dan cepat memakan yang kecil, lemah, dan lambat (the big eats the small, the strong eats the weak, the fast eats the slow). Kapitalisme dan spirit free fight liberalism adalah akar persoalan krisis pangan yang harus dikoreksi dengan kearifan ekonomi kerakyatan.
Baca juga: Menghargai Pangan, Menghormati Manusia dan Alam

Aneka tanaman umbi-umbian dijajakan di pasar tradisional Waingapu, Ibukota Sumba Timur, bberapa waktu lalu. Keragaman pangan lokal saat ini semakin tergusur oleh kebijakan nasional yang bias beras.
Rekontekstualisasi
Agar dapat diimplementasi dan diaktivasi sebagai fondasi dan pilar-pilar alternatif bagi rumah ketahanan pangan, kearifan lokal perlu direkontekstualisasi. Nilai budaya obah mamah (siapa bergerak akan makan) perlu dipromosikan sebagai prinsip kewirausahaan proaktif dalan konteks produksi, distribusi, akses, dan pemanfatan pangan. Adat istiadat dan filosofi kuno jangan dibiarkan menjadi teks antik yang rapuh, namun sebagai warisan ajaran luhur para leluhur yang menjadi rahasia sukses hidup di jaman sekarang dan nanti.
Sistem nilai tradisional terkadang perlu dipilah, dipilih, dimaknai ulang, serta diperkaya supaya relevan untuk konteks baru. Paradigma mangan ora mangan kumpul (makan atau tidak makan tetap kumpul) misalnya, perlu dibersihkan dari tafsir fatalisme. Sebab, kumpul tanpa makan itu sama dengan bunuh diri massal.
Kumpul harus dimaknai baru sebagai kekuatan ekosistem untuk berjuang bersama memproduksi dan mendistribusi pangan. Nilai budaya narima ing pandum (menerima pembagian dengan senang hati) jangan dimaknai menerima bagian begitu saja meskipun itu tidak adil, tetapi harus dimaknai sebagai usaha untuk menerima (narima) akses pangan yang dilandasi sistem distribusi (pandum) yang berkeadilan.
Sistem nilai tradisional terkadang perlu dipilah, dipilih, dimaknai ulang, serta diperkaya supaya relevan untuk konteks baru.
Para akademisi harus giat melakukan rekontekstualisasi kearifan lokal seperti itu. Di awal era Orde Baru, antropolog Koentjaraningrat adalah pelopornya. Ia banyak menulis artikel di Kompas mengenai aktualisasi budaya untuk pembangunan dan dikumpulkan menjadi buku berjudul “Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan” (1981).
Menurut Koentjaraningrat, nilai budaya gotong-royong mengandung tiga prinsip positif, yaitu manusia adalah mahluk sosial, hidup manusia saling bergantung satu sama lain, manusia harus bekerja sama. Namun ada prinsip keempat dari gotong-royong yang kontraproduktif, yaitu prinsip konformitas (duduk sama rendah berdiri sama tinggi). Prinsip ini tidak mendorong semangat berkompetisi dan berprestasi. Malahan memicu sikap playing victim, kita merasa ditinggal, dijauhi, dibuang oleh teman yang berprestasi, lalu kita menjadi iri hati dan membenci.
Belakangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) meneliti geomitologi Ratu Pantai Selatan (Jawa). Dari riset yang kemudian dilaporkan dalam bentuk film dokumenter The Untold Story of Java Southern Sea (1919), diduga bahwa mitos itu mengandung pesan sejarah bahwa megatsunami Pantai Selatan Jawa pernah terjadi di masa lalu (1.600 M). Mitos itu merupakan metafora yang mengandung pesan peringatan untuk kesiagaan menghadapi bencana di masa depan.
Baca juga: Menghargai Kearifan Lokal
Salah satu penyebab mengapa bangsa ini enggan mempromosikan kearifan lokal adalah karena “kecelakaan sejarah” berupa penyalahgunaan untuk kepentingan kekuasaan. Dalam Gerakan Reformasi Nasional 1998, Raja Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menegur malapraktik itu (Nusantara, 1999). Saat itu Sultan mengkritik karena nilai budaya mikul dhuwur mendhem jero yang berarti menutupi aib orangtua karena rasa hormat, malah dipelintir sebagai prinsip tidak boleh mengkritisi penguasa korup.
Nilai budaya ora ilok yang berarti tidak pantas karena tidak santun, dipelintir menjadi alasan supaya rakyat tidak berdemonstrasi. Sekarang untuk urusan pangan, kognisi pemimpin dan rakyat harus diinjeksi dengan kearifan lokal yang valid supaya berakal sehat. Pelopor eko-sufisme Indonesia Kyai Nasruddin Anshoriy (Gur Nas) mengingatkan penulis, jika perut sudah telanjur lapar, pikiran (sehat) pun bisa berubah (weteng ngelih, pikiran ngalih).
Haryadi Baskoro, Tim Penilai Pembangunan Bappeda Provinsi DIY; Antropolog-Teolog

Haryadi Baskoro