Pesantren ditopang secara langsung oleh ekosistemnya, terutama para wali santri dan jejaring alumni. Mereka bergotong royong menyokong pondok pesantren.
Oleh
Alissa Wahid
·4 menit baca
Akhir minggu ini, Nahdlatul Ulama atau NU memperingati Hari Santri Nasional 2022 dengan Apel Nasional yang akan diikuti oleh sekitar 500.000 santri di 528 titik dari seluruh Indonesia, mewakili sekitar 7 juta santri dari berbagai penjuru Tanah Air. Hari yang diambil dari peristiwa bersejarah pada tahun 1945.
Fatwa Resolusi Jihad ini disampaikan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari saat bayi Republik Indonesia terancam oleh kembalinya Sekutu ke Indonesia.Diilhami keyakinan hubbul wathon minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman), Resolusi Jihad menyerukan fardlu ’ain (wajib pribadi) setiap umat Islam dalam radius 94 kilometer dari ”tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh” dan di luar radius itu sebagai fardlu kifayah (boleh diwakili sebagian warga saja). Serentak para santri dan warga NU di Surabaya dan sekitarnya turun bersama warga lainnya.
Para santri melawan tentara Sekutu mulai 25 Oktober 1945, berujung ribuan pejuang syahid mengorbankan nyawa mempertahankan Surabaya, yang memuncak pada perang 10 November 1945. Tidak seperti Tragedi Kanjuruhan di mana korban jiwa dan luka akibat pelanggaran sistemik adalah masyarakat awam yang tidak berniat untuk mati, para santri sejak awal menyadari bahwa nyawa mereka diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT untuk cita-cita mulia menyelamatkan negara.
Jejak sejarah ini lama terpinggirkan dari buku-buku sejarah arus utama Indonesia. Presiden Joko Widodo pada 2015 meluruskan hal ini dengan penetapan tanggal keluarnya Resolusi Jihad sebagai Hari Santri Nasional.
Panggilan khidmah melawan penjajah dengan jiwa raga tersebut menjadi puncak ketaatan para santri kepada kiainya karena meyakini kearifan dan kealiman sang kiai dalam mengambil keputusan dengan rida Allah SWT. Ihwal ketaatan ini menjadi salah satu ciri khas nilai-nilai pesantren.
Pesantren memang dikenal sebagai salah satu model value-based education (pendidikan berbasis nilai) paling masif di dunia. Di Indonesia ada 32.000 pesantren, 26.000 di antaranya merupakan pesantren dalam jaringan NU.
Bagi banyak orang, barangkali tidak terbayangkan hidup di dalam sebuah tempat tinggal bersama dengan ribuan santri lainnya. Watak komunal pun terasa sangat kuat. Para santri berbagi hampir semua hal, termasuk perlengkapan pribadinya. Kisah pakaian atau alas kaki yang ”tertukar” selalu menjadi bahan guyonan. Diikhlaskan sebagai tradisi berbagi, walau mungkin diiringi senyum kecut.
Demikian juga berdesakan di ruang tidur. Banyolan para santri, jika kamar sedang penuh sesak, jangan pernah mengubah posisi tidur dari telentang menjadi miring. Tak mungkin bisa kembali karena setiap jengkal ruang kosong pasti segera terisi!
Semua kebiasaan di atas dijalani dengan penuh sukacita. Para orangtua juga tidak mempersoalkan karena menyadari ini bagian dari proses pendidikan yang memperkuat karakter anak-anak mereka. Bagi sebagian orangtua yang menginginkan kenyamanan bagi putra-putrinya, juga tersedia pondok pesantren-pondok pesantren yang telah lebih modern dengan tempat tidur dan fasilitas yang sudah dialokasikan bagi setiap santri.
Pesantren ditopang secara langsung oleh ekosistemnya, terutama para wali santri dan jejaring alumni. Mereka bergotong royong menyokong pondok pesantren. Keinginan untuk ikut berjuang bersama sang kiai agar para ulama pengasuh pesantren tersebut dapat berfokus pada pendidikan para santri dan khidmah keumatan. Mereka hanya berharap ini menjadi jalan berkah bagi orang awam seperti dirinya. Atas dasar inilah, Gus Dur menyebut pesantren sebagai lembaga swadaya masyarakat yang paling murni.
Tentu saja pesantren pun mengalami transformasi. Juga menemui berbagai tantangan yang tidak mudah. Beberapa tradisi membawa dampak tak terduga. Misalnya, kultur tawadu (merendahkan hati dan taat) kepada kiai, bergeser menjadi relasi kuasa ketika kiai mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada pengelola pesantren atau santri senior. Ini meningkatkan risiko terjadinya tindak kekerasan kepada para santri yunior, sebagaimana terungkap dalam berbagai kasus kekerasan akhir-akhir ini.
Namun, tantangan terbesar bagi pesantren adalah perubahan zaman yang membawa kebutuhan yang berbeda. Dunia pesantren yang dulu mengkhususkan pada pendidikan agama Islam harus beradaptasi dengan kebutuhan santri mendapatkan ilmu-ilmu umum.
Maka, reorientasi sistem pendidikan pesantren menjadi sangat penting. Merujuk dokumen Kementerian Agama terkait pengembangan pesantren, tidak cukup hanya mencetak santri ahli ilmu agama, pesantren perlu memperluasnya menjadi mencetak santri mutafaqih fiddin wa faqih fi mashalihil khalqi (ahli ilmu agama dan menguasai ilmu terkait kemaslahatan umat manusia). Ilmu kesejahteraan, kesehatan, pengelolaan lingkungan, dan lain-lain menjadi penting untuk dikembangkan.
Selain itu, pesantren juga diharapkan untuk merebut ruang rujukan utama kehidupan keberagamaan guna mempromosikan corak Islam rahmatan lil alamin, alih-alih corak ber-Islam yang eksklusif dan cenderung memaksakan kehendak yang beberapa dekade ini mendominasi umat Islam di Indonesia. Pesantren haruslah menjadi pencetak para ustaz yang mampu mengambil kepemimpinan dakwah penuh rahmat.
Setiap zaman membawa tantangannya, membawa jihadnya. Apabila dulu berjihad menjaga kemerdekaan, saat ini para santri diminta untuk berjihad menjaga wajah Islam ramah di Indonesia.
Begitu besar harapan bangsa kepada para santri, sejak dulu sampai sekarang. Semoga para santri dapat memenuhi panggilan jihad ini, menjalankan perannya untuk menjadi satpam Indonesia.