Istilah ”generasi rebahan” tidak selalu negatif. Ada cukup banyak orang yang pekerjaannya bisa ditunaikan dengan lancar dan sukses walaupun dikategorikan sebagai kelompok generasi rebahan.
Oleh
TANTAN HERMANSYAH
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Salah satu entitas sosial budaya yang hadir akibat adanya pandemi Covid-19 selama dua tahun adalah munculnya satu kelompok yang kemudian dikenalkan di media sebagai ”generasi rebahan”.
Sudah cukup banyak yang mencoba mengulas berbagai dimensi dan cara pandang terhadap generasi rebahan ini. Artikel singkat ini akan melihat realitas generasi rebahan dari perspektif sosiologi. Kelompok ini akan dibaca sebagai entitas yang melakukan perlawanan kepada sistem kemapanan, terutama pada dua aspek: kerja dan belajar.
Seperti sudah menjadi kesepakatan umum bahwa selama ini produktivitas dalam kerja dan belajar diukur dari realitas rutin yang selama ini seperti sudah dimapankan. Contoh nyata adalah realitas ”budaya kerja”. Budaya kerja diberi makna sebagai adanya jadwal seseorang yang terikat pada tempat kerja, yang dihitung sejak dia harus pergi menuju lembaga tempatnya bekerja.
Meski tidak sama persis, hal yang sama pun terjadi pada realitas belajar. Siswa/pelajar harus pergi sekolah. Pemaknaan bahwa belajar sebagai kegiatan menuju ke tempat belajar atau malah lebih sempit kegiatan menuju ke gedung sekolah, dengan sistem belajar yang melekat kepada guru, tenaga pendidikan, dan ruang kelas, serta sarana penunjang kegiatan pendidikan.
Tentu saja pemaknaan ini jelas-jelas melenceng dari makna utama dari apa yang disebut sebagai budaya kerja (atau belajar). Alasannya sederhana. Jika budaya pergi itu dianggap bagian dari kegiatan intinya, yakni bekerja atau belajar, maka kemudian ketika ada seseorang yang tidak melakukan kegiatan itu bisa dianggap tidak bekerja dan tidak bersekolah.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Seorang pegawai bank bekerja di rumahnya di Tangerang Selatan, Banten, Selasa (17/3/2020). Sejumlah kantor dan perusahaan menerapkan sistem bekerja dari rumah untuk meminimalkan penularan Covid-19.
Padahal, kalau dilihat dari tujuan bekerja atau bersekolah, yang hadir di dalam kegiatan tersebut adalah proses ketika dia mulai memahami dan memberikan makna pada kegiatan itu di institusinya dan kemudian menyelesaikannya. Jika kegiatan itu dilakukan pada institusi bisnis, maka output pekerjaan yang berkaitan dengan bisnis yang disebut sebagai kerja atau hasil dari bekerja.
Sementara itu, dalam sistem belajar, output-nya siswa mendapatkan, memahami, dan atau memproses ilmu pengetahuan sesuai yang dibutuhkan atau diinginkan sesuai dengan jenjang yang ditempuhnya. Maka, bisa terlihat di sini bahwa pergi bekerja atau pergi bersekolah bukan bagian dari kerja atau bersekolah. Itu hanya penunjang saja.
Pergi bekerja atau pergi bersekolah bukan bagian dari kerja atau bersekolah. Itu hanya penunjang saja.
Ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, termasuk Indonesia, hal itu mengubah kebanyakan model belajar ataupun bekerja. Muncullah realitas baru terhadap kegiatan bekerja atau kegiatan belajar itu. Di antara hikmah terbesar dari adanya pandemi adalah kita, secara logis-rasional, diberikan kesempatan dan ruang untuk memberikan makna kembali kepada entitas budaya yang disebut bekerja atau belajar.
Entitas bekerja atau belajar ini dipaksa dikembalikan lagi kepada hakikat intinya, yakni belajar ialah upaya mendapatkan ilmu pengetahuan di mana pun dan dalam kondisi apa pun. Ruang interaksi untuk memperoleh ilmu pengetahuan tidak dibatasi lagi, karena ruang itu sekarang tersedia tidak hanya ada di sekolah atau melekat pada institusi yang ada guru (atau dosen di kampus), tetapi juga bisa belajar di mana pun.
Ragam aktivitas belajar juga melekat pada beragam platform belajar dengan beragam tutor dan metode. Dengan demikian, belajar bisa menjadi luas aspeknya, baik dari sisi referensi maupun dari sisi metode dan narasumber belajar.
Hal yang sama terjadi pada budaya bekerja. Asumsi bahwa bekerja tidak perlu pergi menuju tempat pekerjaan ternyata bisa dilakukan, meski tidak seratus persen. Ketika pandemi ini terjadi, ternyata realitas ini tidak mengurangi kualitas produktivitas dari setiap kegiatan yang bernama bekerja. Bahkan beberapa institusi bisnis berlomba-lomba menyajikan berbagai kegiatan yang bisa menunjang kesuksesan pekerjaan tanpa harus pergi menuju gedung atau ruang tempat bekerja selama ini.
Lalu, apakah ketika transformasi pekerjaan dan belajar dipindah dari gedung yang biasanya ke rumah atau ke tempat masing-masing itu mengganggu kualitas dari bekerja dan belajar? Jawabannya ternyata tidak juga.
Banyak sebetulnya yang pergi ke tempat bekerja ataupun ke tempat belajar lebih didorong karena kerinduan untuk bertemu dengan banyak orang yang selama ini berjumpa secara daring—tentu di luar jenis pekerjaan dan belajar yang memang harus dilakukan di ruang khusus.
Dari realitas inilah kemudian muncul apa yang disebut sebagai generasi rebahan. Generasi ini hadir bukan sebagai entitas yang sifatnya demografis, tetapi muncul karena proses beraktivitas yang tidak perlu pergi menuju ke tempat bekerja ataupun belajar itu.
Bagi kalangan konvensional, istilah generasi rebahan memang terdengar negatif, karena ada semacam anggapan bahwa dengan rebahan kemudian orang-orang menjadi tidak produktif. Tentu saja hal ini tidak selalu dan tidak sepenuhnya benar. Sebab, ada cukup banyak orang yang pekerjaannya bisa ditunaikan dengan lancar dan sukses walaupun dikategorikan sebagai kelompok generasi rebahan.
Sementara itu, di sisi lain, kritik yang diekspresikan oleh kaum rebahan sebagai kritik sosial, terutama pada konstruksi budaya yang mapan pada ”sistem kerja” dan ”sistem belajar”, harus direspons secara aktif dan positif. Sebab, jika saja kemunculan generasi ini bisa tetap dioptimalkan, hal itu akan berdampak positif pada kehidupan.
Tantan Hermansah, Pengajar Sosiologi Perkotaan UIN Jakarta