Sirop pelarut itu ternyata mengandung cemaran zat kimia berbahaya. Cemaran inilah yang ditemukan pada anak usia balita dengan gangguan ginjal akut.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Hingga hari ini, korban gangguan ginjal akut terus berjatuhan. Pemerintah dan pihak terkait perlu bekerja cepat dan akurat memitigasi dan mengatasinya.
Ungkapan keprihatinan kita sampaikan kepada para orangtua yang putra-putrinya masih dalam perawatan dan dukacita mendalam kepada orangtua yang putra-putrinya tidak terselamatkan. Ini beban batin yang luar biasa beratnya.
Data Kementerian Kesehatan per 18 Oktober 2022 mencatat 208 kasus terkait gangguan ginjal akut misterius ini, yang tersebar di 20 provinsi. Pasien di antaranya dilaporkan di kota Padang, Jambi, Bandung, Malang, Yogyakarta, dan DKI Jakarta. Dari jumlah itu, ada 118 kasus kematian atau 56,7 persen dari total kasus (Kompas, 21/10/2022).
Yang mengkhawatirkan, laporan berasal dari kota-kota besar yang sudah baik sistem pelaporannya, selain kemampuan mendeteksi dan menangani. Realitasnya bisa jadi jauh lebih tinggi mengingat luasnya wilayah Indonesia dan belum meratanya sarana dan prasarana kesehatan. Perlu tindakan yang cepat, akurat, plus sosialisasi informasi yang tepat.
Gangguan ginjal akut progresif atipikal adalah penurunan fungsi ginjal yang berlangsung cepat. Gejala awalnya memang mirip infeksi ringan, seperti demam, batuk, muntah, dan diare. Namun, perlu kewaspadaan begitu muncul tanda spesifik: berkurangnya urine, warna pekat, atau tidak berkemih.
Sebenarnya pasien gangguan ginjal akut sudah mulai diketahui sejak awal tahun, tetapi meningkat cepat pada September dan Oktober ini. Menjadi misterius karena pemicu yang pasti sampai saat ini belum diketahui.
Kondisi serupa dilaporkan juga di Gambia, Afrika Barat, yang terkait dengan konsumsi obat batuk produksi India yang tidak dipasarkan di Indonesia. Dari berbagai mitigasi yang dilakukan, memang masalah tidak pada obat batuknya, tetapi pada polyethylene glycol, sirop yang menjadi pelarut obat.
Kita tahu, obat untuk anak umumnya diberikan dalam bentuk cair, diberi perasa manis dan aroma buah, agar anak mau meminum obat. Sirop pelarut itu ternyata mengandung cemaran zat kimia berbahaya. Cemaran inilah yang ditemukan pada anak usia balita dengan gangguan ginjal akut.
Kementerian Kesehatan sudah bertindak cepat dengan melarang sementara penggunaan obat sirop. Badan Pengawas Obat dan Makanan juga sudah mengeluarkan daftar sejumlah obat dengan kadar cemaran melebihi batas aman. Kita berharap semua informasi ini tersampaikan secara cepat dan meluas di masyarakat.
Kementerian Kesehatan juga sudah mengeluarkan edaran penatalaksanaan. Demikian pula Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) terus berkoordinasi agar makin banyak anak yang selamat. Namun, kita menunggu hasil mitigasi agar segera diketahui sebab musababnya sehingga bisa dicegah.
Selanjutnya, pemerintah perlu membenahi kurangnya sarana dan prasarana kesehatan di pelbagai daerah, termasuk ketersediaan tenaga kesehatan dan keahliannya. Jangan ditunda karena keselamatan anak-anak taruhannya.