“Co-firing” sebagai Salah Satu Strategi Transisi Energi
Mengimplementasikan teknologi co-firing dinilai merupakan salah satu strategi jitu dalam penyediaan energi yang lebih bersih untuk mendukung transisi energi.
Transisi energi merupakan suatu proses untuk mengalihkan pemanfaatan sumber energi berbasis fosil ke pemanfaatan sumber energi non-fosil yang lebih bersih atau dikenal sebagai energi baru terbarukan. Indonesia mempunyai sasaran kebijakan energi nasional untuk mencapai pemanfaatan energi baru terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi primer nasionalnya pada tahun 2025, dan sebesar 31 persen pada tahun 2050.
Sektor energi merupakan salah satu sektor penghasil emisi gas rumah kaca yang cukup besar, yang diharapkan dapat berkontribusi dalam penurunan emisi nasional. Pada tahun 2030, target penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor energi adalah 314-398 juta ton karbondioksida.
Lalu bagaimana dengan PLTU-PLTU yang masih ada saat ini yang dinilai sebagai salah satu sumber emisi gas rumah kaca terbesar di sektor energi?
PLTU dinilai masih sangat dibutuhkan di dalam penyediaan listrik nasional. Sampai saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa energi listrik yang dihasilkan dari PLTU merupakan energi yang mempunyai biaya pembangkitan yang lebih rendah (malah mungkin paling rendah) dibandingkan teknologi lainnya, terutama teknologi energi terbarukan.
Selain teknologinya sudah sangat matang, rendahnya biaya pembangkitan listrik dari PLTU disebabkan belum dihitungnya biaya eksternalitas dari emisi dari pembangkit tersebut. Selanjutnya dari sisi keandalan, teknologi PLTU sudah terbukti andal dengan kapasitas yang besar untuk dijadikan pembangkit beban dasar yang menjadi penopang kritikal sistem kelistrikan nasional.
Namun demikian, sesuai komitmen Indonesia untuk berkontribusi pada penurunan gas rumah kaca, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan PLTU secara bertahap hingga 2030.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, Pemerintah akan menyusun peta jalan percepatan pengakhiran masa operasional PLTU yang dituangkan dalam dokumen perencanaan sektoral. Upaya lainnya, Pemerintah juga secara bertahap mengurangi penggunaan batu bara dengan memanfaatkan teknologi co-firing.
Apa itu teknologi Co-firing?
Co-firing merupakan proses penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial ke dalam pembuat uap air panas. Salah satu keunggulan implementasi co-firing adalah, tidak ada tambahan biaya investasi untuk peralatan khusus. Untuk campuran biomassa sebanyak maksimum 5 persen, tidak diperlukan modifikasi pembuat uap air panas. Co-firing akan mengurangi emisi sulfur dioksida karena biomassa kayu mengandung sulfur yang jauh lebih sedikit daripada batubara.
Teknologi co-firing dapat menggunakan berbagai macam jenis biomassa yang dikenal dengan istilah Bahan Bakar Biomassa (B3M), seperti serbuk kayu, serpihan kayu, cangkang sawit, sekam padi, tempurung kelapa, dan limbah pertanian serta kehutanan lainnya.
B3M ini juga bisa menggunakan pelet dari biomassa non kayu. Harga biomassa ini bervariasi antara Rp 400 - Rp 1.350 per kilogram. Sebelum digunakan, biomassa tersebut biasanya menjalani pre-treatment seperti proses pencucian, pemanasan dan pengeringan, pengarangan, dan atau penambahan bahan-bahan lain.
Mengimplementasikan teknologi co-firing dinilai merupakan salah satu strategi jitu dalam penyediaan energi yang lebih bersih untuk mendukung transisi energi. Teknologi co-firing merupakan salah satu solusi menuju “karbon netral” bagi negara-negara yang masih mempunyai PLTU. Selain sebagai salah satu alternatif solusi untuk pemanfaatan PLTU yang lebih ramah lingkungan”, strategi untuk mengimplementasikan teknologi co-firing juga memberikan dampak ekonomi yang positif.
Teknologi co-firing memberikan peluang untuk negara-negara berkembang yang berbasis industri pertanian dan kehutanan untuk memanfaatkan potensi ekonominya secara optimal melalui pendekatan ekonomi sirkular. Melalui pendekatan ekonomi sirkular, implementasi teknologi co-firing dapat menumbuhkan ekonomi kerakyatan dengan keterlibatan masyarakat dalam penyediaan biomassa dan konservasi lahan.
Pemerintah Indonesia telah secara serius mendorong implementasi teknologi co-firing. Indonesia pun telah memiliki beberapa peraturan atau standar terkait dengan B3M, yaitu SNI 8675:2018, SNI 8021:2020, SNI 8951, dan SNI 8966:2021.
PLN sebagai perusahaan penyedia tenaga listrik satu-satunya telah menjankan rangkaian uji coba dan implementasi teknologi ini di beberapa PLTU miliknya sejak tahun 2019. Pada tahun 2022, sebanyak 35 PLTU ditargetkan untuk menerapkan teknologi co-firing ini dengan rata-rata pemanfaatan biomassa mencapai 5-10 persen.
Perkiraan penurunan emisi karbon mencapai 0,9-9,5 juta ton CO2 per tahun. Pada tahun 2025, diharapkan sebanyak 52 PLTU akan menerapkan teknologi co-firing tersebut. Sampai dengan Agustus 2022, PLN telah melakukan uji coba pada 47 lokasi PLTU dengan rata-rata pasokan biomassa sebesar 5 peresen di antaranya pada PLTU Paiton dan PLTU Suralaya; serta implementasi pada 32 lokasi PLTU dengan rata-rata pasokan biomassa sebesar 1 persen. Implementasi tersebut telah mampu menurunkan karbondioksidasebanyak kira-kira 0,57 juta ton.
Strategi jitu bukan berarti tanpa tantangan. Beberapa tantangan utama, yaitu: keberlanjutan pasokan, harga biomassa, dan jarak antara produsen biomassa ke lokasi PLTU yang dapat menambah biaya.
Produsen biomassa tentunya dapat menggaransi pasokan biomassanya jika harga biomassa sesuai dengan patokan harga dari produsen itu sendiri. Terkait produksinya, keberlanjutan pasokan biomassa dapat dicapai jika biomassa tersebut berasal dari lahan atau hutan budidaya tanaman yang memang didedikasikan untuk memenuhi kebutuhan energi.
Untuk memiliki lahan atau hutan yang berdedikasi ini tentunya juga memerlukan investasi dan biaya produksi yang cukup tinggi. Di pasar domestik, harga biomassa diperkirakan masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga batubara yang dibeli oleh PLN dengan nilai kalori yang sama.
Selanjutnya, kebutuhan pasokan dari biomassa untuk PLTU-PLTU dalam negeri akan bersaing dengan kebutuhan pasokan biomassa di pasar internasional. Indonesia merupakan salah satu negara penghasil biomassa yang menjadi incaran negara-negara pengimpor. Jepang dan Korea Selatan merupakan dua negara yang mengimpor biomassa Indonesia dalam jumlah besar.
Beberapa negara di Eropa juga telah mengincar produsen biomassa Indonesia. Melalui sertifikasi Green Gold Label (GGL Certificate), para produsen biomassa mempunyai kesempatan untuk menembus pasar dunia. Baru-baru ini, Indonesia telah membukukan kontrak dagang cangkang kernel kelapa sawit untuk memasok kebutuhan energi Jepang sebesar 138,2 juta dollar AS.
Tantangan-tantangan tersebut dapat diselesaikan dengan beberapa strategi. Untuk menjamin kestabilan pasokan dan harga, implementasi co-firing sebaiknya dilakukan secara terintegrasi dari hulu sampai hilir. Penyedian B3M dapat dilakukan melalui produksi dari Hutan Tanaman Energi (HTE). BUMN dan perusahaan swasta lainnya yang mempunyai usaha HTE dapat melakukan kontrak kerjasama jangka panjang dengan PLN untuk pasokan biomassanya.
Namun demikian, isu harga bisa menjadi sandungan untuk beberapa kerjasama. Dalam hal ini, peran Pemerintah sangat dibutuhkan, seperti pemberian insentif. Beberapa jenis insentif fiskal saat ini telah diberikan Pemerintah untuk pemanfaatan energinya. Insentif fiskal sebaiknya diberikan juga pada sisi hulunya, yaitu pada penyediaan biomassa untuk energi. Peran Pemerintah juga sangat penting dalam pengaturan kembali Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH).
Selanjutnya para penyedia batubara juga diharapkan untuk dapat berkontribusi dalam penyediaan B3M ini. Mekanisme reward dan punishment yang dikaitkan dengan mekanisme Domestic Market Obligation (DMO) batubara dan pajak karbon dapat diterapkan untuk mengakselerasi transisi energi.
Penggunaan pelet dari sampah kota juga dapat menjadi pilihan untuk memperkaya penggunaan feedstock bagi teknologi co-firing. Dalam hal ini, selain Pemerintah Pusat, peran Pemerintah Daerah juga sangat penting terkait manajemen dan pengolahan sampah kota.
Terkait dengan kestabilan pasokan biomassa di pasar domestik, dalam waktu dekat, Pemerintah sebaiknya mengatur secara apik terkait dengan pengaturan ekspor biomass tersebut. Kebutuhan biomassa untuk penyediaan energi dalam negeri dapat menjadi pertimbangan Pemerintah dalam memberikan rekomendasi ekspor.
Selain PLN, penggunaan teknologi co-firing ini juga harus terus didorong pada penyedia listrik lainnya sebagai pemegang pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum terintegrasi, dan pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.
Fitria Astuti Firman adalah Analis Kebijakan Ahli Madya di Sekretariat Jenderal Dewan Energi Nasional (Setjen DEN) dan anggota dari Indonesia Strategic Management Society (ISMS).
Email: fitria.fahlefi@gmail.com