Dalam Kurikulum Merdeka, kebutuhan akan guru dihitung juga dari jumlah siswa. Karena itu, dengan mengandaikan Kurikulum Merdeka diterapkan secara ideal, kekurangan guru di Indonesia sekitar 3 juta.
Oleh
RIDUAN SITUMORANG
·5 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Ketika menjadi narasumber dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) se-Humbang Hasundutan, saya menyampaikan bahwa guru tak seharusnya khawatir tentang kurangnya jam pembelajaran. Sebagaimana diketahui, selama ini guru khawatir akan kekurangan jam belajar sehingga pencarian sertifikasi pun terganggu.
Saya menyebut demikian karena dalam Kurikulum Merdeka, kebutuhan akan guru dihitung juga dari jumlah siswa. Berbeda dengan Kurikulum 2013 (K-13), kebutuhan akan guru dihitung murni dari jumlah rombongan belajar (rombel).
Saat ini, misalnya, di sekolah saya, dengan jumlah rombel 30 dan total siswa 1.055, mata pelajaran bahasa Indonesia cukup diampu oleh lima guru. Sebaliknya, berdasarkan analisis kebutuhan guru melalui aplikasi Kurikulum Merdeka, dengan jumlah peserta didik 1.055, kami justru menjadi kekurangan guru bahasa Indonesia sebanyak 10 orang. Berangkat dari pengalaman itu, maka dengan sangat mudah dipastikan bahwa saat ini, dengan mengandaikan Kurikulum Merdeka akan diterapkan secara ideal, kekurangan guru kita ada pada angka yang tinggi: sekitar 3 juta personel.
Tentu pertanyaannya sederhana: mungkinkah merekrut guru sebanyak itu? Pasalnya, dengan jumlah guru sebesar itu, minimal kita harus menyediakan dana gaji guru sebesar dua kali lipat dari saat ini. Secara realistis, tentu saja sulit untuk menerapkannya. Apalagi, pada saat yang sama, masih sangat banyak guru kita yang hanya diberi honor ratusan ribu rupiah per bulan.
Guru baru melalui rekrutan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) saja masih sangat banyak yang belum menerima gaji setelah hampir setahun diterima/lolos seleksi. Karena itulah, adalah terkesan mengada-ada jika konon melalui Rancangan Undang-Undang Sisdiknas yang baru, guru langsung diberi tunjangan tanpa ada antrean lagi.
DOKUMENTASI DITJEN GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Peta guru pada sekolah negeri tahun 2021 berdasarkan data Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan, Kemdikbudristek.
Spirit guru
Yang lebih masuk akal untuk diduga adalah demi memenuhi gaji guru yang akan segera dua kali lipat jumlahnya karena dampak dari Kurikulum Merdeka, maka tunjangan guru melalui sertifikasi ditukar sebatas tukin (tunjangan kinerja) dan tukem (tunjangan kemahalan). Dalam hal ini, tunjangan guru diatur sesuai dengan UU Aparatur Sipil Negara (ASN).
Dengan regulasi seperti itu, tunjangan guru memang tidak lagi menunggu antrean. Sebab, dalam UU ASN Pasal 79 Ayat 1-5, besaran tunjangan bisa dipangkas dan diminimalkan karena akan tergantung kepada di mana ASN itu bekerja, di pusat atau daerah.
Artinya, besaran tunjangan tidak lagi seperti pada sertifikasi, tetapi disesuaikan dengan anggaran di tiap-tiap kementerian ataupun daerah. Dengan siasat demikianlah, kiranya pemerintah dapat mencukupi jumlah guru tanpa membebani anggaran yang lebih besar. Apalagi, ke depan, rekrutmen guru tak lagi melalui jalur PNS, tetapi hanya PPPPK.
Dalam UU ASN Pasal 79 Ayat 1-5, besaran tunjangan bisa dipangkas dan diminimalkan karena akan tergantung kepada di mana ASN itu bekerja, di pusat atau daerah.
Dengan pikiran buruk, pola ini bisa ditafsir sebagai siasat tersembunyi agar jumlah guru tetap memadai tanpa lagi-lagi membebani anggaran. Sebab, dengan pola PPPK, pada kemungkinan paling buruk, negara bisa memutasi guru.
Karena sifatnya kontrak, sangat mungkin juga guru bisa dipecat atau kontraknya tidak diperpanjang lagi (Kompas, 21 Januari 2022). Pada posisi seperti itulah negara bisa memaksakan kehendak untuk menerapkan Kurikulum Merdeka secara ideal.
Pertanyaannya, apakah dengan siasat tersembunyi itu pada akhirnya dapat menjamin implementasi Kurikulum Merdeka tanpa cacat sebagaimana diharapkan? Dalam pada itulah mengapa tulisan ini dibuat: bahwa keberlangsungan kurikulum tidak semata terkait jumlah guru.
Ada yang jauh lebih penting daripada sekadar jumlah guru, yaitu spirit dari guru itu sendiri. Untuk apa banyak guru jikalau jiwa keguruan mereka tidak ada? Artinya, banyaknya guru yang direkrut akan percuma belaka tanpa penjiwaan dan nilai luhur, apalagi konon tanpa jaminan kesejahteraan dan masa depan. Guru seperti itu cenderung akan merasa waswas pada kontraknya yang belum tentu diperpanjang atau pada kehidupan keluarganya lantaran gaji dan tunjangan tetap stagnan meski harga-harga sudah melambung setinggi-tingginya.
Karena itulah, serikat guru di Indonesia tak langsung tepuk tangan begitu saja meski Mas Menteri telah mendapatkan tepuk tangan di UNESCO. Sebab, pada prinsipnya, Mas Menteri tidak sedang membangun guru, tetapi cenderung membangun platform digital. Apakah seketika setelah membuat platform atau aplikasi, pendidikan sudah beres?
Masalah pendidikan tidak sebatas aplikasi. Karena itu, kita meradang ketika Mas Menteri lebih memberdayakan The Shadow Team (Tim Bayangan) daripada memanajemen abdi negara di kementeriannya. Anggaran bahkan sampai dirombak hanya untuk ”dirjen” baru ini dengan menyisakan tangisan guru di pelosok yang tak kunjung digaji secara layak. Tampak sekali bahwa guru dipandang dengan remeh.
Saya tidak sedang pada posisi mengatakan bahwa Mas Menteri gagal sebagai menteri pendidikan. Pada dasarnya, ada banyak keberhasilan yang ia tempuh, seperti Rapor Pendidikan untuk perencanaan berbasis data. Namun, ada banyak hal yang paling prinsip yang justru dikesampingkan. Munculnya The Shadow Team tentu adalah bentuk lain dari kegagalannya dalam manajemen.
Bukan guru
Terkait aplikasi Merdeka Belajar, kalaupun aplikasi ini diunduh jutaan guru, hal ini mengesampingkan fakta bahwa proses unduh-mengunduh ini hanyalah bagian dari paksaan. Mengunduh aplikasi itu bukan kemauan orisinal dari para guru sebagaimana ketika mereka mengunduh aplikasi lainnya.
Buktinya, begitu aplikasi Merdeka Belajar diunduh, belum tentu guru memanfaatkannya. Di daerah kami, misalnya, para guru mengunduh aplikasi itu, tetapi tidak untuk memanfaatkannya. Sebab, bagi mereka, pendidikan tidak tuntas sebatas unduh-mengunduh aplikasi. Apalagi, konten aplikasi itu pun tidak terlalu istimewa. Hal itu kemudian saya tahu ketika menjadi narasumber dalam implementasi Kurikulum Merdeka.
Hampir semua guru sudah mengunduh aplikasi. Namun, sangat sedikit dari mereka yang membaca dan mengaplikasikannya. Artinya, semangat untuk mengimplementasikan Kurikulum Merdeka jangan lagi disederhanakan dengan sebatas unduh-mengunduh aplikasi. Pendekatan pembelajaran tak sesederhana menyediakan platform dan aplikasi.
Sudah terbukti ketika pandemi Covod-19, beragam aplikasi bermunculan. Namun, nyata bahwa pembelajaran teramat kering jika sebatas belajar dari aplikasi. Artinya, ada yang jauh lebih mendasar daripada sebatas mendapatkan pembelajaran, yaitu keberjiwaan. Keberjiwaan itulah hakikat dari pendidikan yang sesungguhnya.
Pada akhirnya, saya hanya mengingatkan, meski dengan siasat tunjangan dan PPPK, ancaman kekurangan guru itu nyata adanya. Barangkali kita bisa merekrut 3 juta guru tanpa membebani anggaran dengan berbagai siasat. Akan tetapi, sadarilah, mereka itu hanya karyawan yang sedang bertugas mengajar. Mereka bukan guru.
Riduan Situmorang, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan; Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional; Pengurus PGRI Humbang Hasundutan; Ketua P2G Humbang Hasundutan.