Seyogianya kantin kejujuran diadakan lagi di sekolah-sekolah, bahkan di DPR, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung. Hidup mati kantin kejujuran merupakan indikator kejujuran komunitas.
Oleh
A Agoes Soediamhadi
·4 menit baca
Tontonan memalukan dari pejabat tinggi yang ditangkap KPK akibat dugaan korupsi rasanya tidak pernah berakhir. Ditangkapnya Rektor Unila, Gubernur Papua, dan Hakim Agung menjadi bukti kasus terkini.
Seperti para koruptor sebelumnya, mereka semua berpendidikan tinggi dan beragama. Kelihatannya tidak ada korelasi antara orang berpendidikan tinggi dan beragama dengan perilaku korupnya sehingga persoalan bisa jadi pada sistem pendidikan dan kehidupan beragama.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan disebutkan bahwa standar kompetensi pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, butir pertama fokus pada persiapan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang beriman, bertakwa kepada Tuhan, serta berakhlak mulia.
Namun, banyak satuan pendidikan yang tidak fokus pada hal tersebut, lebih pada upaya menaikkan peringkat akreditasi. Ada pula yang salah menerjemahkan sehingga peserta didik hanya kompeten di dalam ritual keagamaan, berbusana agamis, dan bukan pada perilaku lurus.
Yang jelas, untuk mencapai standar kompetensi seperti yang diharapkan, tidak bisa hanya lewat pelajaran secara verbal, tetapi harus disertai keteladanan dan latihan.
Dahulu pernah bermunculan kantin kejujuran di sekolah-sekolah, tetapi sekarang tidak terdengar keberadaannya. Padahal, kantin kejujuran merupakan salah satu cara untuk melatih dan menguji kejujuran sebab proses jual beli dilakukan secara mandiri tanpa ada pengawasan.
Seyogianya kantin kejujuran diadakan lagi di sekolah-sekolah, bahkan di DPR, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung. Hidup mati kantin kejujuran merupakan indikator kejujuran komunitas. Barang siapa setia dalam perkara kecil, ia setia juga dalam perkara besar.
A Agoes Soediamhadi Jalan Langenarjan Lor, Yogyakarta, 55131
Kamus Fisika
Kalau tidak salah, Pak Liek Wilardjo, fisikawan dan pendekar bahasa, 24 September lalu, masuk usia 83 tahun.
Saya termasuk orang yang ingin bertemu secara langsung. Beliau lahir di Kabupaten Purworejo dan kini tinggal di Kota Salatiga.
Saya berasal dari Mongkrong, Kecamatan Wonosegoro, Kabupaten Boyolali, sekitar 20 kilometer dari Salatiga. Meski relatif dekat, sampai saat ini belum bisa bertemu.
Melalui surat ini, saya hendak mengucapkan selamat hari lahir. Semoga Pak Liek senantiasa bahagia dan mulia.
Saya punya banyak ingatan dengan beliau, terutama saat kuliah di jurusan fisika. Saya menikmati betul tulisan-tulisannya di beberapa media cetak, beberapa kemudian menjadi buku, antara lain Realita dan Desiderata dan Menerawang di Kala Senjang.
Yang saya kagumi, Pak Liek masih tekun menulis opini bidang keilmuan di harian Kompas, bahkan rajin menulis surat pembaca. Tulisan Pak Liek selalu saya arsipkan dengan rapi.
Pak Liek juga salah satu pembentuk kamus fisika di Indonesia, terutama saat terlibat di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1972-1998.
Saya teringat ketika diminta ”mengajarkan” mata pelajaran fisika adik saya yang kelas XI. Pada salah satu bagian ada materi ”ekuipartisi”.
Di Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak kita temukan istilah itu. Justru, lewat Daftar Istilah Fisika (1979) garapan Liek Wilardjo, Herman Johannes, dan C Johannes, saya menemukan padanannya, yaitu ”bagi adil tenaga”.
Kita memang perlu kamus mengingat buku-buku sains kealaman punya banyak istilah yang khas. Semoga kita masih menjadi umat manusia yang mau membaca kamus!
Joko PriyonoLaweyan, Surakarta
”On Bekend”
Judul di atas saya kutip dari tulisan di amplop surat yang saya kirim kepada kenalan di Belanda. Artinya, tidak kenal.
Setelah saya cermati, ternyata saya keliru menulis satu huruf. Yang seharusnya ”ij” saya tulis ”y”.
Saya teringat nama pahlawan kita yang ejaannya campur aduk antara ejaan lama dan baru, Misal, nama bandara lama di Yogyakarta: ”Adisutjipto”. Ada huruf u dan tj. Ini menimbulkan pertanyaan, apa pertimbangan menggunakan ejaan gado-gado tersebut. Berbeda dengan nama bandara di Solo, Adisoemarmo.
Yang pasti ejaan tersebut menyimpang, tidak sama dengan dokumen pribadi almarhum seperti akta lahir, ijazah, dan KTP.