Setelah kegiatan ekonomi menggeliat lagi dengan terbukanya kembali berbagai aktivitas ekonomi setelah badai Covid-19, perekonomian dihadapkan lagi pada ancaman kebijakan ”tapering off” dan naiknya suku bunga The Fed.
Oleh
MG WESTRI KEKALIH SUSILOWATI
·7 menit baca
Tidak salah jika tahun 2022 diposisikan sebagai tahun kebangkitan kembali ekonomi, tahun momentum pemulihan ekonomi. Seiring dengan meredanya pandemi Covid-19 dan berbagai dampak buruknya, perekonomian global, termasuk Indonesia, mulai menggeliat. Pelonggaran kegiatan masyarakat telah membuka kembali pintu-pintu aktivitas ekonomi. Baik sisi permintaan maupun penawaran agregat menunjukkan gejala membaiknya perekonomian.
Pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga tahun ke tahun (yoy) setelah menurun di tahun 2020 dari tahun sebelumnya sebesar minus 2,63 persen naik menjadi 2,02 persen pada 2021 dan hingga triwulan II-2022 telah tercatat sebesar 5,51 persen. Sementara itu, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang juga tercatat mengalami pertumbuhan negatif (minus 4,96 persen) di tahun 2020 telah tumbuh positif di tahun 2021 sebesar 3,80 persen dan 3,07 persen pada triwulan II-2022. Ekspor barang dan jasa juga memiliki fenomena yang sama. Jadi, secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar minus 2,07 persen pada 2020, sebesar 3,69 persen pada 2021, dan sebesar 5,44 persen di triwulan II-2022.
Pada sisi penawaran, hampir semua lapangan usaha mengalami pertumbuhan positif pada 2021 setelah sebelumnya terkontraksi oleh turunnya produktivitas pekerja/buruh, investasi dan pendanaan, ataupun terhambatnya nilai rantai pasok global (global value chain). Sektor-sektor penyumbang terbesar, seperti sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan, mengalami peningkatan laju dari 1,77 persen pada 2020 menjadi 1,84 persen pada 2021. Sektor industri pengolahan yang mencatatkan pertumbuhan negatif (minus 2,93 persen) pada 2020 pun telah tumbuh positif sebesar 3,39 persen pada 2021. Sektor perdagangan, transportasi dan pergudangan, dan penyediaan akomodasi yang terkontraksi sangat dalam pada 2020 (minus 3,78 persen, minus 15,05 persen, dan minus 10,26 persen) menjadi 4,65 persen, 3,34 persen, dan 3,8 persen pada 2021.
Ketidakpastian membayangi pergerakan pemulihan ekonomi. Beberapa tekanan ekonomi dimungkinkan mendisrupsi momentum pemulihan ekonomi nasional.
Pertama, pengurangan subsidi energi yang berdampak pada kenaikan harga BBM. Hal ini dikhawatirkan mengerek inflasi pada sisi penawaran melalui dampaknya terhadap biaya energi, biaya transportasi, dan biaya input lainnya. Pada sisi permintaan, penurunan daya beli masyarakat akibat inflasi melemahkan permintaan agregat, terutama pengeluaran konsumsi dan investasi. Fiskal pemerintah semakin terbebani oleh anggaran kompensasi. Sementara itu, daya saing ekspor dapat menurun karena ekonomi biaya tinggi dalam negeri.
Kedua, tekanan geopolitik konflik Rusia dan Ukraina. Konflik Rusia dan Ukraina yang masih berlangsung saat ini menghambat mobilitas sumber daya secara global dan berpotensi menurunkan kinerja perdagangan, terutama impor gandum. Data BPS menunjukkan bahwa Ukraina merupakan salah satu negara pemasok gandum terbesar Indonesia. Hal ini berpotensi mendorong kenaikan harga pangan nasional.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fluktuasi harga komoditas pangan memiliki kontribusi signifikan terhadap inflasi. Dalam struktur PDB pengeluaran konsumsi, pengeluaran untuk makanan dan bahan pangan memiliki proporsi yang lebih besar dibanding kebutuhan nonpangan dari total pengeluaran rumah tangga.
Ketiga, naiknya sejumlah harga komoditas global. Meskipun pada satu sisi kenaikan harga komoditas global berarti berpotensi meningkatkan penerimaan pemerintah, pada sisi yang lain adalah tekanan harga karena adanya imported inflation.
Berbagai komoditas yang masuk ke Indonesia merupakan komoditas yang mengandung inflasi. Barang-barang impor baik produk akhir maupun bahan baku semakin mahal karena kenaikan harga dari negara asal. Penurunan nilai mata uang domestik menaikkan harga barang-barang impor, dibutuhkan lebih banyak rupiah untuk membeli barang atau jasa dari luar negeri.
Tapering off oleh The Fed berpotensi melemahkan nilai rupiah dan aliran modal keluar ( capital outflow) dalam arti pelarian modal.
Keempat, tapering off dan naiknya suku bunga acuan The Fed (Federal Funds Rate/FFR). Tapering off adalah kebijakan pengetatan moneter dengan memangkas stimulus saat perekonomian mulai membaik.
Tapering off oleh The Fed berpotensi melemahkan nilai rupiah dan aliran modal keluar (capital outflow) dalam arti pelarian modal. Akibatnya, permintaan terhadap valuta asing dapat terjadi serentak dan besar- besaran dari Indonesia. Tentu saja hal ini dapat mengurangi kekuatan ekonomi dengan berkurangnya cadangan devisa negara dan ”kekeringan” dollar. Lagi, rupiah terdepresiasi.
Kelima, penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen yang berlaku sejak April 2022 menyebabkan harga yang dibayarkan oleh konsumen naik. Produsen biasanya berusaha menggeser beban pajaknya kepada konsumen dengan menaikkan harga komoditas. Belum ada ancaman yang nyata, namun risiko stagflasi ada di depan mata di saat perekonomian mulai menggeliat seiring meredanya pandemi Covid-19. Stagflasi, suatu kondisi dengan tingkat inflasi tinggi namun pertumbuhan ekonomi rendah.
Potensi ”taper tantrum”
Setelah kegiatan ekonomi dapat menggeliat kembali dengan terbukanya kembali berbagai aktivitas ekonomi setelah badai Covid-19, perekonomian dihadapkan kembali pada ancaman kebijakan tapering off dan naiknya suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) oleh The Fed. Beberapa indikator membaiknya perekonomian adalah tingkat pengangguran kembali normal, inflasi menuju keseimbangan, penyaluran kredit mengalami pemulihan. Dalam kondisi tersebut, stimulus dalam bentuk suntikan likuiditas dianggap tidak diperlukan lagi.
Stimulus likuiditas yang membanjir untuk mempertahankan kondisi ekonomi karena Covid-19 bersifat inflatur. Maka, The Fed menerapkan kebijakan tapering off dengan mengurangi pembelian obligasi dan meningkatkan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi. The Fed mengakhiri era quantitative easing (QE) dan suku bunga rendah.
Kebijakan tapering off dan naiknya suku bunga acuan meningkatkan ketidakpastian pemulihan ekonomi secara global. Tidak terkecuali Indonesia, beberapa negara (terutama negara berkembang) dihadapkan pada gejolak nilai tukar, mengalirnya modal keluar (capital outflow) yang menyebabkan keringnya likuiditas, serta ancaman inflasi.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa tapering off yang dilakukan oleh The Fed saat ini tidak berpotensi tapering tantrum seperti pada tahun 2013. Hal tersebut disebabkan The Fed telah memberi sinyal tapering off sebelumnya sehingga dampaknya dapat diantisipasi. Selain itu, secara fundamental perekonomian Indonesia lebih siap.
Perbandingan indikator fundamental pada 2013 dengan posisi indikator fundamental per bulan Maret 2022 antara lain rasio transaksi berjalan terhadap PDB harga berlaku sebesar minus 3,19 dan 0,13 persen; laju pertumbuhan ekonomi 5,56 persen dan 5,3 persen; tingkat inflasi yoy 4,3 persen dan 2,64 persen, kurs rupiah terhadap dollar AS Rp 9.670 per dollar AS dan Rp 14.349 per dollar AS, serta cadangan devisa 99.387 juta dollar AS dan 139.128,75 juta dollar AS.
Permasalahannya, sebagaimana telah disinyalir dalam banyak berita, pejabat elite The Fed yang mengisyaratkan percepatan pelaksanaan tapering off. Artinya, suku bunga acuan The Fed juga dapat dinaikkan lebih dini untuk segera menurunkan tingkat inflasi. Dari kondisi inilah risiko taper tantrum muncul.
Sebagai akibatnya, pertumbuhan kredit perbankan akan terhambat karena biaya dana (cost of fund) naik. Investor yang berorientasi pada cuan akan memindahkan dananya dan akan terjadi kekeringan likuiditas domestik di tengah tekanan fiskal yang kuat. Akibatnya, momentum pemulihan ekonomi nasional dapat terdistorsi.
Langkah antisipasi
Meskipun secara fundamental lebih kuat dibandingkan tahun 2013, sebagai langkah penyesuaian atas kebijakan tapering off dan naiknya suku bunga acuan The Fed, Bank Indonesia telah dua kali menaikkan suku bunga acuannya.
Pertama, melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada Agustus 2022, Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 bps dari 3,50 persen menjadi 3,75 persen, suku bunga deposit facility sebesar 25 bps dari 2,75 persen menjadi 3,00 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 25 bps dari 4,25 persen menjadi 4,50 persen.
Kedua, dalam RDG bulan September 2022, Bank Indonesia semakin agresif dengan memutuskan untuk menaikkan BI7DRR sebesar 50 bps dari 3,75 persen menjadi 4,25 persen, suku bunga deposit facility sebesar 50 bps dari 3,00 persen menjadi menjadi 3,50 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 50 bps dari 4,50 persen menjadi 5,00 persen.
Bertitik tolak dari berbagai kondisi dan pengalaman historis tersebut, tampaknya penguatan pasar domestik, baik pasar input maupun pasar output, sangat diperlukan. Secara sumber daya ekonomi dan pangsa pasar, Indonesia merupakan negara kaya dan memiliki potensi pasar yang besar. Penguatan pasar domestik dapat didorong dengan percepatan digitalisasi UMKM, keuangan, serta perekonomian yang semakin inklusi.
MG Westri Kekalih Susilowati, Dosen FEB Unika Soegijapranata, Semarang