Di tengah kebuntuan konstitusional akan lebih baik kalau Presiden Jokowi mengundang Ketua MK, Ketua DPR, dan Ketua MA mencari jalan keluar bersama. Jalan keluar yang tak menyimpang konstitusi dan tak menabrak UU.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·5 menit baca
Sebelum siaran Satu Meja The Forum, beberapa waktu lalu, saya ngerumpi dengan sejumlah narasumber. Kebetulan narasumber yang hadir kala itu anggota DPR dari Komisi II dan Komisi VII DPR. Saya sempat bertanya kepada mereka, apa yang terjadi dengan pemecatan hakim konstitusi Aswanto dan digantikan oleh Sekjen Mahkamah Konstitusi Guntur Hamzah oleh Komisi III DPR.
Kedua anggota DPR itu sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi. Bahkan, menerima informasi itu pun tidak. ”Mungkin itu mainannya Komisi III DPR,” ujar anggota DPR itu. Putusan Komisi III DPR itu diamini paripurna DPR. Sahlah secara politik pergantian Aswanto oleh Guntur Hamzah meski dari sisi prosedur menabrak konstitusi.
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan, hakim konstitusi Aswanto kerap membatalkan undang-undang produk DPR dan pemerintah. Bambang menganalogikan hakim konsitusi sebagai ”direktur” perusahaan dan DPR sebagai pemilik perusahaan. Ketika direktur tidak sejalan dengan pemilih, maka digantilah sang direktur. Itulah analogi yang disampaikan Bambang yang kerap pula disapa dengan nama ”Bambang Pacul” ini.
Pengakuan dua anggota DPR yang berbeda komisi paling tidak menggambarkan ada masalah dalam problem pengambilan keputusan di DPR. Sebanyak 575 anggota DPR sepertinya hanya ”mengiyakan” putusan komisi DPR yang membidangi masalah tersebut. Padahal, atribut mereka adalah wakil rakyat, bukan wakil partai politik. Padahal, sumpah mereka adalah setia pada konstitusi.
Ketua MK Anwar Usman juga berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan Mahkamah Agung untuk maksud yang sama. Memberitahukan tidak ada periodisasi masa jabatan hakim konstitusi.
Ada tiga hakim konstitusi yang diajukan DPR dan dimintakan konfirmasi, yakni Prof Dr Arief Hidayat akan berakhir masa jabatannya sesuai dengan UU No 24/2003 pada 1 April 2023; dan berdasarkan UU No 7/2020 sampai 3 Februari 2026; Prof Dr Aswanto berdasarkan UU No 24/2003 berakhir masa jabatannya pada 21 Maret 2024 dan berdasarkan UU No 7/2020 berakhir 21 Maret 2029. Sementara hakim konstitusi Wahiduddin Adams berdasarkan UU No 24/2002 berakhir pada 21 Maret 2024 dan berdasarkan UU No 7/2020 berakhir pada 17 Januari 2024.
Pengisian hakim konstitusi memang diserahkan kepada tiga jalur, yaitu DPR, Mahkamah Agung, dan Presiden. Maksudnya agar ada keseimbangan kekuasaan dan hadirnya MK yang independen dan netral secara politik. Dari MA diusulkan nama Anwar Usman, Suhartoyo, dan Manahan Sitompoel. Dari Presiden Jokowi diusulkan nama Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Daniel Yusmic.
Belum terdengar tanggapan dari Presiden soal permintaan konfirmasi. Sementara MA melalui juru bicaranya Andi Samsan Nganro mengatakan, surat dari MK hanyalah permintaan konfirmasi saja. ”Karena itu, MA tak menjawab surat dari MK,” kata Andi Samsan Nganro seperti dikutip Kompas, Rabu (12/10/2022). Langkah MA tepat. Surat MK hanyalah konfirmasi atau pemberitahuan saja bahwa tak ada periodisasi masa jabatan hakim MK.
UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No 24/2003 tentang MK yang dibuat DPR dan pemerintah memang menjadi pangkal masalah terjadinya kebuntuan konstitusional. Lewat UU MK yang terbaru itu, pemerintah dan DPR memberi gratifikasi politik kepada hakim konstitusi bisa menjabat sampai usia 70 tahun atau masa jabatan 15 tahun. Ini adalah pengaturan jabatan terlama terhadap lembaga negara. Entah apa argumentasi pemerintah dan DPR memberikan gratifikasi politik kepada hakim MK.
Masalah kian rumit setelah MK menyidangkan uji materi terhadap UU No 7/2020. MK ditempatkan pada posisi sulit karena dia harus menjadi pengadil atas masalah jabatan dirinya yang sebenarnya dilakukan oleh DPR dan pemerintah. Dalam prinsip hukum dikenal asas nemo judex in causa sua yang dimaknai hakim tidak dapat memeriksa, menguji, dan memutus perkara yang terkait dengan dirinya sendiri.
Perpecahan dalam hakim konsitusi terbaca dalam pertimbangan putusan MK tersebut. Gagasan soal permintaan konfirmasi kepada lembaga pengusul sudah ditentang oleh hakim konsitutsi Wahiduddin Adams yang juga diusulkan DPR. Wahiddudin Adams menulis, pertama, tidak dikenal istilah ”konfirmasi” terhadap hakim konstitusi. Kedua, tindakan konfirmasi sangat berisiko terhadap kewibawaan mahkamah, kemandirian kekuasaan kehakiman, dan supremasi konstitusi.
Wahiddudin Adams dalam pertimbangan berbeda menulis dalam putusannya, revisi UU MK khususnya Pasal 87 Huruf b, menyebabkan terjadinya suasana yang sangat kalkulatif sehingga di antara kita sesama hakim konstitusi, baik diakui secara eksplisit maupun tidak, cenderung mengambil sikap saling menunggu (wait and see) serta penuh harap dan pamrih (full of stake) terhadap pilihan sikap dari hakim konstitusi lainnya.
Dalam pandangan Richard A Posner pada buku How Judges Think, tendensi semacam ini secara proporsional memang dinilai manusiawi karena hakim yang notabene juga manusia biasa secara alamiah merupakan homo economicus (makhluk yang senantiasa berhitung/kalkulatif). Namun, dalam lanjutan narasinya, Richard A Posner mengemukakan bahwa tendensi semacam ini sangat berbahaya bagi keberlangsungan jaminan supremasi hukum dan konstitusi sebab independensi dan imparsialitas hakim seharusnya juga senantiasa terjaga, termasuk dari pengaruh koleganya, dalam semangat dan prinsip kolegialitas (collegiality).
Pandangan Wahiddudin inilah yang sekarang terjadi. Ada kebuntuan konstitusional. DPR ngotot mengganti Aswanto yang belum habis masa jabatannya atas nama kepentingan politik. Sayangnya, proses politik DPR dilakukan dengan menabrak undang-undang, termasuk syarat penggantian dan pengusulan hakim MK yang dibuat DPR dan pemerintah.
Sebaliknya, Ketua MK Anwar Usman juga terlalu kreatif berkirim surat meminta konfirmasi ke lembaga pengusul soal posisi hakim konstitusi. Jika putusan DPR dijalankan, sama saja dengan DPR memberhentikan hakim Aswanto sebelum masa jabatannya berakhir hanya dengan alasan DPR kecewa dengan kinerja Aswanto. Padalah, hakim konstitusi yang diusulkan DPR bukan kepanjangan tangan dari fraksi DPR.
Sayang memang kebuntuan konstitusional seperti dibiarkan begitu saja. Keterlibatan justru muncul dari eks hakim konstitusi, termasuk bekas tiga ketua MK, yang berkumpul dan menyatakan DPR melanggar konstitusi dan meminta Presiden Jokowi mendiamkan saja surat dari DPR. MK sendiri belum bersuara. Mereka diam saja atau mendiamkan saja kebuntuan ini terjadi. DPR pun ngotot meskipun salah prosedur dan menabrak konsitusi.
Di tengah situasi kebuntuan konstitusional, akan lebih baik kalau Presiden Jokowi sebagai Kepala Negara mengundang Ketua MK Anwar Usman, Ketua DPR Puan Maharani, dan Ketua MA Syarifuddin untuk mencari jalan keluar bersama. Jalan keluar yang tidak menyimpang dari konstitusi dan tidak menabrak undang-undang. Bukanlah Pancasila mengajarkan untuk duduk bersama bermusyawarah untuk mufakat untuk mencari solusi.
Bukan atas nama kepentingan politik, kemudian semua ditabrak, termasuk konsitusi itu. Bisa berabe kalau perilaku kekuasaan legislatif seperti itu. Saya kutip tulisan Prof Mochtar Pabottingi di harian Kompas, 13 Oktober 2022, langkah DPR, ”Sungguh mewakili laku tergenit dan terpandir terhadap konstitusi.”