Penduduk rentan dan miskin merupakan kelompok yang sangat sensitif mengalami kemunduran kesejahteraan akibat bencana dan krisis. Perbaikan data penduduk miskin diperlukan agar program perlindung sosial tepat sasaran.
Oleh
RAZALI RITONGA
·4 menit baca
Peringatan Badan Pembangunan PBB (UNDP) pada 20 Mei 2020 tentang kemungkinan turunnya pencapaian pembangunan manusia kini jadi kenyataan. Laporan terbaru UNDP (8/9/2022) perihal Pembangunan Manusia 2021-2022 menyebutkan, pencapaian pembangunan manusia secara global mengalami kemunduran.
Dari tiga dimensi yang mendasari pembangunan manusia, yakni angka harapan hidup (AHA), pendidikan, dan pendapatan per kapita; AHA mengalami penurunan, sementara pendidikan dan pendapatan per kapita naik tipis. Secara global, AHA turun 1,4 tahun, dari 72,8 tahun (2019) menjadi 71,4 tahun (2021).
Celakanya, penurunan AHA di Tanah Air jauh lebih besar, yakni 4,1 tahun, dari 71,7 tahun ke 67,6 tahun. Secara faktual, turunnya AHA sekaligus merefleksikan turunnya derajat kesehatan penduduk. Dampak pandemi menjadi penyebab utama penurunan AHA.
Namun, meski imbas Covid-19 kini berkurang, kekhawatiran menurunnya AHA bisa terus berlanjut. Hal ini mengingat tekanan hidup akibat meningkatnya harga barang dan jasa, berpotensi menurunkan daya beli penduduk, terutama penduduk rentan dan miskin dalam mengonsumsi pangan bergizi dan mengakses layanan kesehatan.
Penduduk rentan dan miskin merupakan kelompok penduduk yang sangat sensitif mengalami kemunduran kesejahteraan akibat bencana dan krisis.
Perlindungan kelompok rentan
Penduduk rentan dan miskin merupakan kelompok penduduk yang sangat sensitif mengalami kemunduran kesejahteraan akibat bencana dan krisis. Saat krisis 1997/1998, misalnya, menurut perhitungan Skoufias (2000), angka kemiskinan di Tanah Air meningkat dari 12,4 persen (1997) menjadi 24,5 persen (1998).
Meningkatnya kemiskinan, terutama akibat melemahnya daya beli, menyebabkan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) secara layak, seperti pangan, pendidikan, dan kesehatan.
Dalam soal pangan, menurunnya daya beli kelompok rentan menyebabkan kualitas pangan yang dikonsumsi kian tidak layak sehingga berpotensi semakin menurunkan derajat kesehatan mereka.
Celakanya, kelompok rentan yang mengalami derajat kesehatan rendah akibat gizi kurang juga cukup rendah dalam mengakses layanan kesehatan sehingga berkontribusi cukup besar terhadap penurunan cakupan layanan kesehatan. Saat krisis 1997, menurut catatan Frankenberg et al (1999), penduduk yang berkunjung ke layanan kesehatan turun dari 7,4 persen (1997) menjadi 5,6 persen (1998).
Ditengarai, saat puncak Covid-19 mewabah, kelompok rentan yang mengunjungi layanan kesehatan bahkan lebih rendah lagi. Hal ini, antara lain, adalah akibat akumulasi dari ketidakmampuan dalam mengakses layanan kesehatan dan kekhawatiran tertular Covid-19. Ketidakmampuan mengakses layanan kesehatan tidak hanya soal biaya (terutama biaya transportasi ke pusat layanan kesehatan), tetapi juga karena hilangnya waktu untuk mencari nafkah.
Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu melakukan penebalan perlindungan sosial pada kelompok rentan. Ini tidak hanya soal bantuan finansial, seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan Program Keluarga Harapan (PKH), tetapi juga soal kemudahan mengakses layanan kesehatan.
Dalam konteks itu, besarnya pendapatan bukan menjadi faktor utama dalam meningkatkan derajat kesehatan penduduk. Akan tetapi, lebih ditentukan oleh kesadaran untuk hidup sehat. Jelasnya, besarnya pendapatan tak selalu berbanding lurus dengan tingginya derajat kesehatan.
Hal ini, antara lain, terekam dari besarnya pendapatan per kapita dengan tingginya AHA. Sejumlah negara dengan pendapatan per kapita lebih rendah dari Indonesia ternyata memiliki AHA lebih tinggi.
Berdasarkan Laporan Pembangunan Manusia 2021-2022 UNDP, diketahui negara dengan pendapatan per kapita lebih rendah, seperti Kamboja, Filipina, dan Vietnam, AHA lebih tinggi dari Indonesia.
AHA Kamboja, Filipina, dan Vietnam masing-masing adalah 69,6 tahun, 69,3 tahun, dan 73,6 tahun. Indonesia dengan pendapatan per kapita 4.349,17 dollar AS per tahun memiliki AHA 67,6 tahun.
Untuk itu, perbaikan data penduduk miskin amat diperlukan agar perlindungan sosial tepat sasaran.
Soal akurasi data
Namun, upaya perlindungan sosial terhadap kelompok rentan, terutama penduduk miskin, kerap tak optimal. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh ketidakakurasian data penduduk miskin. Untuk itu, perbaikan data penduduk miskin amat diperlukan agar perlindungan sosial tepat sasaran.
Saat ini sudah ada upaya pemerintah untuk memperbarui data penduduk miskin. Diketahui, Badan Pusat Statistik pada 15 Oktober sampai dengan 14 November 2022 akan melaksanakan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek).
Pendataan dilakukan untuk mengumpulkan data tentang kondisi sosial ekonomi seluruh penduduk, baik kaya maupun miskin. Dengan cara itu, diharapkan pemerintah dapat mendesain jenis perlindungan sosial yang dibutuhkan masyarakat, termasuk di dalamnya perlindungan kesehatan, terutama untuk kelompok rentan dan miskin.
Dengan cara itu, diharapkan upaya perlindungan sosial bagi mereka yang membutuhkan akan menjadi lebih tepat sasaran. Khususnya pada perlindungan kesehatan amat diharapkan tidak hanya mencegah penurunan, tetapi juga dapat meningkatkan derajat kesehatan penduduk.
Namun, upaya untuk memperoleh data sosial ekonomi penduduk itu bisa tak optimal jika data yang dikumpulkan tidak sesuai dengan jawaban responden saat diwawancarai petugas pendataan. Di sini pentingnya bagi kita semua untuk memberikan keterangan yang benar sesuai dengan kondisi sosial ekonomi yang dimiliki. Dengan memberikan jawaban yang benar, sejatinya telah membantu pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial yang berkeadilan.