Peristiwa Kanjuruhan yang menyebabkan 131 korban tewas terus ditindaklanjuti dengan pelbagai upaya penyidikan dan mitigasi. Presiden Joko Widodo juga telah meminta Menteri PUPR mengevaluasi kondisi keamanan di semua stadion di Indonesia.
Panglima TNI menjanjikan akan mengusut prajurit TNI yang melakukan tindak kekerasan kepada suporter. KSAD yang mengunjungi korban di RS Dr Saiful Anwar, Malang, juga menjanjikan hal serupa selain mengapresiasi dan berterima kasih kepada prajurit TN AD yang menolong korban. Polisi telah menetapkan enam tersangka yang dianggap lalai, tiga di antaranya anggota kepolisian.
Banyak yang menyalahkan keputusan menembakkan gas air mata ke podium yang penuh suporter Aremania. Padahal, itu bukan satu-satunya penyebab. Berbagai informasi di media dan internet menyebutkan, kapasitas stadion yang maksimum 45.000 diduga diisi lebih, karena stadion belum menggunakan kursi tunggal (single seat).
Pintu keluar stadion hanya dua yang terbuka, sementara enam pintu keluar lainnya terkunci dan tidak dijaga petugas. Tangga ke arah pintu keluar curam dan tidak dilengkapi pagar pengaman, sementara pintu sempit dengan lebar sekitar 2,5 meter. Dalam kondisi normal pun 45.000 penonton butuh waktu lama keluar stadion.
Yang menjadi pertanyaan saya, apakah para petugas kepolisian dan TNI yang diperbantukan ini telah dilatih menghadapi kerusuhan di lingkungan stadion tertutup, yang tentu sangat berbeda dengan menghadapi demonstrasi di ruang terbuka?
Di masa mendatang perlu pelatihan penanggulangan kerusuhan, teknik mengurai kerumunan orang yang berdesakan di ruang tertutup bagi petugas keamanan, seperti polisi, TNI, Satpol PP. Selain itu, perlu gladi persiapan sebelum suatu acara yang melibatkan massa di lingkungan terbatas, seperti stadion, guna memastikan semua petugas tahu apa yang harus dilakukan saat kondisi abnormal.
Intinya mengelola pertandingan sepak bola, konser musik, ataupun kampanye di stadion dengan penonton penuh harus dilakukan serius, cermat, dan terencana.
Kita pun sebagai pencinta sepak bola perlu mawas diri, jangan terlalu fanatik dan mengabaikan aturan yang berlaku, demi menjaga keselamatan kita dan orang lain.
Teguh MulyonoJl Satrio Wibowo Selatan, Surakarta 57142
Mencari Kebenaran
Suasana di dalam Stadion Kanjuruhan usai pertandingan
Tragedi kemanusiaan di Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10/2022), menjadi sangat spesifik lantaran terjadi bukan karena tawuran antarsuporter dua kesebelasan yang berlaga.
Tak ada suporter Persebaya di lapangan saat kerusuhan. Maka, semua pihak seperti kebakaran jenggot, menyelisik siapa pihak yang dianggap salah dan bertanggung jawab.
Dibentuklah tim-tim investigasi pencari fakta. Ada tiga tim pencari fakta, yakni oleh FIFA sebagai induk organisasi sepak bola dunia, tim pencari fakta independen yang dibentuk pemerintah, dan tim pencari fakta PSSI sebagai induk organisasi sepak bola nasional. Tugas tiga tim ini sama, menggali informasi yang lengkap dan obyektif tentang insiden memilukan ini.
Dari video yang banyak beredar di media sosial, ada tiga penyebab utama mengapa banyak jatuh korban jiwa, yakni penggunaan gas air mata, akses pintu ke luar stadion yang sangat tidak memadai, dan tata laksana penyelenggaraan pertandingan yang tidak antisipatif dan responsif.
Kalau boleh disimpulkan, penyebab tragedi adalah aspek keamanan dan pengamanan yang tidak memadai. Ada prosedur baku yang tidak dijalankan dan dipatuhi.
Kejujuran harus menjadi pijakan tim pencari fakta untuk menemukan kebenaran peristiwa, bukan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Dalam tragedi ini semua pihak punya andil salah karena lalai, tidak responsif, dan tidak antisipatif.
Budi Sartono SoetiardjoCilame, Ngamprah, Kabupaten Bandung