Konstitusi dan Daya Lestari
Semakin getas konstitusi, semakin ia memerlukan laku ”handle with care”, kepedulian. Bangunan republik kita sangat mudah pupus jika konstitusi terus dijadikan mainan aneka kepentingan penguasa oportunis dan serakah.
No legislative act, contrary to the Constitution, can be valid.
Alexander Hamilton (1755-1804)
Sanggupkah republik kita melewati usia sentenialnya? Pertanyaan ini menerpa banyak sesama pencinta bangsa 3-4 tahun terakhir.
Di rentang waktu itu, kita telah terdera setidaknya tiga bala. Pertama, menajamnya penderitaan berpuluh juta warga akibat beratnya dampak pandemi. Kedua, kian akutnya laku korupsi di kalangan pelaksana negara di ketiga cabang pemerintahan plus peringanan hukuman bagi mereka. Dan, ketiga, disahkannya serangkaian produk undang-undang miskin legitimasi yang memberati kehidupan rakyat.
Dalam karya klasiknya, Representative Government (1859), John Stuart Mill menukilkan gagasan berikut: ”Konstitusi representatif adalah cara untuk membawa standar umum kecerdasan dan kejujuran yang ada pada suatu bangsa, dan segenap akal budi serta kebajikan tiap individu terbijak di dalamnya, lebih berdampak langsung pada pemerintahan”.
Mill menghendaki terpadunya prinsip-prinsip tercerahkan di ketiga cabang pemerintahan. Menjadi landasan universal bangunan politik, rumusan Mill ini tetap menggugu wejangan Aristoteles yang menekankan kebajikan publik serta kombinasi karakter, otoritas, dan laku bakti-bangsa. Tiap konstitusi memang tegak di atas kepedulian.
Kian kokoh konstitusi suatu negara-bangsa, kian besar pulalah probabilitasnya untuk terus berkiprah dan berkembang lintas sentenial.
Jika konstitusi demikian terlaksana, negara pemangkunya akan menjelma suatu bangunan politik penyebar kesejahteraan. Dengan itulah ia memberi negara-bangsa suatu daya tahan hidup istimewa. Kian kokoh konstitusi suatu negara-bangsa, kian besar pulalah probabilitasnya untuk terus berkiprah dan berkembang lintas sentenial.
Di situ berlaku suatu kausalitas langsung. Amerika Serikat, misalnya, telah berusia 246 tahun dan Kerajaan Inggris 315 tahun. Keduanya telah membuktikan daya lestari itu.
Berhari-hari, September lalu dunia menyaksikan sihir perkabungan intens atas wafatnya Ratu Elizabeth II. Di titik-titik simbolik keratuannya, aneka musik dan lagu rohani disuguhkan bersama deretan pomp, regalia, dan pageantry megah. Tak terhitung momen hening. Ada tremendum dan fascinans.
Bertakhta 70 tahun, belum pernah kematian monark dirayakan dalam himpunan pujian atas teladan ”duty, honor, commitment, and faith”, ”life of service to the nation and the world”, dan ”a constant for all our lives for 70 years”.
Ratu Elizabeth II bangga menyebut dirinya a servant Queen. Beratus ribu rakyat Inggris, sukarela, berjalan pelan khidmat siang malam dalam suatu ”antrean bersejarah” hanya untuk sesaat merunduk dan menyatakan ”Thank you Ma’am” di depan peti jenazah Sang Ratu.
Menembus perkelindanan kental dan panjang antara evolusi ideal-ideal Magna Carta dan semesta gelap kolonialisme-imperialisme, di mana kini pun bekas-bekas koloninya masih menuntut pertanggungjawaban, Elizabeth II telah terpatri sebagai puncak cerlang soliter suatu monarki konstitusional.
Ilustrasi
Konstitusi dan konstitusionalitas
Agar berkiprah optimal, konstitusi, yang dirumuskan sebagai sehimpunan prinsip dan ketentuan tertulis ataupun tidak yang menjabarkan tiap sumber, tujuan, kegunaan, dan batasan kuasa publik (The Blackwell Encyclopaedia of Political Science), perlu diiringi ”konstitusionalitas”. Konstitusionalitas sekaligus inti dan ekstensi yang niscaya dari pengertian konstitusi, yang setidaknya meluas ke dua hitungan yang menentukan daya lestari negara-bangsa.
Pertama, pada ada-tidaknya dasar-dasar pemikiran politik anteseden ke arah terpanggil dan tersusunnya suatu naskah final konstitusi yang membumi dan artikulat sebagai prinsip dasar bernegara-bangsa dengan rentang validitas lintas sentenial.
Kedua, pada seberapa kuat ketentuan konstitusi menjiwai pembentukan tiap UU dan peraturan pemerintahan; seberapa tinggi penjunjungan atasnya dari para pelaksana negara; dan seberapa dalam pengindahannya dari segenap masyarakat adab (civil society) di dalam negara-bangsa.
Didahului oleh Declaration of Independence, berisi penolakan 17 butir terhadap penjajahan Kerajaan Inggris, konstitusi Amerika dirancang pada 1787, sebelas tahun setelah Declaration, diratifikasi berangsur dari 9 ke 11, dan terakhir bersama Bill of Rights, oleh keseluruhan 13 negara bagian awal pada 1791.
Penanda terpenting konstitusi Amerika ialah ia didahului oleh proses deliberasi politik merdeka yang rinci dan matang lewat publikasi gencar 85 artikel tercerahkan (semacam academic papers) perihal federalisme di koran-koran New York pada Oktober 1787-Maret 1788.
Berdaya jangkau lintas-sentenial, konstitusi AS, termasuk yang disusun ekstra-bijak dengan cakrawala politik ekstra-luas yang pernah dibayangkan dalam sejarah.
Di tengah kemelut dan tawar-menawar alot antarnegara bagian di pengujung abad ke-18 itu, deliberasi politik AS menukik hingga ke perbandingan politik cerdas lintas negara-negara sezaman di Eropa dan ke tradisi pemerintahan Yunani dan Romawi. Ke-85 artikel fasih yang dibaca luas oleh rakyat AS itu ditulis Alexander Hamilton (51 artikel), James Madison (26), dan John Jay (5), pemikir-pemikir politik dan pemerintahan. Tiga selebihnya karya bersama Hamilton dan Madison.
Naskah final konstitusi AS disusun oleh majelis 55 tokoh utama buah Revolusi Amerika, termasuk Washington, Madison, dan Hamilton. ”Itu mencakup jiwa-jiwa terbaik dan karakter-karakter termulia yang pernah hidup di Benua Baru,” tulis Tocqueville dalam Democracy in America.
Berdaya jangkau lintas-sentenial, konstitusi AS, termasuk yang disusun ekstra-bijak dengan cakrawala politik ekstra-luas yang pernah dibayangkan dalam sejarah.
Konstitusi kita, di tengah parahnya dampak cekikan dan distorsi kolonial, tak ditandai oleh rangkaian evolusi konstruktif dan keluasan cakrawala. Terputus-putus, ia bertukar-tukar dalam tiga versi: UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949), dan UUD Sementara Republik Indonesia (1950).
ilustrasi
Empat negativitas historis menandai konstitusi kita: kurangnya perhatian pendiri bangsa perihal seluk-beluk pemerintahan modern lantaran konsentrasi penuh untuk meretas belenggu penjajahan; tiadanya jarak waktu antara ”momen proklamasi kemerdekaan” dan ”momen konstitusi”; gagalnya deliberasi politik Konstituante (1956-1959); defisit otoritas-legitimasi politik dalam pelaksanaan amendemen masif atas UUD 1945 pada 1999-2002 lantaran tebalnya distorsi politik Orde Baru dan tak terwujudnya Komisi Konstitusi Independen.
Secara historis dan tekstual, sulit untuk tak menyebut UUD 1945 pasca-2002 sebagai masih serupa aslinya: suatu ”UUD kilat”. Pada taraf itu, ia belumlah sandaran politik andal. Maka kurangnya input karakter dan otoritas terutama pada rangkaian amendemen konstitusi kita harus diatasi dengan penguatan konstitusionalitas.
Bangsa kita sangat beruntung memiliki Pancasila sebagai anteseden suprapotensial dari konstitusi kita. Sayang, hingga kini elan politik Pancasila belum kita tahbiskan sebagai suatu keniscayaan legislasi.
Bahaya terbesar bagi konstitusi adalah impunitas atas pelanggaran atau penyalahgunaan atasnya.
Bahaya terbesar bagi konstitusi
Kekuatan upaya konstitusionalitas di AS berbanding lurus dengan ketegaran konstitusinya. Hal sebaliknya berlaku di Indonesia.
Bahaya terbesar bagi konstitusi adalah impunitas atas pelanggaran atau penyalahgunaan atasnya. Impunitas dalam pengertian ini monster perusak bangunan negara-bangsa. Itulah yang kini paling menghantui para penjunjung demokrasi di AS.
Upaya konstitusionalitas terkini di AS terpusat pada Komite Investigasi DPR AS atas serangan terhadap Gedung Capitol 6 Januari 2021 yang hendak membatalkan kemenangan sah Joe Biden dalam Pilpres 2020 dengan tumpukan kebohongan. Investigasi dilaksanakan dengan akal budi prima guna memastikan agar laku maha-khianat konstitusi itu tak terulang.
Rangkaian acara dengar pendapat komite menyajikan cerdas-hidup rekaman pelbagai ucapan, sikap, dan perilaku Trump mengundang ribuan pengikutnya menyerbu, merusak, dan menodai Gedung Capitol. Di luar Perang Saudara, belum pernah Amerika menghadapi cobaan politik sebesar ini.
Hasutan Trump lantang: ”We fight like hell. And if you don’t fight like hell, you’re not going to have a country anymore”. Semua ditayangkan prime time lewat televisi dan diikuti antusias oleh sekitar 60 persen rakyat Amerika.
Bennie Thompson, Ketua Komite Investigasi, menegaskan, ”6 Januari dan rantai kebohongan yang menimbulkan pemberontakan telah membahayakan dua setengah abad demokrasi konstitusional [Amerika]. Dunia menyaksikan apa yang kita lakukan di sini. Suatu teladan bagi semua—jika kita dalam karakter terbaik.”
Lalu, pada 1 September di Gedung Kemerdekaan Amerika di Philadelphia, Presiden Biden menegaskan, ”Amerika sedang berada di titik simpang ... apakah terus melangkah maju atau mundur, membangun masa depan atau terundung masa lampau, menjadi bangsa penuh harapan, kesatuan, dan optimisme atau bangsa penuh ketakutan, perpecahan dan kegelapan.”
Di Indonesia, ketentuan utama konstitusi sejak Orde Baru semakin tak menjiwai proses legislasi beserta segenap turunannya. Menguap penjunjungan para pelaksana negara atas konstitusi. Tergerus prinsip transparansi dan akuntabilitas menyangkut pilihan dan pelaksanaan proyek strategis pemerintah. Pengingkaran de facto atas konstitusi meniadakan prinsip checks and balances, merusak rasionalitas politik, dan merajalelakan impunitas atas kanker korupsi dan timbunan pelanggaran HAM.
Hanya di kalangan masyarakat adab, konstitusi-konstitusionalitas terus menyala.
Hanya di kalangan masyarakat adab, konstitusi-konstitusionalitas terus menyala. Kita bersyukur masih ada sejumlah otoritas konstitusi yang dengan integritas prima terus melancarkan kritik dan menyatakan keprihatinan.
Dari kalangan intelektual, antara lain, ada mendiang Azyumardi Azra. Penyandang bersahaja dari beberapa penghargaan internasional berharkat, tanpa pamrih bertahun-tahun bersuara dan menggalang upaya bagi kebajikan publik.
Dari dunia pers, wartawan senior Kompas Budiman Tanuredjo lewat kumpulan 100 tulisan kolom pilihan terus mengingatkan bangsa kita dalam aneka tema hukum dan politik, terutama akutnya masalah impunitas atas korupsi dan pelanggaran HAM. Menggarisbawahi pesan mendiang Herry Priyono: korupsi ”membuat hidup bersama jadi busuk”.
Lewat televisi dan internet, tak sedikit jurnalis berintegritas gigih melakukan scrutiny atas pelaksana kekuasaan. Di seluruh pelosok Tanah Air berjajar pembela rakyat, perawat kultur dan ingatan, dan pemelihara lingkungan. Mereka peduli jiwa-raga bangsa dan kepermataan Tanah Air. Hanya saja kita berhadapan dengan sisi malang dari ekuasi Aristotelian: negara, manakala salah jalan, menjelma pembiadab terbesar. Kata simpul tinggal pada Providence.
Lantaran bersifat ”kilat”, miskin input karakter-otoritas, konstitusi kita cenderung getas. Ia mudah disalahgunakan pemabuk dan pengangkang kekuasaan. Untuk itu, diperlukan kebijakan ganda.
Di satu sisi kita harus tegas meninggalkan praktik Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan ”Orde” Reformasi yang mudah melecehkan konstitusi. Sebaliknya, kita harus memagnifikasi konstitusionalitas. Magnifikasi ini tentu tak hanya diharapkan dari masyarakat adab, tetapi lebih-lebih dari para pelaksana negara. Sinergi keduanya akan mendorong arus kebajikan publik di Tanah Air.
Di sisi lain kita harus memperlakukan konstitusi kita dengan sangat hati-hati jika kita tulus menghendaki negara-bangsa kita selamat melewati usia sentenialnya. Semakin getas konstitusi, semakin ia memerlukan laku handle with care, kepedulian. Bangunan republik kita sangat mudah pupus jika konstitusi terus dijadikan mainan aneka kepentingan penguasa oportunis dan serakah.
Beberapa waktu lalu bangsa kita dirisaukan wacana terma ketiga bagi Presiden Joko Widodo. Termutakhir, bangsa kita terperanjat oleh laku DPR memecat Hakim Konstitusi Aswanto tanpa becermin pada tumpukan pengkhianatannya sendiri terhadap rakyat. Sungguh mewakili laku tergenit dan laku terpandir atas konstitusi.
Dalam kutipan lengkap, telunjuk Hamilton tertuju lurus kepada kedua laku terburuk di atas: ”There is no position which depends on clearer principles than that every act of a delegated authority, contrary to the tenor of the commission under which it is exercised, is void. No legislative act, contrary to the Constitution, can be valid.”
(Mochtar Pabottingi, Pemikir Demokrasi dan Kebangsaan)