Emisi Nol Persen Untuk Mengatasi Bencana
Perubahan iklim yang telah mengakibatkan banyak kerugian dikarenakan bencana alam sifatnya adalah anthropogenic, atau disebabkan oleh kegiatan manusia. Akan tetapi solusinya juga ada di manusia.
Setiap proses pembakaran menambah panas bumi dan gejolak atmosfir bumi.
Mengapa banyak lahan hutan di pelbagai lokasi di dunia dilanda kebakaran, dan perumahan hilang tanpa bekas kecuali hangus hitam (menjadi karbon)? Setiap perubahan benda menjadi arang merupakan proses karbonisasi, menambah bumi panas. Akibatnya, lahan sawah di banyak lokasi misalnya, menjadi kering, dan tanaman menjadi rusak, sehingga menimbulkan krisis pangan.
Nasib penduduk yang rumahnya terkena banjir, yang luapannya makin tinggi dari tahun ke tahun, di sisi lain telah membawa kemiskinan bagi penduduk.
Semua itu akibat dari gangguan ketidakstabilan atmosfir bumi. Adapun sumber dari semua masalah tersebut, tidak terlalu sulit dicari, yaitu adanya perubahan cuaca dunia atau pemanasan bumi yang perlahan-lahan tetapi pasti menjadi makin dahsyat pengaruh negatifnya bagi kelangsungan hidup manusia.
Hutan di Califormia, Amerika Serikat, dilanda kebakaran hampir setiap bulan. Banyak rumah musnah, penduduk terkena musibah perubahan iklim, biaya asuransi rumah meningkat. Pada akhirnya, pada permulaan September 2022, Pemerintah Negara Bagian Kalifornia memutuskan akan melarang pemakaian bensin dan gas pada alat atau pada kegiatan apapun seperti transportasi, alat masak dapur, alat penerangan dan lain lain. Semua energi akan diganti dengan tenaga listrik.
Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengeluarkan Inpres Mobil Listrik sebagai inisiatif awal, untuk kendaraan dinas pegawai negeri. Kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut merupakan upaya mengatasi bencana pada kehidupan manusia, dengan satu tujuan, terciptanya emisi nol persen atau net zero emission (NZE).
NZE singkatnya adalah suatu kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan oleh kegiatan manusia tidak melebihi yang diserap bumi. Kegiatan atau proses dalam menuju zero emission disebut transisi net zero (nol); karena diperlukan waktu dan upaya peralihan penggunaan energi fosil ke energi lebih bersih (seperti tenaga nuklir), atau energi terbarukan (seperti tenaga angin dan matahari).
Indonesia mencanangkan target NZE dapat dicapai pada tahun 2060.
Indonesia mencanangkan target NZE dapat dicapai pada tahun 2060. Selain itu, Indonesia juga memiliki komitmen nasional dalam bentuk NDC (Nationally Determined Contribution); yaitu menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) seperti penyerapan emisi oleh penghijauan di tahun 2030 sebesar 29 persen dengan upaya nasional, atau 41 persen dengan bantuan internasional, dengan titik tolak tingkat emisi tahun 2010. Sektor yang menjadi fokus adalah hutan, guna lahan, energi, pertanian, limbah dan IPPU (industrial process and product uses) seperti pengolahan baja, hingga semen.
Hutan adalah penyerap karbon yang penting tetapi juga menjadi masalah sebagai sumber emisi gas rumah kaca jika ditebangi. Sebagai penyumbang 40 persen dari total emisi, pemerintah menjadikan sektor kehutanan porsi terbesar untuk target penurunan GRK yaitu 59,76 persen.
Selain itu, pemerintah juga menargetkan "carbon net sink" di 2030 dimana jumlah karbon yang diserap oleh sektor hutan sama atau lebih besar dari emisi yang dihasilkannya (MENLHK, 2022). Untuk mencapainya antara lain dapat dengan reforestasi hutan, restorasi gambut, rehabilitasi mangrove, pencegahan kebakaran hutan. Selain itu juga diperlukan pengaturan kegiatan manajemen kehutanan dan pengembangan pasar perdagangan karbon (Thomson, 2008).
Baca juga: Rubrik Manajemen ISMS
Sektor kedua terbesar sebagai penyumbang GRK adalah sektor energi. Upaya yang terus didukung pemerintah adalah pengembangan energi terbarukan (EBT) seperti tenaga surya, tenaga air, biofuel atau ekosistem transportasi tenaga listrik. Bauran energi terbarukan saat ini sekitar 11 persen yang mana ditargetkan menjadi 23 persen di tahun 2025.
Target-target di atas sangat tinggi dan pencapaiannya diperlukan biaya tidak kecil, serta komitmen semua pihak. Dari laporan terbaru International Energy Agency (IEA), dikatakan Indonesia membutuhkan Rp 119 Triliun per tahun untuk mencapai net zero emission. Implementasinya juga diperlukan koordinasi, pengembangan kapasitas dan transfer teknologi (MENLHK, 2021).
Akan tetapi ketersediaan energi bersih sesungguhnya akan dapat menghemat biaya impor minyak. Selain itu di balik investasi yang tinggi untuk pencapaian transisi net zero, perusahaan konsultan dunia McKinsey awal tahun 2022 dalam penelitiannya, melihat lonjakan permintaan teknologi, material dan layanan rendah karbon, akan menjadi peluang besar bagi perusahaan untuk membangun industri hijau. Misalnya mobil listrik, penerbangan rendah karbon, material bangunan ramah lingkungan, teknologi gedung hijau dan desain yang mengutamakan konsep kelestarian.
Peluang Masa Depan
Perubahan iklim adalah masalah global yang kritis sehingga banyak pemimpin bisnis di dunia telah mengintegrasi prinsip keberlanjutan sebagai bagian dari strategi perusahaan. Mereka memanfaatkan teknologi untuk menghasilkan barang dan jasa yang ramah lingkungan. Sistem Informasi tentang keberlanjutan menjadi sumber utama dalam transisi ke ekonomi yang berkelanjutan (Esty & Winston, 2006).
Google, perusahaan besar dunia, memakai daya listrik (bukan bensin) 15,5 terawatt hour tahun 2020 yang sebagian besar digunakan untuk manajemen pusat data. Jumlah ini hampir 50 persen dari penjualan listrik PLN sebesar 32,1 TWh untuk Jakarta Raya selama tahun yang sama. Google juga mencanangkan penggunaan energi bebas karbon sepenuhnya mulai tahun 2030.
Terkait kegiatan individu, Universitas Leed di Inggris melakukan penyaringan terhadap hampir 7000 tulisan ilmiah di seluruh dunia, tentang kegiatan manusia sehari-hari yang paling berpengaruh mengurangi jejak karbon. Misalnya, gaya hidup tanpa mobil pribadi, penggunaan mobil elektrik, pengurangan bepergian dengan pesawat, penggunakan energi terbarukan, pengurangan makan daging, perbaikan peralatan masak dari pembakaran (Ivanova dkk, 2021).
Perubahan iklim yang telah mengakibatkan banyak kerugian dikarenakan bencana alam sifatnya adalah anthropogenic, atau disebabkan oleh kegiatan manusia. Akan tetapi solusinya juga ada di manusia sendiri, yang dapat ditentukan dari gaya hidup, upaya bisnis untuk berfokus pada industri yang ramah lingkungan, serta ikhtiar pemerintah yang konsisten dalam menjalankan kebijakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Ciska Tobing, Doktor Ilmu Manajemen dan anggota Indonesia Strategic Management Society (ISMS)
E-mail: ciskatobing28@gmail.com