
Pada awal 1990-an, internet hanya berupa situs web statis untuk mendapatkan informasi secara daring. Dalam era yang disebut Web 1.0 ini, interaksinya searah karena kebanyakan pengguna hanya bisa mengonsumsi konten. Seiring berkembangnya teknologi, sekitar tahun 2004, muncul Web 2.0, era internet sekarang ini.
Situs web jadi lebih dinamis, responsif, dan interaktif. Kita bisa mengedit Wikipedia, berinteraksi dengan teman melalui Facebook, tweet dan re-tweet berita singkat, mengunggah foto di Instagram, demikian pula video di Youtube, serta ber-Tiktok ria. Platform Web 2.0 bersifat dua arah, orang awam pun bisa saling berinteraksi dan menjadi pembuat konten.
Namun, kemunculan platform digital, seperti Facebook, Twitter, Instagram, Google, dan Amazon, membuat Web 2.0 menjadi versi web yang terpusat. Perusahaan-perusahaan tersebut menyimpan, mengelola, dan memonetisasi data pengguna. Kita bisa menggunakan platform mereka secara gratis, tetapi data kita menjadi produk yang mereka jual.
Selain itu, platform juga menjadi otoritas terpusat pengendali. Jika video kita tidak disukai Youtube atau tweet kita bertentangan dengan persyaratan Twitter, mereka dapat menghapusnya. Facebook dan Instagram sering membekukan akun pengguna yang dinilai melanggar aturan. Karena terpusat, ada pula risiko sistem down dan rentan diserang peretas.
Kita bisa menggunakan platform mereka secara gratis, tetapi data kita menjadi produk yang mereka jual. Selain itu, platform juga menjadi otoritas terpusat pengendali.
Web 3.0 adalah internet generasi ketiga yang awalnya disebut Web Semantik oleh Tim Berners-Lee, penemu World Wide Web. Web 3.0 adalah internet yang lebih mandiri, cerdas, dan terbuka. Di sini, situs web dan aplikasi memproses informasi menggunakan teknologi kecerdasan buatan, machine learning, big data, dan blockchain. Selain Web 3.0, ada juga istilah Web3 yang sebenarnya sedikit berbeda, tetapi sering dianggap sama.

Konsep Web3 sendiri pertama kali diperkenalkan Gavin Wood pada 2014 sebagai versi internet yang terbuka dan terdesentralisasi. Banyak aspek Web3 yang bisa kita bahas, tetapi kali ini saya akan fokus pada tiga hal.
Pertama, pengendalian data pengguna. Dengan Web3, pengguna memiliki kontrol lebih besar terhadap data mereka. Salah satu contoh aplikasi Web3 adalah browser bernama Brave. Browser ini memungkinkan pengguna menentukan seberapa sering iklan yang mereka lihat dalam sebulan. Selain itu, mereka juga mendapatkan bagi hasil dari iklan yang mereka tonton dalam bentuk basic attention token (BAT).
BAT adalah token atau mata uang kripto yang digunakan di platform Brave yang dapat ditukarkan dengan ETH (ether). Jadi, secara prinsip, pengguna browser Brave bisa mengontrol data mereka akan dijual kepada siapa, melalui apa, dan seberapa sering. Hal ini sangat berlawanan dengan Web 2.0, di mana platform semacam Facebook dan Google menentukan bagaimana data pengguna dimonetisasi dan keuntungannya pun dinikmati mereka sendiri.
Aspek kedua, kemampuan bertransaksi tanpa perantara. Dalam Web 2.0, semua transaksi harus difasilitasi pemilik platform. Misalnya, penjual dan pembeli daring harus mendaftarkan diri ke platform e-dagang tertentu sebelum bisa melakukan transaksi jual beli. Saat membayar pun, mereka harus menggunakan perantara finansial, baik bank maupun jasa teknologi finansial (tekfin/fintech).
Platform yang dibangun tidak dimiliki oleh siapa pun, semua data disimpan dalam blockchain, dan siapa pun bisa melakukan transaksi jual beli dan pembayaran tanpa perlu adanya perantara atau otoritas terpusat.
Bayangkan jika Shopee, Tokopedia, atau Bukalapak dibangun ulang dengan konsep Web3. Setiap orang yang memiliki komputer dapat bergabung menjadi bagian dari platform. Pihak yang membangun dan memproses transaksi mendapatkan insentif dalam bentuk mata uang kripto. Platform yang dibangun tidak dimiliki oleh siapa pun, semua data disimpan dalam blockchain, dan siapa pun bisa melakukan transaksi jual beli dan pembayaran tanpa perlu adanya perantara atau otoritas terpusat.

Ihwal ketiga, konsep Web3 memungkinkan kepemilikan bersama suatu platform. Bayangkan jika semua pengendara dan penumpang Gojek dan Grab ikut jadi pemilik platform. Saat mendaftar jadi pengendara atau penumpang, mereka menaruh sejumlah mata uang kripto sebagai modal awal. Dalam Web3, aktivitas ini disebut dengan istilah staking.
Para investor bisa ikut berinvestasi ke suatu platform Web3 dengan melakukan staking. Dengan demikian, platform dimiliki bersama oleh para pengguna dan investor sesuai dengan nilai staking masing-masing. Staking menjadi mekanisme utama untuk mendistribusikan nilai di antara para pengguna platform digital. Jika Web3 menjadi arus utama (mainstream), staking akan menjadi sumber pendapatan pasif yang penting dan berpotensi menumbuhkan jumlah investor dari kalangan menengah secara eksponensial.
Kontrol pengguna
Jadi, dengan Web3, kontrol pengguna terhadap data mereka lebih kuat. Mereka bisa berinteraksi secara langsung tanpa perantara, juga bisa bersama-sama menjadi pemilik platform digital. Hal ini serupa dengan konsep koperasi.
Anggota koperasi, selain bisa menikmati layanan, juga merupakan pemilik yang bisa menikmati sisa hasil usaha. Kalau kita renungkan, platform dengan konsep Web3 dapat dianalogikan sebagai suatu koperasi digital yang mandiri.
Dengan Web3, kontrol pengguna terhadap data mereka lebih kuat. Mereka bisa berinteraksi secara langsung tanpa perantara, juga bisa bersama-sama menjadi pemilik platform digital. Hal ini serupa dengan konsep koperasi.
Dengan pemahaman di atas, para pemilik platform digital Web 2.0 harus mulai mengantisipasi kehadiran platform-platform baru dengan konsep Web3. Salah satu yang bisa mereka lakukan adalah menghargai privasi secara lebih serius dan menerapkan mekanisme pembagian keuntungan secara lebih terbuka kepada para pengguna mereka.
Baca juga: Memprediksi Dampak "Metaverse"

Di sisi lain, para investor pun cukup agresif mengguyurkan dana bagi start up dan perusahaan bertema Web3. Jika tidak hati-hati, bukannya tidak mungkin, peran para pemain Web 2.0 akan berkurang dan kelak jadi tidak relevan lagi.
Dampak Web3 juga harus diantisipasi oleh regulator dan otoritas, terutama di bidang keuangan. Bagaimana mereka bisa masuk ke platform yang terdesentralisasi dan mandiri? Bagaimana mereka melindungi konsumen? Bagaimana mereka bisa mendapatkan informasi transaksi dan memungut pajak?
Semua itu bukan hal mudah karena regulator dan otoritas saat ini sangat terbiasa dengan cara otoritatif. Cara semacam itu akan sulit diterapkan di dunia digital Web3 yang menggunakan teknologi blockchain, yakni setiap orang bisa dengan bebas bergabung tanpa batasan yurisdiksi geografis ataupun negara. Transaksi yang terjadi pun dilakukan secara pseudo-anonymous, kita bisa melihat apa yang terjadi, tetapi tidak tahu siapa tepatnya yang melakukan hal itu.
Banyak yang menyangsikan Web3 akan menjadi kenyataan, tetapi banyak juga yang mendukungnya. Kita berharap Web3 bisa menjadi kenyataan agar internet dapat memasuki versi baru yang lebih terbuka, lebih inklusif, menghargai privasi, dan juga lebih demokratis.
* Rico Usthavia Frans, Anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society