Era Baru Pemilih Muda
Generasi pemilih muda memiliki orientasi dan sikap politik yang berbeda dengan generasi lain. Dalam 2-3-tahun terakhir, mereka tertarik isu perubahan iklim, energi, lapangan kerja, kesehatan, korupsi, dan demokratisasi.
Pandemi Covid-19 memberi arti penting bagi politik kita ke depan dan telah mengubah banyak hal dalam politik kita, terutama terkait proses perumusan dan pembuatan kebijakan.
Perubahan itu tampak dari proses pengambilan kebijakan publik yang lebih cepat, keharusan untuk cepat beradaptasi dengan situasi yang rentan berubah, serta tuntutan untuk berkolaborasi dengan aktor non-negara. Dari sisi publik, terutama pemilih muda, juga terjadi perubahan. Ini tampak dalam cara pandang mereka yang berubah dalam melihat isu-isu publik dan kepemimpinan nasional ke depan.
Menjelang Pemilu 2024, Indonesia akan memasuki era baru dalam politik elektoral. Era baru ini ditandai dengan kehadiran pemilih muda yang dinamis, adaptif, dan rasional. Pemilih muda diprediksi akan mencapai 60 persen dari total pemilih Indonesia pada 2024. Jika mengacu data Sensus Penduduk 2020 BPS, proporsi pemilih muda memang cukup besar. Sensus 2020 tersebut menunjukkan jumlah proporsi pemilih berusia 15-39 tahun sebesar 41,06 persen.
Jika dilakukan konversi populasi 15-39 tahun dengan jumlah pemilih yang saat ini lebih dari 190 juta orang, proporsi pemilih muda mencapai 54 persen. Dalam dua tahun lagi, proporsi pemilih 17-39 tahun diprediksi mendekati angka 60 persen.
Dalam dua tahun lagi, proporsi pemilih 17-39 tahun diprediksi mendekati angka 60 persen.
Angka yang besar ini tentu akan memengaruhi bagaimana desain politik dan kebijakan pembangunan yang akan disiapkan partai dan calon presiden (capres) dalam mendekati pemilih muda. Dengan karakter pemilih muda yang melek informasi, partai dan kandidat tentu harus cermat dalam mendesain arah kebijakan pembangunan ke depan.
Karakteristik pemilih muda (generasi Z dan milenial) yang baru itu tampak dari ketertarikan dan perhatian mereka pada isu-isu kebijakan domestik dan global, seperti isu kesehatan, lingkungan, ketenagakerjaan, demokrasi, dan pemberantasan korupsi. Setidaknya itu yang muncul dari temuan utama survei opini publik nasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis beberapa hari lalu. Target sampel dalam survei itu pemilih berusia 17-39 tahun.
Apa yang membuat pemilih muda ini strategis dan penting dalam Pemilu 2024? Generasi pemilih muda memiliki orientasi dan sikap politik yang berbeda dengan generasi lain. Dalam 2-3 tahun terakhir, pemilih muda memiliki ketertarikan yang tinggi pada isu-isu politik dan kebijakan strategis, di luar isu-isu lama. Mereka tertarik isu perubahan iklim dan energi, lapangan kerja, kesehatan, korupsi, dan demokratisasi.
Ilustrasi
Selain itu, yang membuat mereka berbeda adalah perilaku digital mereka. Penetrasi internet dan medsos mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Generasi pemilih muda termasuk adaptif dalam merespons perubahan tren dunia digital. Dibandingkan empat tahun lalu, terjadi kenaikan signifikan sumber informasi utama anak muda. Menurut temuan CSIS (2022), fungsi medsos sebagai rujukan informasi utama mereka naik dari 39,5 persen (2018) menjadi 59 persen (2022).
Posisi kelompok pemilih muda ke depan diprediksi akan semakin strategis dalam konstelasi politik nasional menjelang Pemilu 2024. Ini terjadi karena tingginya penetrasi pemilih muda terhadap medsos yang sudah di atas 90 persen (CSIS, 2022). Pada saat yang sama juga terjadi peningkatan akses masyarakat secara umum terhadap medsos, yang sudah di atas 60 persen (CSIS, 2021).
Perbedaan terakhir adalah soal tipologi dan karakter kepemimpinan nasional 2024 yang mengalami perubahan. Anak-anak muda menyukai pemimpin yang bersih dan berintegritas, serta antikorupsi. Anak-anak muda juga mewakili generasi yang kritis dan apresiatif.
Selain kritis terhadap kinerja lembaga publik dan kualitas demokrasi, mereka juga apresiatif terhadap capaian dan kinerja pemerintah. Ini tampak dari tingginya kepuasan anak muda terhadap capaian pemerintah dalam penanganan Covid-19. Komitmen konstitusional generasi ini juga tinggi, seperti tampak dari tingginya penolakan terhadap wacana presiden tiga periode dan dukungan pada pemilihan presiden langsung.
Baca juga : Adaptasi Partai Politik untuk Membidik Pemilih Muda
Baca juga : Membaca Potret Berpolitik Anak Muda
Kepemimpinan
Isu kepemimpinan juga menandai perubahan generasi pemilih muda saat ini. Dibandingkan dua pemilu sebelumnya (2014 dan 2019), terdapat pergeseran orientasi kepemimpinan pemilih muda. Dalam survei nasional CSIS (2019), sebagian besar pemilih (37,9 persen) masih menyukai pemimpin yang sederhana dan merakyat, serta hanya 11,9 persen menyukai pemimpin yang jujur dan antikorupsi. Saat ini (2022) terjadi kebalikannya, sebagian besar pemilih muda (34,8 persen) justru menyukai pemimpin yang jujur dan antikorupsi dan hanya 15,9 persen menyukai pemimpin yang sederhana dan merakyat.
Generasi muda yang hidup dalam masa pandemi yang oleh Faisal (2021) disebut generasi pandemi mengalami situasi sulit dan ketidakpastian ekonomi global pascapandemi, dan juga dampak perubahan iklim. Kondisi domestik dan global itu memengaruhi cara pandang mereka melihat politik dan kebijakan.
Pandemi memberikan efek pada perubahan cara pandang anak muda soal kepemimpinan yang berubah dari aspek personalitas menjadi aspek teknokratis. Tak heran jika dalam Pemilu 2024 seperti temuan survei CSIS, anak muda menginginkan pemimpin yang mampu membuat perubahan, inovatif, mampu memimpin dalam situasi krisis dan pengelolaan anggaran yang tepat sasaran.
Dalam Pemilu 2024 terdapat beberapa isu politik yang dapat memengaruhi pilihan capres dan parpol, antara lain isu terkait akses lapangan pekerjaan, program pemberantasan korupsi dan penegakan hukum, serta isu-isu strategis lain (kesehatan, ekonomi, dan lingkungan hidup). Kandidat yang mempunyai program penyediaan lapangan kerja dan pemberantasan korupsi serta dipersepsikan sebagai tokoh yang bersih dan berintegritas diprediksi akan dapat dukungan tinggi dari pemilih muda.
Saat survei dilakukan, kondisi elektoral antarcalon memang masih kompetitif meskipun terdapat tren menguatnya dukungan pada salah satu kandidat saat dilakukan uji simulasi head to head (dua nama). Situasi elektoral kandidat mengalami perubahan saat kami melakukan uji simulasi dari 14 nama, 7 nama, 3 nama, dan 2 nama. Perubahan dan penguatan ini dapat dijelaskan karena terjadinya migrasi suara pemilih dari calon tertentu ke calon yang diujikan dalam simulasi head to head.
Partisipasi politik
Dari sisi political interest, anak-anak muda kita juga menyimpan keinginan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan kepala daerah. Angka ketertarikan untuk mencalonkan cukup baik jika dibandingkan dengan menurunnya kepercayaan publik pada parpol. CSIS (2022) menemukan hampir 15 persen dari anak muda tertarik mencalonkan diri baik sebagai anggota legislatif maupun kepala daerah.
Persoalannya, parpol sepertinya belum menyiapkan mekanisme bagi anak-anak muda untuk berkarier di parpol. Saat kami tanyakan, hanya 1,1 persen dari responden yang mengaku menjadi kader/anggota dari partai atau organisasi sayap partai. Jika partai bisa berbenah dan menyiapkan mekanisme bagi anak-anak muda untuk aktif di partai, diprediksi keterlibatan anak muda sebagai kader partai perlahan bisa meningkat.
Persoalannya, parpol sepertinya belum menyiapkan mekanisme bagi anak-anak muda untuk berkarier di parpol.
Aspek lain yang membedakan anak muda kita dengan situasi di negara demokrasi lain adalah keikutsertaan dalam pemilu. Di tengah tren volatilitas partisipasi pemilih muda dalam pemilu (voter turnout) di banyak negara demokrasi seperti AS, Kanada, dan Inggris seperti temuan Martin (2012), tren partipasi pemilih muda di Indonesia menunjukkan kecenderungan peningkatan. Berdasarkan temuan survei (CSIS 2022), terjadi peningkatan partisipasi pemilih muda dari 85,9 persen pada Pemilu 2014 menjadi 91,3 persen pada Pemilu 2019.
Di tengah peran pemilih muda yang semakin strategis dan penting, ke depan parpol perlu mencari mekanisme dengan memberikan alokasi khusus atau kuota dalam pencalonan anak-anak muda dalam Pemilu 2024. Ini penting dilakukan mengingat belum tingginya representasi anggota DPR terpilih yang berusia 17-39 tahun. Ke depan, di tengah tren dan tantangan kebijakan publik yang akan semakin kompleks, dibutuhkan partisipasi aktif dari pemilih muda dalam proses pembuatan kebijakan publik yang lebih partisipatoris.
Penetrasi internet dan medsos yang tinggi di kelompok anak muda tentu akan memengaruhi peta politik ke depan. Medsos pada tahap tertentu akan membentuk persepsi anak-anak muda terhadap politik dan kebijakan. Untuk itu, anak-anak muda diharapkan dapat menjadi inisiator perubahan ke depan, terutama mendorong pemilu kita yang berbasis kebijakan dan program.
Arya Fernandes, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS