Hilangnya bahasa daerah dan bahasa asing dalam RUU Sisdiknas bersilangan dengan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa dan menjunjung kebinekaan. Badan Bahasa perlu memberi masukan ke Mendikbudristek soal ini.
Oleh
YATUN ROMDONAH AWALIAH
·4 menit baca
Polemik mengenai Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional atau RUU Sisdiknas sudah berakhir karena gagal masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2023. Artinya, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasonal, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi tetap berlaku. Namun, ada baiknya menelisik pasal-pasal yang menjadi perhatian di kalangan pendidikan, salah satunya perihal bahasa daerah dan bahasa asing yang hilang dalam RUU Sisdiknas.
Bahasa memiliki dimensi sosial. Filsuf bahasa Ludwig Wittgenstein menyebut bahasa sebagai game language, yaitu tempat berbagi pengalaman dan berinteraksi, Porat menyebutnya sebagai rumah bersama. Hal itu yang menjadikan bahasa sebagai factum, dicirikan dengan sifat empirisnya dan siapa pun bisa berbahasa tanpa keahlian khusus (Porat Antonius: 2021).
Para ahli mengungkapkan bahwa bahasa yang ada di dunia bisa punah jika penuturnya berkurang. Berdasarkan data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), pada 2011-2019 ada delapan bahasa daerah di Indonesia yang punah, yaitu bahasa daerah di Maluku dan Papua.
Faktor berkurangnya penutur bahasa tidak tunggal dan tak bisa digeneralisasi. Apakah bahasa daerah harus dipertahankan atau dibiarkan kepunahannya? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan menengok political will yang disepakati oleh bangsa Indonesia.
Dalam naskah asli UUD 1945, bahasa Indonesia kokoh sebagai bahasa negara (Pasal 36). Tujuannya mempersatukan masyarakat dari beragam etnis. Karena tanpa ikatan bahasa apa yang dinyatakan sebagai bahasa negara, rakyat Indonesia bisa bingung dalam berkomunikasi. Ini mencegah bahasa daerah bersaing secara politik sebagai bahasa negara. Namun, dalam penjelasannya, UUD 1945 itu menyebutkan negara menghormati dan memelihara bahasa daerah.
Para pendiri bangsa sadar bahwa bahasa daerah dianggap sebagai bagian dari kebudayaan sehingga negara sudah seharusnya menghormati dan memelihara.
Penjelasan itu menunjukkan para pendiri bangsa sadar bahwa bahasa daerah dianggap sebagai bagian dari kebudayaan sehingga negara sudah seharusnya menghormati dan memelihara. Di era reformasi, MPR menyempurnakan UUD 1945. Pada amendemen keempat, bahasa daerah dijadikan pasal tersendiri, yaitu Pasal 32 Ayat (2) yang substansinya sama dengan Penjelasan UUD 1945 naskah asli. Konstitusi itu mengamanatkan perundangan turunannya harus berlandaskan konstitusi.
Peraturan perundangan yang sejalan dengan konstitusi dalam kerangka menghormati dan memelihara bahasa daerah antara lain UU No 20/2003 tentang Sisdiknas. Poin penting yang harus dicatat adalah Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3) yang meneguhkan kedudukan bahasa negara, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Negasi RUU Sisdiknas
RUU Sisdiknas yang baru mencuat ke publik menyentak berbagai pihak. Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Sisdiknas lenyap. Pasal 81 RUU hanya mencantumkan bahasa Indonesia yang dituangkan dalam mata pelajaran wajib. Bahasa daerah dan bahasa asing lenyap. Di poin j hanya menyebut ”muatan lokal”.
Pada bagian penjelasan, ”muatan lokal” disebut ”cukup jelas”. Padahal, istilah muatan lokal merupakan istilah yang tidak spesifik. Dalam implementasinya, pihak pemerintah daerah, sekolah, ataupun guru sangat terbuka untuk menasfirkan muatan lokal secara berbeda.
RUU Sisdiknas juga mempertontonkan inkonsistensi antara operasionalisasi pada Kurikulum (Pasal 81) dengan Fungsi dan Tujuan Pendidikan di Pasal 3 dan 4.
Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Sisdiknas lenyap. Pasal 81 RUU hanya mencantumkan bahasa Indonesia yang dituangkan dalam mata pelajaran wajib. Bahasa daerah dan bahasa asing lenyap.
Pasal dalam perundang-undangan harusnya utuh sebagai satu kesatuan, antara pasal dengan pasal tidak saling meniadakan. Dengan lenyapnya bahasa daerah dan bahasa asing, jelas bersilangan dengan tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa dan menjunjung kebinekaan. Mengajarkan bahasa daerah harus dimaknai memberi bekal peserta didik untuk menghargai dan memelihara keberagaman.
Pasal 81 berseberangan pula dengan fungsi pendidikan untuk mengembangkan potensi pelajar berilmu dan bernalar kritis. Walau bagaimanapun bahasa asing sudah selayaknya diajarkan dalam kerangka pergaulan di era globalisasi dan menyerap ilmu pengetahuan serta kemampuan menalar kritis.
Inkonsistensi pasal di RUU Sisdiknas tersebut pada akhirnya menegasikan konstitusi. Ini ironis karena jalur pendidikan merupakan sarana strategis dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan pewarisan kebudayaan serta nilai-nilai kehidupan.
Peran Badan Bahasa
Apakah ada kemungkinan draf RUU Sisdiknas yang menuai polemik itu kembali muncul? Bisa saja, terlebih 2024 susunan angota DPR berubah.
Menyikapi usulan masyarakat terkait revisi draf RUU Sisdiknas, peran Badan Bahasa sangat strategis untuk memberi masukan kepada Mendikbudristek. Terlebih Badan Bahasa mempunyai program perlindungan bahasa daerah yang didukung pendanaan sebesar Rp 48 miliar.
Melihat program perlindungan bahasa dan kuatnya pendanaan, menunjukkan komitmen Kemendikbudristek dalam perlindungan bahasa daerah sudah ada buktinya. Namun, di sisi lain, pogram dengan pendanaan yang kuat itu cukup rapuh jika tidak ada payung hukum sebagaimana kenyataan di RUU Sisdiknas.
Untuk memperkuat bahasa daerah dalam kurikulum di RUU Sisdiknas yang akan datang, alangkah tepat Badan Bahasa lebih proaktif terlibat penuh dalam proses penyusunannya. Di Kemendibudristek, hanya Badan Bahasa yang mempunyai kepentingan langsung dengan perlindungan bahasa daerah. Apalagi Badan Bahasa memiliki slogan yang berbunyi: ”Utamakan Bahasa Indonesia, Lestarikan Bahasa Daerah, dan Kuasai Bahasa Asing”. Semoga slogan tersebut bukan hanya pemanis belaka.
Yatun Romdonah Awaliah, Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa, Dosen di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Pendidikan Indonesia.