Tidak ada yang kebal dari efek resesi AS kali ini. Bedanya hanya derajat kesulitan di mana Asia dianggap lebih kebal.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Asia mengalami krisis utang luar negeri pada 1997. Pelarian modal menyebabkan rentetan gagal bayar utang. Kurs mata uang Asia anjlok drastis penyebab krisis moneter.
Krisis serupa diprediksi menimpa dunia pada akhir 2022 hingga akhir 2023. Lokusnya bukan di Asia, melainkan Amerika Serikat dengan efek global. ”Saya telah mendalami negara-negara berkembang Asia dan Latin selama 20 tahun. Saya melihat sinyal serupa di AS, yakni timbunan utang massal,” demikian Dr Nouriel Roubini, ekonom AS, 1 Februari 2009, saat menjelaskan lagi bagaimana ia bisa memprediksi krisis ekonomi di AS pada 2008 disampaikan pada 7 September 2006.
Pandangan serupa ia utarakan kembali dalam setahun terakhir ini. Ia melihat timbunan utang dari taburan uang murah dan mudah di AS menjadi penopang utama ekonomi AS, bukan produktivitas. AS terlalu banyak berkonsumsi dengan mengandalkan utang dari uang murah.
Peringatan bahaya ia sampaikan kepada Bloomberg pada 21 September 2021. Tidak ada juga sinyal pengetatan uang. Bertautan dengan gangguan pasokan global termasuk karena pandemi Covid-19, keterpecahan dunia akibat geopolitik, jadilah AS dibelenggu inflasi tinggi.
Utang AS kini mencapai 31 triliun dollar AS. Hal serupa terjadi di seluruh dunia yang memanfaatkan bunga rendah. Bahaya yang mengintai adalah inflasi tinggi. Ini harus ditangani dengan kenaikan suku bunga. Masih sempat juga Menkeu AS Janet Yellen dan Gubernur Bank Sentral AS (Fed) Jerome Powell beranggapan inflasi bersifat sementara dan menunda kenaikan suku bunga. Anggapan itu keliru.
Kini, dengan inflasi diakui stubborn, Yellen dan Powell hingga Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan, suku bunga wajib dinaikkan untuk menekan inflasi. Seberapa tinggi suku bunga harus dinaikkan oleh Fed.
Kennet Rogoff, mantan ekonom IMF, mengatakan, kenaikan suku bunga AS hingga 5 persen—dari level 3,25 persen—tidak cukup untuk menurunkan inflasi ke level 3 persen. Fed harus menaikkan suku bunga hingga di atas 5 persen. ”Namun, efeknya brutal jika Fed fokus pada penurunan inflasi hingga 2 persen,” kata Rogoff. ”Dengan demikian, hanyalah sebuah keberuntungan jika resesi di AS bersifat ringan,” kata Rogoff.
Pilihannya adalah resesi keras yang mengimbas ke seluruh dunia akibat kenaikan suku bunga demi menekan inflasi. Efeknya mulai terlihat. Investor global mulai mengalihkan investasi portofolio ke dalam dollar AS. Ini mengimbas sejumlah korporasi zombi, manipulatif, dan tidak transparan. Salah satunya telah menimpa Credit Suisse, bank kedua terbesar Swiss.
Tidak ada yang kebal dari efek resesi AS kali ini. Bedanya hanya derajat kesulitan di mana Asia dianggap lebih kebal. Namun, kenaikan suku bunga AS juga memerosotkan kurs mata uang dunia. Berdasarkan perkiraan IMF, akan ada penciutan produk domestik bruto (PDB) global sebesar 4 triliun dollar AS, setara dengan PDB Jerman sekarang ini.