Teknologi dan Makna Hidup
Di zaman modern ini, ancaman paling nyata bagi kehidupan bukan pada akibat negatif dari pemanfaatan infrastruktur global (sains dan teknologi), melainkan terutama oleh hilangnya makna dan nilai setiap individu.
Modernisasi yang turut menandai kultur abad ke-21 sedang mengakuisisi seluruh bidang kehidupan manusia. Kebaruan membombardir kehidupan dengan tanpa henti, begitu cepat dan radikal hingga bahasa konseptual pun tidak lagi memadai untuk merumuskan kondisi sesungguhnya. Perubahan-perubahan yang didesain modernitas melalui infrastruktur globalnya (teknologi) menyasar tidak hanya ke dalam ruang bernama gaya hidup, tetapi merangsek hingga ke dalam ruang paling intim bernama individualitas dan moralitas.
Kekaguman pada modernitas beserta infrastrukturnya meskipun masih tersisa dalam cara berpikir dan logika modern, kini itu cenderung bercampur kecemasan dan kecurigaan. Keseharian umat manusia dijejali oleh berbagai macam komoditas modern lewat imaji-imaji dan tontonan mempesona sekaligus di saat bersamaan mengeliminasi kebebasan penuh setiap individu atas hidupnya.
Manusia terlempar ke suatu kondisi hilangnya kesempatan memperkarakan makna dan nilai hidup. Maka, meluasnya isu-isu krusial kemanusiaan global dan lokal hari-hari ini terkait erat dengan ketidakpedulian pada kearifan kedalaman manusia: nilai dan makna.
Baca juga: Rasionalitas dan Keberlanjutan Peradaban
Realitas
Kehidupan umat manusia telah melalui beberapa tahap ekstrem dalam riwayatnya. Bencana alam, pandemi, genosida, dan perang menghiasi riwayat historis peradaban. Kini ancaman paling nyata bagi kehidupan bukan pada akibat negatif dari pemanfaatan infrastruktur global (sains dan teknologi), melainkan terutama oleh hilangnya makna dan nilai setiap individu. Hhal ini berhubungan erat dengan sikap dan mental dasar manusia sendiri.
Maka, bagi manusia modern, pertanyaan utama bukan lagi apakah teknologi yang digemakan sebagai elemen kemajuan memberi peluang aktualisasi diri, melainkan apakah kultur teknologi yang terlampau mendominasi masih memungkinkan kemungkinan adanya makna dan nilai. Pertanyaan ini harus segera menjadi keprihatinan bersama sebab dalam berbagai dinamikanya, manusia (subyek), sains-teknologi (sarana), dan makna (tujuan) hanya memiliki batas yang subtil, tanpa garis demarkasi yang tegas, dan saling bertentangan.
Individu modern tak jarang kehilangan dialektika kritis meskipun sebatas persoalan sarana dan tujuan.
Dari kurik tersebut, beragam persoalan kemanusiaan kemudian menggelembung. Individu modern tak jarang kehilangan dialektika kritis meskipun sebatas persoalan sarana dan tujuan. Dalam bingkai ini, teknologi yang semula hanyalah alat/sarana misalnya, kini berubah menjadi nilai/tujuan itu sendiri. Keputusan dalam setiap pengalaman hidup pun seringkali bergantung kepada tampilan eksternal dan imaji-imaji komoditas modern dalam berbagai variannya.
Secara partikular, manusia modern perlahan-lahan mengarahkan hidupnya kepada prinsip I browse dan bukan lagi I think sebagaimana kata Rene Descartes. Makna dan nilai didesain oleh sistem dan data. Akibatnya, individu terlepas, menjadi terpisah-pisah dari komunitas besarnya, kehilangan kualitas hati, dan terperangkap ke dalam disorientasi nilai.
Secara hakiki, individu boleh menikmati hak-hak digitalnya. Namun, kelekatan digital tersebut sering kali menjadi problematis lantaran individu sekaligus digiring ke dalam ilusi-ilusi di baliknya tanpa disadari.
Pemenuhan hak-hak digital ikut melahirkan komunitas manusia yang terlepas dari kebebasan alamiah (tatanan lama) dimana norma dan etika masih menjadi acuan. Manusia terlepas dari kultur, yang oleh Clifford Geerts (2000) dipahami sebagai keseluruhan cara hidup suatu masyarakat, nilai-nilainya, praktik, simbol, institusi, dan relasi antarmanusia.
Baca juga: Manusia dalam Jaringan
Pelaku teknologi hari ini ibarat sekumpulan manusia yang berproses ”tanpa sorot mata psikiatri” ungkap Michael Focoult. Komunitas virtual makin mengatasi komunitas aktual. Karena itu, menyatanya individu sering kali dimaknai secara teknologis terutama misalnya melalui pengakuan digitalis berupa jumlah like dan follower.
Individu sulit belajar untuk hadir penuh ketika terjadi perjumpaan fisik karena sibuk berselancar melalui gawai masing-masing. Dalam konteks ini, kiranya ungkapan ”aku klik maka aku ada” (promo ergo sum) dari F Budi Hadirman (2021) dapat mewakili situasi manusia milenium ketiga ini. Ekses dari semua kecenderungan ini adalah lahirnya beragam ketimpangan dan penyimpangan sosial.
Ketika sains dan teknologi memberi kemudahan dalam hal produksi dan konsumsi, sejenak manusia berpikir bahwa hasil kerja sains dan teknologi dalam produksi yang lebih banyak, cepat, dan efektif sungguh berhasil guna sesuai skala prioritas setiap periode. Namun, sering kali diabaikan adalah di balik proses produksi dan konsumsi terbentang kekuatan modal dan kekuasaan yang merekayasa ”kebutuhan” konsumen kepada hasrat konsumtif tanpa batas. Yang ingin diciptakan seakan kebutuhan. Yang banal dikonstruksi seakan esensial.
Karena itu, menyatanya individu sering kali dimaknai secara teknologis terutama misalnya melalui pengakuan digitalis berupa jumlah like dan follower.
Teknologi kemudian melahirkan paradoks konsumsi. Manusia ditawarkan berbagai kesempatan dan pengalaman sekaligus digiring kepada kepentingan kapitalis. Maka, dapat dikatakan bahwa modernitas adalah arena yang telah disesaki oleh manipulasi simbolik.
Dalam kerangka ini, lahirlah hasrat baru untuk memetakan eksistensi bahkan esensi melalui kegiatan konsumsi (berbelanja). ”Saya berbelanja maka saya ada” (emo ergo sum) sebagaimana diungkapkan Haryanto Soedjatmoko (2008) memberi gambaran situasi kehidupan urban hari ini, dengan berbagai sisi paradoksal dan ambiguitasnya.
Mengendalikan dan mengarahkan
Berangkat dari kenyataan-kenyataan di atas diperoleh gambaran bahwa sains dan teknologi dalam seluruh sepak terjangnya membuka tabir haluan terselubung modernisasi, yaitu mengendalikan dan mengarahkan manusia mencapai tujuan-tujuan yang sudah didesain sedemikian rupa namun semu. Manusia semakin dibuat kesulitan membedakan originalitas dan artifisial. Maka, alih-alih membebaskan manusia dalam upaya pemenuhan aktualisasi tertinggi hidupnya, sains dan teknologi justru ”membantu” manusia untuk menghambakan dirinya, memegang penuh kendali atas manusia, dan menjadi penentu setiap kebutuhan individu.
Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2018) turut mengafirmasi bahwa meskipun masih berharga secara kolektif, tetapi manusia akan kehilangan nilai dan otoritas individual sepenuhnya, dan akan diatur oleh algoritma-algoritma eksternal. Dalam hal ini, algoritma eksternal dimungkinkan oleh mesin, sistem, dan data.
Manusia memang memperoleh kebebasan melampaui ruang dan waktu, tetapi imbasnya adalah perjumpaan-perjumpaan fisik menjadi serba singkat dan tidak bermakna. Pengalaman keseharian didominasi oleh sistem dan birokrasi. Dengan begitu, otonomi individu makin dicengkeram terutama berhubungan dengani upaya pemenuhan nilai tertinggi kehidupan. Manusia tak lagi dalam kendali atas dirinya sendiri. Hidup tanpa kedalaman alias dangkal. Hidup sekadar hidup. Tiada makna bagi diri sendiri terutama bagi orang lain.
Alih-alih membebaskan manusia dalam upaya pemenuhan aktualisasi tertinggi hidupnya, sains dan teknologi justru ’membantu’ manusia untuk menghambakan dirinya, memegang penuh kendali atas manusia, dan menjadi penentu setiap kebutuhan individu.
Maka, menjawab pertanyaan apakah teknologi yang terlampau mendominasi masih memungkinkan kemungkinan adanya makna dan nilai sangat bergantung pada keseriusan setiap individu memahami makna dan nilai itu sendiri. Dengan memahami sepenuhnya ”makna dan nilai”, setiap orang akan semakin sadar bahwa hidup sebetulnya bukan perkara survival individual semata. Bahwa kebebasan yang diperoleh melalui (keterikatan pada) teknologi sama sekali tidak identik dengan kebahagiaan (Georg Simmel).
Pemahaman mendalam terhadap makna dan nilai akan memungkinkan setiap individu mengerti bahwa penggunaan teknologi semestinya bersimpuh pada kemanusiaan universal bukan justru memperhambakan pribadi-pribadi. Singkatnya, hidup manusia tidak hanya berdasarkan data melainkan dengan makna. Makna dibangun dan diolah melalui realisasi nilai-nilai.
Tercapainya makna hidup pertanda adanya keseriusan pengaktualisasian nilai tertinggi kehidupan. Brian Weiss melalui karyanya, Only Love is Real (1996), menyebutnya dengan ”hakikat terdalam energi/kehidupan” di mana cinta adalah dasarnya. Sementara turunannya adalah empati, belas kasih, pengampunan, penerimaan, penghargaan, rendah hati, damai, keindahan, kegembiraan dan keadilan.
Baca juga: Pemikiran dan Kesadaran Menyongsong Era Society 5.0
Sejalan dengan Weiss, Abraham Maslow dalam Motivaton and Personality (1970) lebih kurang memperlihatkan kepada setiap individu bahwa aktualisasi diri (self actualization) sebagai hierarki paling tinggi dalam kebutuhan manusia berisikan moralitas, penerimaan, potensi diri, dan kreativitas. Semua kualitas dan kapasitas ini digunakan secara penuh untuk memenuhi tidak hanya kebutuhan fisiologis (physiological needs) tetapi juga pertumbuhan rasa aman (safety and security), rasa memiliki dan cinta (love and belonging), dan penghargaan (self esteem).
Meskipun demikian, yang terjadi hari ini adalah tergerusnya nilai-nilai tersebut oleh orientasi kehidupan yang serba teknis. Dengan kata lain, pemahaman mengenai makna dan nilai bukan berkisar hanya pada pemenuhan hal-hal eksternal seperti berteknologi, melainkan pertumbuhan hal-hal terdalam dari manusia, nilai tertinggi yang membuat seorang individu hidup lebih bermakna.
Dalam arti ini, nilai-nilai yang disebutkan oleh Weiss dan Maslow dapat dijadikan salah satu pijakan bagi individu di dalam setiap proses pergulatan dan pengalaman hidupnya di tengah benturan percepatan sains-teknologi. Hidup berdasarkan makna harus menjadi sebuah keutamaan modern.
Antisipasi
Maka, sekalipun masih ada nilai dan makna, individu tetap terbentur dengan sisa pertanyaan lain, apakah teknologi memberi peluang aktualisasi diri? Peluang untuk menumbuhkan dan mengembangkan nilai dan makna.
Dari sudut pandang ini, bukan berarti teknologi harus dicap buruk dan menyesatkan. Teknologi dengan segala jenisnya merupakan usaha pemikiran dan kreativitas manusia sendiri. Teknologi telah memberikan kontribusi nyata bagi peradaban terlepas dari berbagai kiprah destruktifnya.
Yang perlu ditekankan adalah penguatan pertumbuhan nilai dan makna. Bagaimanapun teknologi selalu memiliki potensi untuk mendistorsi setiap peluang aktualisasi diri. Maka, praksis yang bisa ditekuni adalah mengambil jarak dan bersikap proporsional terhadap teknologi.
Baca juga: Berpikir Jernih Sehabis Detoks
Gagasan tentang digital detox ala Kate Unsworth (2015) dapat diadopsi sebagai langkah antisipasi. Dengan meninggalkan sejenak teknologi, individu dapat menghindari tendensi dikelola dan didistraksi oleh dunia teknologi dalam kesehariannya.
Individu dapat menghindari pengalaman ruang dan waktu yang cenderung sempit ke arah teks, yang abstrak-konseptual, sehingga bisa lebih mengalami tekstur (perjumpaan fisikal, berinteraksi, berjabat tangan). Dengan begitu, hubungan sosial fisikal-alamiah yang lebih sehat mampu dijaga. Individu pun sanggup menumbuh-kembangkan nilai-nilai menjadi makna bagi dirinya dan orang lain.
Perjumpaan aktual adalah ruang tumbuhnya ”makna” sejati dalam seluruh eksistensi manusia. Melalui praksis sederhana ini, nilai dan makna akan selalu menjadi fondasi dalam berteknologi. Sebab, bagaimanapun teknologi dengan segala macam spesifikasinya atau klasifikasinya hanyalah konsep, metode, dan alat (sarana) yang melayani suatu tujuan (makna). Bahwa tujuan akhir berteknologi adalah memekarkan kemanusiaan.
Andreas Maurenis Putra, Lulusan S-2 Fakultas Filsafat, Unika Parahyangan, Bandung