Oleh sebagian besar masyarakat Bali, bom bali itu ditafsir secara non-politik sebagai pertanda bahwa pulau Bali adalah “leteh” atau kotor, dan perlu dibersihkan.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Dua puluh tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 12 Oktober 2002, desa wisata Kuta, di Bali, digoncangkan oleh dua ledakan bom dahsyat. Yang paling dulu meledak di Paddy’s Pub, disusul oleh ledakan kedua di parkir Sari Club. Tak kurang dari 203 orang meninggal dan ratusan lainnya luka-luka. Sebagian dari korban tewas adalah orang Australia, sedangkan orang Indonesia berjumlah 38, sebagian cukup besar terdiri dari kusir dokar yang Islam.
Tindakan teroris memorakporandakan Kuta dan mengguncangkan Indonesia dan dunia. Namun, “menariknya”, meskipun ledakan itu dilakukan atas nama perjuangan Islam, dan memakan banyak korban lokal, masyarakat lokal tidak membaca peristiwa itu sebagai serangan dari kaum Islam terhadap Bali. Boleh dikata tidak terdapat tindakan “balasan” apapun.
Oleh sebagian besar masyarakat, tindakan teroris itu ditafsir secara non-politik sebagai pertanda bahwa pulau Bali adalah “leteh” atau kotor, dan perlu dibersihkan. Maka dilakukan tindakan pembersihan berupa upacara Tawur Agung Pamarisudha Kari Purbhaya, yang telah berfungsi untuk memulihkan keseimbangan kosmis yang telah hilang.
Bila reaksi jangka pendek di Bali bersifat lunak, dan bisa ditanggulangi dengan menggerakkan sistem simbolis Bali untuk menenangkan situasi, bagaimana evolusi jangka panjang. Apakah masyarakat Bali masih dicirikan oleh ketahanan serupa melihat besarnya evolusi sosial yang dialami sejak waktu itu.
Realita kompleks. Pada waktu gerakan teror Amrozi cs, konstruksi identiter masyarakat Bali agak berbeda dengan sekarang. Pada waktu itu, fokus identiter masyarakat Bali masih bersifat lokal, di dalam artian masih terutama berkisar di seputar desa asal dan klan. Kegiatan politik pada tahapan nasional diwakilkan kepada elite-elite setempat tanpa informasi menyentuh secara mendalam lapis-lapis masyarakat terbawah.
Internet masih terbatas jaringannya dan handphone belum hadir. Proporsi pendatang dan kaum urban jauh lebih kecil daripada sekarang, sedangkan jumlah sarjana dan kaum terdidik pada umumnya terbatas.
Di dalam situasi tradisional Bali-sentris seperti itu, tidak mengherankan bila gerakan teror Bom Kuta itu ditampung secara lunak. Fokus identiter kuat Bali dan Hindu hanya terdapat di kalangan terbatas. Maka desa-desa di pedalaman Bali tidak merasa diserang. Maka ideologi persaudaraan yang dikumandangkan oleh Pancasila cukup kuat untuk mengatasi gesekan-gesekan yang muncul.
Lebih-lebih tak sedikit kaum urban menengah merangkul idealisme kosmopolit lintas bangsa dan lintas agama yang disalurkan melalui pariwisata. Jadi Bali tenang.
Kini, 20 tahun setelah peristiwa itu, apakah optimisme serupa tetap berlaku, apalagi seandainya terjadi peristiwa menggemparkan serupa. Hal ini dapat dipertanyakan. Kenapa? Kini fokus identiter utama sebagian besar orang Bali bukan lagi desa, dengan keyakinan dan upacara terkaitnya, melainkan keanggotaannya sebagai warga Hindu.
Pusat perhatian identitas tidak lagi lokal, dengan toleransi tradisional tinggi terhadap pendatang yang “berbeda” keyakinannya, tetapi nasional dan internasional, dengan bayangan konflik terkait di India dan tempat lainnya.
Meskipun kaum terdidik berjiwa lintas-budaya dan kosmopolit bertambah banyak, kaum etno-sentris Bali dan agama-sentris Hindu berkembang dengan lebih pesat lagi. Pengaruh handphone dan media sosial cenderung memperparah lagi kristalisasi tersebut.
Sebagian dari kristalisasi itu bersifat struktural, yaitu terbawakan oleh perubahan sosiologis masyarakat dan integrasi ekonomi dan kultural yang kian erat di dalam ranah nasional dan internasional. Sebagian bersifat ideologis, terbawakan oleh pers yang telah mengumandangkan konsep “ajeg” Bali sejak tahun 2004, dengan nada anti-pendatang.
Sebagian bahkan kini sudah bersifat politik: di Bali, seperti di sebagian besar Negara dunia, politik kian sering dilihat dan diintervensi dengan kaca mata agama.
Kecenderungan yang dual ini hendaknya disadari oleh para penentu kebijakan pada tahap lokal dan nasional, agar diambil tindakan korektif. Karena Indonesia wajib setia pada tradisi besarnya, yaitu lebih mengutamakan persamaan daripada perbedaan.