Pemberhentian hakim MK, Aswanto, dengan proses yang janggal oleh DPR akan menjadi preseden buruk sistem peradilan dan perjalanan konstitusi Republik Indonesia. Independensi dan profesionalitas MK harus dijaga.
Oleh
DESPAN HERYANSYAH
·6 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Apa yang terjadi pada institusi Mahkamah Konstitusi melalui lakon DPR belakangan ini menambah catatan buruk perjalanan MK. Belum reda kekecewaan akibat pernikahan ”politik” antara Ketua MK Anwar Usman dan adik Presiden Joko Widodo, yang hampir dapat dipastikan akan menimpulkan konflik kepentingan karena tugas utama MK adalah menguji konstitusionalitas kebijakan yang disahkan pemerintahan Jokowi melalui undang-undang, kini kekecewaan bertambah akibat penggantian hakim MK yang ”barbar”. Yang disebutkan terakhir memang tidak muncul dari institusi MK, tetapi tetap saja berdampak kepada MK secara kelembagaan.
Ada tiga konteks yang muncul dari situasi pemberhentian Hakim MK Aswanto saat ini. Pertama, pemberhentian di tengah masa jabatan tidak dikenal dalam UU MK, apalagi ini dilakukan melalui proses politik di DPR atau dengan kata lain pemberhentian ini cacat formil.
Pasal 87 Huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Hakim Konstitusi yang sedang menjabat dan dianggap memenuhi syarat menurut undang-undang ini, mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun. Ketentuan ini sekaligus menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi.
Artinya, jika dilihat dari ketentuan dalam UU terbaru ini, setidaknya pemberhentian Aswanto sebagai hakim MK adalah pada 2029, saat dirinya berusia 70 tahun. DPR mendasarkan pemberhentian Aswanto pada surat yang dikirimkan oleh MK kepada DPR. Padahal, surat tersebut hanya mengonfirmasi masa jabatan hakim Aswanto yang menurut ketentuan terbaru menjabat hingga 2029. Realitas ini menunjukkan DPR tidak saja keliru dalam memaknai surat MK, tetapi juga keliru dalam menerapkan UU yang dibentuknya sendiri.
Kedua, mengutip alasan pemberhentian hakim Aswanto dari salah satu anggota DPR Komisi III, Bambang Pacul, yaitu karena Aswanto dianggap mengecewakan DPR. Aswanto dinilai sering kali menganulir UU yang dibuat oleh DPR, juga dianggap tidak komitmen.
Logika tersebut sangat ”bermasalah” kalau bukan mencirikan dangkalnya logika hukum yang dibangun oleh anggota DPR. Sejarah pembentukan MK, tidak saja di Indonesia tetapi bahkan di dunia, memang untuk menguji undang-undang yang dibuat oleh parlemen karena sebagai lembaga politik, kebijakan parlemen tentu tidak lepas dari kepentingan politik elite partai yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, dibutuhkan peran MK untuk menguji kesesuaian kebijakan tersebut dengan konstitusi.
Sebetulnya, jika mengerti dan memahami konstitusi Indonesia, baik substansi maupun original intent-nya, sejak semula memang menjadikan MK sebagai penguji produk undang-undang yang dibentuk oleh DPR dan pemerintah. Namun kemudian, di pertengahan jalan, komposisi hakim MK sebanyak ”sembilan” orang didistribusikan untuk ditunjuk oleh Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung.
Ketentuan ini, sekalipun tidak didukung oleh argumentasi yang memadai, tetapi dipaksakan untuk tetap berlaku. Jadi, jika ada anggota DPR yang mempertanyakan komitmen hakim MK karena sering kali menganulir UU yang dibuat oleh DPR, ini adalah pertanyaan yang muncul karena ahistoris dengan sejarah MK atau sengaja dibuat-buat karena kehilangan dasar argumentasi yang logis.
Namun, jika komitmen tersebut memang benar adanya, bahwa sejak semula hakim MK yang diusulkan oleh DPR harus berkomitmen mendukung arah politik DPR, untuk apa kita memiliki MK? MK yang sudah ringkih dengan berbagai persoalan internal sehingga berdampak pada buruknya pertimbangan dan amar putusan akhir-akhir ini, sebaiknya dibubarkan saja.
Pengangkatan Guntur menjadi hakim MK terkesan melalui fit and proper test yang ’abal-abal’, juga tidak dengan prosedur yang lazim.
Ketiga, pengangkatan Guntur Hamzah sebagai pengganti Aswanto juga bermasalah. Masalah pertama, karena Guntur adalah Sekretaris Jenderal MK. Dengan jabatan itu, dugaan konflik kepentingan dalam proses pemberhentian Aswanto dan pengangkatan Guntur sebagai hakim MK tidak bisa dihindarkan.
Masalah kedua, pengangkatan Guntur menjadi hakim MK terkesan melalui fit and proper test yang ”abal-abal”, juga tidak dengan prosedur yang lazim. Sebagai akademisi yang menyandang gelar guru besar ilmu hukum, maka sejatinya Guntur sejak semula tidak bersedia mengikuti proses itu. Atau paling tidak, setelah proses ini mencuat dan memunculkan banyak kegaduhan, Guntur sebaiknya mengundurkan diri sebelum di-SK-kan oleh presiden.
ANTARA FOTO/RIVAN AWAL LINGGA
Aswanto saat menyampaikan pendapatnya ketika mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon hakim Mahkamah Konstitusi oleh Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Preseden buruk
Apa yang kita lihat hari ini menunjukkan peradaban bangsa yang tengah kita bangun untuk masa depan Indonesia. Pemberhentian hakim MK dengan proses janggal ini akan menjadi preseden buruk sistem peradilan dan perjalanan konstitusi Republik Indonesia.
Preseden ini, jika dibiarkan, akan terus dilakukan oleh DPR pada masa yang akan datang, terlebih dengan alasan produk UU yang mereka hasilkan dibatalkan oleh MK. Belum lagi, proses ini akan diikuti oleh dua cabang kekuasaan pengusul hakim MK lainnya, yaitu Presiden dan MA, yang tiba-tiba memberhentikan hakim MK karena dinilai tidak berkomitmen.
Untuk menyelamatkan MK dari kondisi yang tidak kita inginkan di atas, semua pihak harus menahan diri untuk tidak mempertahankan ego politik sektoralnya.
Selain itu, yang paling dikhawatirkan, kondisi ini akan membelenggu hakim MK dalam menjalankan kewenangannya, terutama dalam hal pengujian UU terhadap UUD NRI Tahun 1945. Padahal, MK adalah lembaga terakhir tempat memperjuangkan hak asasi dan hak konstitusionalitas seluruh warga negara Indonesia.
Maka, untuk menyelamatkan MK dari kondisi yang tidak kita inginkan di atas, semua pihak harus menahan diri untuk tidak mempertahankan ego politik sektoralnya. Tanpa MK yang independen dan profesional, kita semua akan kehilangan akses memperjuangkan hak konstitusional, sebagaimana dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945. Dan jangan lupa, MK akan menjadi lembaga terakhir penentu kemenangan pada hajatan besar pemilihan umum pada 2024.
Momentum perbaikan mekanisme
Kondisi hari ini sejatinya menjadi pelajaran bagi kita bahwa ada yang salah dengan mekanisme pemilihan hakim MK. Problem mekanisme ini sudah sejak lama dipersoalkan oleh akademisi hukum tata negara, tetapi tidak pernah menjadi perhatian.
Padahal, mekanisme juga akan sangat berdampak pada kualitas dan integritas hakim MK yang akan menjabat. Dengan mekanisme yang transparan dan profesional, akan melahirkan hakim MK yang memiliki kapasitas dan integritas baik. Sebaliknya, dengan mekanisme yang tertutup dan buruk, dapat dipastikan akan melahirkan hakim MK yang korup dan cacat integritas.
Oleh karena itu, ini merupakan momentum perbaikan mekanisme pemilihan hakim MK. Secara mendasar, akan lebih baik jika pemilihan hakim MK juga melalui lembaga independen semisal pemilihan hakim MA yang dilakukan oleh Komisi Yudisial.
Artinya, dapat saja mekanisme pemilihan hakim MK dilakukan oleh KY sehingga juga berdampak pada wewenang pengawasan oleh KY terhadap hakim MK. Namun, pilihan ini akan bermuara pada amendemen UUD NRI Tahun 1945 yang cukup sulit dilakukan.
Pilihan lainnya adalah dengan membentuk kepanitiaan independen yang bertugas melakukan pemilihan hakim MK. Panitia independen ini akan bertugas menyeleksi hakim MK baik dari usulan Presiden, DPR, dan MA. Dengan demikian, mekanisme pemilihan menjadi lebih jelas dan transparan, tidak seperti saat ini yang diserahkan kepada setiap kelembagaan, yang pada praktiknya sangat syarat dengan kepentingan politik masing-masing institusi pengusul.
Despan Heryansyah, Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta