Ketajaman spiritualitas para cerpenis dalam menyingkap masalah berbeda-beda, dengan kekuatan intuisi, imaji, dan diksi. Berkembanglah kompleksitas tafsir narasi dibarengi lapis-lapis eksotismenya masing-masing.
Oleh
S PRASETYO UTOMO
·5 menit baca
Cerpenis Indonesia mutakhir, beberapa di antaranya berobsesi pada kain batik sebagai ide penciptaan mereka. Lima teks yang berobsesi pada kain batik, saya baca dalam buku cerpen pilihan Kompas. Lima cerpenis itu suntuk mengembangkan struktur narasi dengan keunikan sudut pandang, kecemerlangan mengembangkan gagasan, dan ketajaman imaji. Lima cerpenis Indonesia mutakhir yang berobsesi pada kain batik itu adalah Satyagraha Hoerip, Harris Effendi Thahar, Anggun Prameswari, Muna Masyari, dan Kurnia Effendi. Mereka menyingkap spiritualitas tokoh dalam cerpen-cerpen yang mengeksplorasi kain batik sebagai pusat konflik batin.
Dengan berobesi pada kain batik, Satyagraha Hoerip menulis cerpen “Parang Garuda”, termuat dalam Lampor: Cerpen Pilihan Kompas 1994. Harris Effendi Thahar mencipta cerpen “Kain Batik dari Ibu”, termuat dalam Jejak Tanah: Cerpen Pilihan Kompas 2002. Anggun Prameswari menyingkap latar spiritual kain batik dengan cerpen “Linuwih Aroma Jarik Baru”, termuat dalam Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta: Cerpen Pilihan Kompas 2015. Muna Masyari menyingkap sisi spiritual kain batik dalam “Pemesan Batik” dan Kurnia Effendi melakukan eksplorasi kain batik dalam “Opera Sekar Jagad” yang termuat dalam Doa yang Terapung: Cerpen Pilihan Kompas 2018.
Ketajaman spiritualitas kelima cerpenis ini menyingkap masalah berbeda-beda, dengan kekuatan intuisi, imaji, dan diksi. Berkembanglah kompleksitas tafsir narasi, yang masing-masing cerpenis memiliki lapis-lapis eksotismenya sendiri. Saya terkesima dengan kekuatan intuisi, imaji, dan diksi untuk mencipta konflik-konflik batin yang mendalam, dan berkembanglah cita rasa estetika yang memberi pengalaman spiritual pembaca mengenai kain batik.
*
SAYA mengenal almarhum Satyagraha Hoerip sebagai seorang sastrawan yang piawai mengangkat kisah-kisah kebusukan sosial ke dalam teks sastra yang memikat untuk dibaca seperti Sarinah Kembang Cikembang. Ia sangat tajam dalam mengamati pergeseran sosial, selera masyarakat, dan peka terhadap nasib orang-orang yang terpinggirkan, termasuk tersisihnya batik tulis dari industri batik cap. Dalam cerpen “Parang Garuda”, ia menghadirkan tokoh Mbah Pinah, seorang pembatik tulis, yang menghadapi situasi sulit keuangan, dan mesti menggadaikan kain batik tulis parang garuda.
Kain batik tulis memiliki tiga tafsir makna dalam cerpen ini. Pertama, keindahan kain batik tulis itu terpancar dari kekuatan spiritualitas, yakni kehalusan jiwa pembatiknya. Kedua, kain batik tulis yang mahal itu telah menjadi kenangan masa silam, yang mulai ditinggalkan masyarakat pembelinya. Ketiga, kain batik tulis menjadi berharga justru di kalangan elite ibu kota, terutama dari kalangan priyayi. Narasi yang diciptakan Satyagraha Hoerip sangat menyentuh kesadaran sosial manusia modern, yang tak lagi memerlukan keadiluhungan kain batik, melainkan terhanyut pada selera pasar. Ia menghidupkan tokoh yang memiliki kehalusan budi mencipta batik tulis, tetapi tersingkir dalam kenestapaan hidup.
Narasi spiritual kain batik itu dihadirkan Harris Effendi Thahar dengan mengembangkan narasi pengorbanan Marzam, yang merelakan kain batik pemberian ibunya untuk menutup mayat yang meninggal di dekat WC masjid. Cerpen “Kain Batik dari Ibu” menampakkan konflik batin seorang garin yang merelakan kain batik yang berharga pemberian ibu, yang memiliki kenangan dan pertautan spiritual, dimanfaatkan untuk menutup mayat lelaki tua yang tak dikenal. Dalam cerpen ini kain batik menjadi simbol keikhlasan, ketulusan batin untuk membantu manusia yang menanggung nestapa. Ia mencipta cerpen untuk memaknai kain batik dari sisi pertautan dengan hal-hal gaib.
Cerpen Anggun Prameswari, “Linuwih Aroma Jarik Baru”, mengangkat kain batik (jarik) sebagai simbol siklus hidup orang Jawa. Jarik dimanfaatkan sebagai alas tidur bayi, gendongan, dan kain basahan untuk mandi. Ketika menikah, pengantin mengenakan kain jarik. Begitu juga ketika meninggal dunia, jarik kawung digunakan untuk menyelimuti mayat.
Obsesi Anggun Prameswari terhadap kain batik, terutama jarik, lebih pada firasat akan kematian seseorang. Ia bisa mencium aroma kain jarik pada tiap orang yang akan meninggal, termasuk ayah kandung dan ibunya. Kain jarik tidak hanya menjadi simbol kematian, tetapi lebih dari itu, Anggun Prameswari mempertajamnya sebagai firasat akan maut, kesadaran transenden, saat manusia akan bertema Sang Pencipta.
Kehadiran Muna Masyari dengan cerpen “Pemesan Batik” terasa lebih tajam mengantarkan pembaca pada sisi spiritualitas manusia dalam menghadapi kompleksitas konfliks. Seseorang memesan batik tulis “arek lancor” sebagai simbol dendam dan tantangan bagi seorang lelaki yang merenggut istrinya. Diciptakanlah batik tulis itu dengan imajinasi, jiwa, perasaan pemesan dan puasa selama tujuh hari. Akan tetapi, pada saat batik tulis itu selesai dibuat, perempuan itu memasukkannya ke dalam peti kayu jati dan mengajak pemesan untuk melarungkannya ke pantai. Cerpen ini ditutup dengan sebuah ajaran mulia, “Biarlah pengkhianatan itu menjadi urusan semesta. Kelak ia akan menemukan muaranya sendiri, kembali pada yang memiliki.”
Spiritualitas menjadi roh penciptaan cerpen bertema kain batik. Dalam cerpen “Opera Sekar Jagad”, Kurnia Effendi memandang kain batik sebagai kesetiaan seorang istri pada suami, kekuatan batin untuk tetap hidup dalam harmoni rumah tangga. Batik tulis sekar jagad yang dibuat Purwati, yang kemudian dijual suaminya yang meninggalkan keluarga, ternyata ditemukannya berada di tangan seseorang. Kain batik tulis itu menjadi semangat Purwati untuk terus mencari dan menemukan suaminya. Terasa bahwa Kurnia Effendi menyadari benar hakikat kain batik sebagai ekspresi keadiluhungan dan nilai spiritual pembuatnya. Bahkan kain batik tulis sekar jagad menjadi pertaruhan akan harmoni kehidupan pembuatnya.
*
KELIMA cerpen yang berobsesi pada kain batik dalam perkembangan cerpen Indonesia mutakhir ini memberi arah akan pencapaian perenungan transenden. Mereka mengangkat kain batik dari beragam pandangan spiritual. Satyagraha Hoerip dengan spiritualitas kehalusan jiwa, Harris Effendi Thahar dengan spiritualitas untuk menolong sesama yang menanggung duka. Anggun Prameswari dengan spiritualitas kaum perempuan untuk menghadapi takdir dan keterbatasan kemampuan manusia. Muna Masyari dengan mengangkat kearifan spiritualitas menghadapi dendam. Kurnia Effendi mengangkat spiritualitas kesetiaan dan ketabahan kaum perempuan.
Spiritualitas menjadi obsesi cerpenis dalam menghadapi konflik kehidupan. Mereka menghadirkan tokoh manusia terpinggirkan, yang menemukan kesadaran batin, tujuan hidup, dan persentuhan dengan hal-hal gaib. Kelima cerpenis memberi sugesti akan makna spiritual kain batik yang selama ini tak terpahami masyarakat.
*
S Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.