Program Penjaminan Polis yang sedang digodok, formulasinya belum sepenuhnya mengakomodasi industri dan konsumen. Ada beberapa hal yang perlu dipertajam, termasuk penguatan LPS sebagai lembaga yang menangani program ini.
Oleh
WAHYUDIN RAHMAN
·5 menit baca
Program penjaminan polis kini memasuki babak baru. Program ini seharusnya sudah diimplementasikan tepat tiga tahun sejak Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian terbit. Implementasi ini tersendat dalam mencari model yang pasti Program Penjaminan Polis (PPP).
Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) telah memasukkan PPP pada Pasal 65 Ayat 1 di Bab VIII. RUU P2SK juga baru disahkan menjadi regulasi inisiatif DPR beberapa waktu lalu. Selanjutnya, RUU ini akan dibahas bersama dengan pemerintah sebelum diparipurnakan.
Tujuan PPP adalah melindungi pemegang polis dan kelangsungan usaha perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah. Namun, yang terpenting, kasus gagal bayar tak terulang dan pengawasan tata kelola perusahaan menjadi lebih baik (OECD, 2021).
Sebagaimana diketahui, kasus gagal bayar terutama dari lini asuransi jiwa masih terjadi. Berdasarkan data yang dihimpun Young Indonesian Insurance Professionals (YIIPs, 2022), sejak 2008 kerugian karena gagal bayar mencapai Rp 51 triliun. Sumbangsih terbesar dari kasus Jiwasraya. Dikhawatirkan efek domino selanjutnya dari lini asuransi kredit.
Penajaman PPP
Program Penjaminan Polis yang sedang digodok, formulasinya belum sepenuhnya mengakomodasi industri dan konsumen. Apa yang perlu ditajamkan pada PPP?
Pertama, insentif kebijakan untuk perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah yang dalam masa penyehatan untuk menjadi anggota PPP. Sebelumnya keanggotaan hanya berlaku bagi perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah dengan kategori sehat. Ini terlihat kaku.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan 2022, saat ini lebih dari lima perusahaan asuransi dalam masa penyehatan. Jauh sebelum itu, regulator juga telah membubarkan 42 perusahaan asuransi. Pencabutan izin mayoritas karena kesehatan keuangan.
Pemerintah dan DPR harus jeli. Jangan sampai gagal bayar tambah marak. Adanya PPP justru menjadi pepesan kosong.
Belum lagi pemberlakuan PSAK 74 (kontrak asuransi) di awal 2025 yang diilhami dari International Financial Reporting Standard (IFRS) 17 akan membuat sebagian perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah tergerus kinerja keuangannya pada awal penerapan. Pemerintah dan DPR harus jeli. Jangan sampai gagal bayar tambah marak. Adanya PPP justru menjadi pepesan kosong.
Diperlukan insentif kebijakan bagi perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah yang dalam penyehatan. Misalnya, dengan penetapan tarif lebih tinggi, keanggotaan terbatas (salah satu produk saja) dan penerapan masa orientasi calon anggota.
Kedua, sumber dan besaran iuran PPP berdasarkan kategori perusahaan dan jenis produk. Saat ini, yang diusulkan tidak mengklasifikasikan secara rinci. Padahal, operasionalisasi perusahaan asuransi dengan perusahaan asuransi syariah dan karakter setiap produk berbeda. Apalagi pembebanan tarif PPP akan mengakibatkan kenaikan premi asuransi.
Perlu diketahui, premi perusahaan asuransi terdiri dari porsi risiko murni (reasuransi dan cadangan teknis), biaya operasional, profit margin dan bunga. Sementara perusahaan asuransi syariah, ada pemisahan premi, yakni dana tabarru (retakaful dan penyisihan teknis) dan dana ujrah (biaya operasional, ujrah retakaful, dan profit margin).
Perbedaan di atas membuat iuran perusahaan asuransi syariah bersumber dari penyisihan teknis dana tabarru bukan cadangan teknis premi. Adapun besaran iuran PPP bagi perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah juga tidak sama. Iuran untuk perusahaan asuransi syariah cenderung lebih kecil. Ini juga faktor skala bisnis perusahaan asuransi syariah yang masih rendah (Prayitno, et al, 2021).
Tantangan bagi LPS
Ketiga, penguatan kelembagaan. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ditunjuk sebagai lembaga yang menangani PPP. LPS diatur melalui Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2009 yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan yang nilainya pasti. Sementara PPP menjamin pengembalian premi dan klaim yang nilai yang tidak pasti. Segregasi ini akan menimbulkan permasalahan dan komplikasi lanjutan (Hidayatullah, 2022).
Skeptisme lantas muncul. Bagaimana bisa LPS mengelola dengan baik apabila dikomandoi oleh manajemen dengan latar belakang yang belum mempunyai pengetahuan dan pengalaman pengelolaan asuransi. Apakah efektif?
Di sisi lain, LPS ditunjuk untuk efisiensi. Pendirian lembaga baru memakan biaya besar dan waktu yang tidak sebentar. Menurut International Association of Insurance Supervisors (2017), penggabungan lembaga sudah ada pada negara lain, seperti Perbadanan Insurans Deposit Malaysia (PIDM) dan Korea Deposit Insurance Corporation (KDIC).
Lembaga Penjamin Simpanan, perusahaan asuransi, dan perusahaan asuransi syariah harus memastikan hanya menjamin produk yang mempunyai manfaat proteksi dan segmentasi individu.
Setidaknya ada empat langkah yang harus dilakukan LPS. Pertama, membuat direktorat tersendiri bukan hanya unit penjaminan polis. Direktorat diisi oleh orang yang berpengalaman dan ahli asuransi serta aktuaria. Tujuannya percepatan dan lebih fokus dalam pelaksanaan teknis.
Kedua, mengubah identitas kelembagaan. Seiring perluasan fungsi. LPS dapat menambahkan nama. Misalnya, menjadi LPSP (Lembaga Penjamin Simpanan dan Polis). Penamaan baru membuat PPP terwakili.
Ketiga, selain penyuluhan ke perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah, konsumen perlu dilibatkan, terutama dalam edukasi produk yang dijamin. Sebab, hanya 19,4 persen masyarakat yang memiliki tingkat pemahaman baik soal asuransi (Survei OJK, 2019). Rendahnya pemahaman konsumen berperan andil pada kasus gagal bayar selama ini.
Lembaga Penjamin Simpanan, perusahaan asuransi, dan perusahaan asuransi syariah harus memastikan hanya menjamin produk yang mempunyai manfaat proteksi dan segmentasi individu, seperti asuransi jiwa, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan diri, asuransi kebakaran, dan asuransi kendaraan bermotor. Tidak termasuk produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI). Konsumen masih beranggapan, gagal bayarnya perusahaan asuransi disebabkan oleh PAYDI.
Perlu diklarifikasi bahwa kinerja investasi bukan obyek asuransi dan risiko investasi berada di pemegang polis. Bentuk dan penempatan instrumen sudah disepakati dengan manajer investasi dan diadministrasikan di Bank Kustodian dengan virtual account pemegang polis.
Adapun yang menjadi biang kerok gagal bayar, mayoritas karena miss selling dan buruknya tata kelola aset PAYDI. Nah, menariknya, LPS juga bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan aset anggota PPP.
Lembaga Penjamin Simpanan juga perlu berkordinasi dan bekerja sama dengan OJK dalam penerapan tata dan pengawasannya. Keberhasilan pengelolaan PPP menjadi harapan baru konsumen dan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap industri perasuransian.
Wahyudin Rahman, Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi) 2022-2025; Dosen UPN Veteran Jakarta