Nasib Sekolah Swasta
Demi pencerdasan, pencerahan, dan kemaslahatan pendidikan anak bangsa negeri ini, kebijakan yang melarang pihak sekolah (swasta) meringankan biaya SPP peserta didik melalui dana BOS perlu dikaji ulang.
Peran strategis sekolah swasta dalam mencerdaskan anak bangsa tak terbantahkan. Sebelum sekolah negeri hadir, sekolah swastalah yang pertama kali menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan.
Sekolah swastalah yang pertama kali membuat masyarakat pedalaman di republik ini melek huruf dan sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan.
Soal prestasi pun cukup kompetitif. Banyak sekolah swasta yang prestasinya sangat membanggakan, membuat harum nama daerah, bangsa, dan negara dalam berbagai ajang perlombaan internasional. Oleh karena itu, keberadaan sekolah swasta harus diperhatikan, bahkan dibantu, agar tetap berkontribusi mendidik anak bangsa.
Namun, sekolah swasta menghadapi tantangan yang kian berat di tengah konstelasi politik pendidikan yang kurang berpihak pada sekolah swasta. Banyak sekolah swasta kekurangan murid karena sekolah negeri terus mendapatkan subsidi. Siswa menumpuk di sekolah negeri yang ”gratis” biaya pendidikannya sehingga sejumlah sekolah swasta sepi peminat.
Kini, nasib sekolah swasta kian mengenaskan. Dana bantuan operasional sekolah (BOS) tidak boleh digunakan untuk meringankan biaya SPP peserta didik. Padahal, pengurangan biaya SPP melalui dana BOS sangat membantu peserta didik yang (maaf) kurang mampu.
Dengan adanya keringanan biaya SPP melalui dana BOS, selain meringankan beban orangtua di tengah harga-harga kebutuhan hidup yang terus merangkak naik, peserta didik dapat melanjutkan pendidikan untuk meraih mimpi-mimpi mereka.
Demi pencerdasan, pencerahan, dan kemaslahatan pendidikan anak bangsa negeri ini, kebijakan yang melarang pihak sekolah (swasta) meringankan biaya SPP peserta didik melalui dana BOS perlu dikaji ulang.
Kami mohon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terhormat mengusulkan kepada pemerintah (Kemendikbudristek) agar sekolah swasta bisa menggunakan dana BOS (tentu bukan seluruhnya) untuk meringankan biaya SPP peserta didiknya.
Jika tidak, sekolah swasta akan menanti ajalnya.
Miris, bukan?
Y Priyono PastiGuru Sekolah Swasta di Pontianak, Kalimantan Barat
Mencintai NKRI
Satuan Tugas TNI Pengamanan Pulau Terluar Pulau Berhala beraktivitas di dekat mercusuar di Pulau Berhala yang merupakan pulau terluar di Selat Malaka, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Rabu (10/8/2022).
Artikel Kompas (18/9/2022) dengan judul ”Naik Ojek di Sulsel Berongkos Jutaan Rupiah” dan ”Melayari Pinggiran Negeri” benar-benar menohok dan membuka mata kita terkait kondisi geografis dan infrastruktur di Indonesia.
Perjuangan masyarakat yang tinggal di daerah dengan infrastruktur terbatas dan pulau-pulau kecil terluar (PPKT) dalam segala aspek kehidupannya sungguh memprihatinkan. Sebutlah, antara lain, fasilitas kesehatan, pendidikan, penerangan, bahan bakar untuk dapur dan perahu nelayan, pelabuhan di PPKT, jalan darat, dan infrastruktur komunikasi.
Saya sudah membuktikan semua itu ketika tinggal di Pulau Nipa (Kabupaten Kepulauan Sangihe) dan pulau terluar, Pulau Marampit (Kabupaten Kepulauan Talaud) selama berbulan-bulan. Pengalaman itu sangat membekas dan berkesan.
Jadwal pelayaran perintis dua minggu sekali untuk kembali ke pelabuhan yang sama karena harus singgah di pulau-pulau kecil untuk bongkar muat penumpang, barang, dan komoditas.
Selain kapal Pelni, ada kapal motor yang turut sandar di pelabuhan pulau-pulau kecil. Cuaca saat musim gelombang dan badai menjadi salah satu halangan transportasi laut. Jika kapal tidak singgah di pelabuhan akibat cuaca atau masuk dok, masyarakat di pulau tidak dapat belanja kebutuhan di pulau besar.
Tak kenal maka tak sayang. Pengalaman di atas sangat berkesan dan berharga bagi saya. Mengetahui kehidupan masyarakat di PPKT menebalkan semangat cinta Tanah Air.
Vita PriyambadaMalang 65145
Royalti Hak Cipta
Sehari setelah Farel Prayoga menyanyikan lagu ”Aja Dibandingke” karya Abah Lala di istana, Menteri Hukum dan HAM pada 18 Agustus 2022 menyerahkan Surat Pencatatan Hak Cipta kepada Farel, Menkumham menyatakan, ”Ini ada royaltinya, diberikan haknya. Ini bisa dijadikan jaminan.”
Bapak Menteri seolah menyatakan, negara telah memberikan perlindungan hak cipta atas karya Abah Lala dan juga Farel sebagai pelantunnya. Seolah kedua seniman ini otomatis menerima royaltinya dan seolah dapat dijadikan jaminan fidusia.
Namun, masih diperlukan satu tahapan lagi agar harapan ini bisa terjadi, yaitu Abah Lala dan Farel mengikat hubungan hukum dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) karena hanya seniman yang tergabung dalam LMK yang dapat menerima royalti (Pasal 87 (1) UUHC).
Abah Lala dapat menjadi anggota LMK yang mewakili Hak Pencipta, Farel menjadi anggota LMK untuk Hak Terkait Pelaku Pertunjukan.
Digital Platform wajib membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). LMKN yang akan mendistribusikan kepada LMK dan akhirnya LMK kepada Abah Lala serta Farel Prayoga.
Faktanya, Digital Platform belum bersedia mengikat hubungan hukum dengan LMKN dan hanya memiliki hubungan hukum dengan 1 LMK (dari 11 LMK yang ada), yaitu LMK Wami (Wahana Musik Indonesia). Sebagai pelaku pertunjukan, Farel hanya dapat menjadi anggota LMK Pelaku Pertunjukan.
Sistem hukum Indonesia itu berbeda dengan sistem royalti yang dipergunakan oleh Digital Platform. Setiap pemutaran musik di wilayah Indonesia otomatis berkewajiban lisensi dan otomatis berkewajiban membayar royalti ke LMKN. Namun, sistem robot digital platform mewajibkan pihak yang berhak untuk mengklaim royaltinya.
Suatu karya sangat mungkin untuk dijadikan jaminan. Namun, perlu dipersiapkan infrastruktur dan data pendukungnya. Amanat PP No 56/ 2021 adalah Kemenkumham membuat pusat data lagu dan/atau musik (PDLM), LMKN mempersiapkan sistem informasi lagu dan/atau musik (SILM) dan harus beroperasi 30 Maret 2023. Permasalahan tersendiri tak kalah rumit menghubungkan PDLM/SILM dengan sistem kepunyaan Digital Platform.
Marulam J Hutauruk, SHKonsultan Hukum dan Kekayaan Intelektual,Cibubur 16967
Pilihan Ganda
Bapak Bambang Sugeng, dosen di Semarang, mempertanyakan istilah pilihan ganda yang saya gunakan sebagai padanan multiple choice (Kompas, 19/9/2022).
Istilah pilihan ganda itu saya pakai karena sejak dulu ia sudah salah kaprah. Lagi pula, pada masa foto kopi atau Xerox masih ada di mana-mana, ”menggandakan” naskah artikel juga dimengerti sebagai memperbanyak kopi naskah.
Istilah pilihan jamak dapat—dan baik—juga kalau dipakai sebagai padanan multiple choice. Silakan di-pasar-kan (disebarluaskan).
Namun, pilihan ganda sebagai padanan double choice harap dilupakan saja. Yang sudah mantap istilahnya ialah benar-salah (B-S), padanan dari true-false (T-F).
Pada hemat saya, multiple true-false tidak kalah baik kalau dibandingkan dengan multiple choice. Multiple true-false (B-S jamak) bahkan lebih efisien, baik dalam pembuatan dan pemeriksaan/pemarkahan (scoring) maupun keefektifan sebagai alat evaluasi.
Benar-salah jamak ialah soal yang batang (stem)-nya diikuti sejumlah pertanyaan B-S. Jumlah cabang B-S itu bisa berapa saja, tidak seragam dalam keseluruhan soal tes.
Terima kasih Pak Bambang Sugeng atas sentilannya.
L WilardjoKlaseman, Salatiga
Bahasa Daerah dan Wayang
Menginventaris wayang. Mahasiswa-mahasiswi STIKOM Yos Sudarso mendata wayang kulit di Museum Wayang Sendang Mas, Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (18/5/2021).
Saat berkumpul dengan keluarga besar atau di kantor, kita sering berkomunikasi dalam bahasa daerah. Warna dan rasanya bisa jadi berbeda jika dalam bahasa Indonesia.
Untuk sekolah di luar Jakarta, pelajaran bahasa daerah diajarkan di sekolah. Mungkin selain di Bali, ajaran bahasa daerah hanya lewat beberapa saat. Sudah jarang anak-anak tertidur didongengkan cerita wayang, misalnya.
Atau mendengarkan cerita Sakadang Kuya atau Sakadang Maung. Cerita ini dituturkan dengan narasi dan seloka berbahasa Sunda yang jenaka. Beruntung jika generasi milenial masih diasuh oleh nenek dan kakeknya sehingga bisa diajari lagu-lagu permainan berbahasa daerah.
Saya bandingkan dengan Bali karena pernah kuliah kerja nyata di Bangli. Saya menikmati Drama Gong, menyaksikan anak-anak belajar membuat patung dan menari dalam permainan. Nasihat, filosofi, dibawakan ringan dalam dialog drama daerah.
Saat di sekolah dasar tahun ’80-an, guru kami biasa bercerita mengenai wayang satu jam sebelum pulang. Saya pun masih menceritakan kisah Pronocitro dan Roromendut, kesaktian Empu Gandring dan Ken Arok, kepada anak-anak saat mereka masih kecil.
Namun, tidak terlalu banyak yang bisa mereka ingat dan gambarkan mengenai nilai-nilai cerita itu sekarang.
Kepunahan bahasa daerah mungkin bisa kita cegah dengan mengenalkan wayang atau dongeng berbahasa daerah dan menggairahkan kembali kesenian lokal. Semoga kita masih bisa melestarikan pengetahuan bahasa daerah dan kesenian tradisi leluhur.
Syafrizal MaludinCibinong Science Center
Kebijakan Transportasi
Kendaraan terjebak macet di Jalan Kramat Raya, Jakarta, Kamis (18/1).
Hampir sepekan terakhir kondisi lalu lintas di Jalan Kramat Raya—dari fly over Senen sampai simpang Matraman Raya—mendadak macet.
Ternyata di lajur paling kiri (arah Senen menuju Matraman dan Matraman menuju Senen) dipasang pembatas untuk jalur sepeda. Entah ini ide siapa, nyata-nyata akibatnya membuat jalur yang sehari-hari tersendat jadi macet.
Entah apa pula tujuan pemasangan pembatas itu karena baru beberapa hari terpasang, lajur tersebut telah diokupasi oleh sepeda motor dan angkot.
Sudah saatnya kita lebih kritis terhadap kebijakan ”kosmetik” yang menghamburkan uang, sementara hasilnya tidak sesuai tujuan, bahkan menimbulkan biaya sosial yang lebih besar (stres, pemborosan, dan lain-lain).
Natar SinagaPondok Kelapa, Jakarta