Akankah Perang Nuklir Terjadi
Tidak dapat dibayangkan bagaimana keadaan dunia jika perang senjata nuklir benar-benar terjadi. Ancaman Rusia menggunakan senjata nuklirnya menandai mulai surutnya sumber daya militer menghadapi peperangan.
Perang Rusia-Ukraina di wilayah Ukraina yang pecah sejak 24 Februari 2022 kini telah memasuki bulan kedelapan.
Perang telah menewaskan ribuan warga sipil Ukraina tak berdosa serta tentara di kedua belah pihak. Eksodus pengungsi Ukraina ke beberapa negara tetangganya sejak invasi Rusia dilancarkan dilaporkan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mencapai 6,8 juta orang.
Tragedi kemanusiaan terburuk setelah Perang Dunia (PD) II yang menampilkan Adolf Hitler di panggung sejarah kelam peradaban. Sekalipun pasukan tempur Ukraina berhasil mempertahankan diri dan merebut kembali beberapa kota yang sebelumnya dikuasai Rusia, seperti Kharkiv, Izzum, Chernihiv, Rusia ”sementara” berhasil menganeksasi 18 persen wilayah Ukraina timur-selatan: Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zhaparizhia.
Di bawah todongan senjata Rusia, rakyat Ukraina di keempat distrik itu dipaksa memberi suara ”ya” untuk bergabung dengan Federasi Rusia melalui referendum sepihak yang berlangsung 24-27 september. Vladimir Putin mengklaim wilayah tersebut bagian dari Rusia. PBB menentang, tidak ada pengakuan internasional atas segala pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina. Hingga kini dunia seolah tak berdaya menghentikan tindakan ”brutal” Rusia menginjak-injak kedaulatan Ukraina.
Hingga kini dunia seolah tak berdaya menghentikan tindakan ”brutal” Rusia menginjak-injak kedaulatan Ukraina.
Rusia tak cukup jera dengan sanksi ekonomi AS dan Uni Eropa (UE). Putin terasing dari pergaulan internasional bangsa-bangsa yang beradab. Presiden Rusia telah kehilangan kehormatannya sebagai pemimpin yang berperikemanusiaan dan berperadaban. Rusia mulai terkucil dari pergaulan dunia, tetapi ini tidak membuat Rusia berkaca pada realitas, berjalan dengan kacamata kuda.
Mengabaikan pandangan dunia, bahkan memaksakan kehendak terhadap rakyatnya sendiri dengan perintah partial mobilization, memaksa rakyatnya untuk berperang. Protes rakyat Rusia meletus di sejumlah kota. Eksodus ratusan ribu warga Rusia ke negara sekitarnya untuk menghindari perang terjadi. Tidak kurang dari 500.000 orang Rusia kini memasuki wilayah Georgia, negara observer NATO.
Reaksi dunia
Presiden AS, Sekjen PBB, dan Presiden UE telah bersuara lantang memberikan peringatan keras kepada Rusia. Negara-negara NATO telah bersiap menyambut ”langkah kuda” Rusia berikutnya. Kapal induk AS, Inggris, dan kapal perang Jerman, Denmark, telah berada di jalur laut di mana pipa gas Nordstream dari Rusia terhubung ke Eropa.
Akibat ”referendum aneksasi” Rusia di keempat distrik, Ukraina bertekad merebut kembali wilayah kedaulatannya. Perundingan damai tertutup. Ukraina mempercepat proses bergabung dengan NATO. Bantuan peralatan militer mutakhir AS untuk Ukraina ditaksir mencapai 100 miliar dollar AS, ditambah bantuan dari Inggris dan negara Eropa lain. Ukraina menghimpun amunisi yang cukup untuk bertempur mempertahankan kedaulatan negaranya.
Lima faktor utama yang mendorong Ukraina berani melawan Rusia adalah: (1) budaya dan sejarah Ukraina membentuk karakter patriot perlawanan terhadap penjajahan; (2) potensi alam dan sumber daya manusia mencukupi sebagai modal perjuangan; (3) kemerdekaan dan kedaulatan Ukraina diakui dunia bersama 14 negara lain sejak bubarnya Uni Soviet; (4) Ukraina mendapat dukungan ekonomi, kemanusiaan, dan militer dari negara UE-NATO; dan (5) memiliki presiden dengan karakter kepemimpinan yang kuat mengakar.
Kelima faktor ini membuat Ukraina memiliki rasa percaya diri untuk menghadapi Rusia. Kemampuannya bertahan selama delapan bulan membuktikan Ukraina tidak mudah dikalahkan Rusia.
Di sisi lain, Rusia menutup mata akan resistansi yang besar di wilayah Ukraina. Agresi Rusia di Kota Bucha yang membuat dunia tercengang—membunuh ratusan warga sipil, menghancurkan berbagai fasilitas sipil, seperti sekolah, rumah sakit, dan perumahan dengan rudal misil yang ditembakkan secara sporadis ke beberapa wilayah Ukraina—telah membuat luka yang sangat dalam dirasakan seluruh bangsa Ukraina.
Rusia tidak akan pernah bisa lagi ”meraih” Ukraina. Rusia pun tidak peduli dengan jumlah korban sipil yang jatuh, tidak peduli dengan kerusakan reaktor nuklir Chernobyl atau Zhaporizhia atas penggunaan wilayah perang.
Baca juga : Referendum dan Konflik di Ukraina
Rusia tak peduli dengan krisis pangan dunia akibat ulahnya menutup akses pelayaran di Laut Hitam. Presiden Rusia bergeming atas kehancuran mesin perang dan tentaranya di wilayah Ukraina dan protes warganya menentang mobilisasi perang. Rusia mulai kehilangan rasa percaya diri akibat bias informasi propaganda yang dilakukannya sendiri. Tak menyadari kenyataan bahwa Rusia telah dikucilkan dunia dan ”kalah” di medan perang Ukraina yang dibuatnya sendiri, sebagaimana kekalahan Uni Soviet di Afghanistan yang berujung pada bubarnya Uni Soviet tahun 1990.
Dengan hasil referendum sepihak, Presiden Rusia ingin mengatakan bahwa mulai 30 september 2022, Luhansk, Donetsk, Kherson, dan Zhaporizhia jadi bagian dari negara Rusia. Maka, sesuai konstitusi Rusia, jika wilayah negaranya terancam, Presiden Putin berhak menggunakan senjata nuklir dengan dalih mempertahankan Rusia. Logika ”Machiavellis” yang hanya dimiliki seorang diktator. Pertanyaannya, apakah Ukraina akan mundur? Apakah semudah itu Rusia mengancam keamanan dunia? Apakah pemilik senjata nuklir lain diam? Apakah orang-orang di sekitar Putin tahu akibat perang nuklir bagi Rusia?
Hindari Perang Dunia III
Senjata nuklir identik dengan senjata pemusnah massal, senjata terakhir yang mematikan. Bom atom dengan kekuatan 15-20 kiloton TNT yang dijatuhkan AS pada PD II telah meluluhlantakkan Nagasaki dan Hiroshima tahun 1945.
Senjata nuklir yang dikembangkan saat ini berkekuatan lebih besar dari 50 megaton TNT, karena itu disebut deterence nuclear’s weapon, yaitu senjata penangkal untuk mencegah penggunaan senjata nuklir yang menghancurkan. Maknanya, ini peringatan kepada siapa saja agar jangan pernah menggunakannya jika tidak ingin hancur. Rusia bukan satu-satunya pemilik senjata nuklir. Masih ada delapan negara lainnya: AS, Inggris, Perancis, China, India, Korea Utara, Pakistan, dan Israel. Strategic Arm Reduction Treaty, 2019 melaporkan perkiraan senjata nuklir yang tersebar di dunia ada 20.000.
Negara yang mencoba menggunakan senjata nuklir akan dibalas oleh senjata yang sama untuk menghentikannya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana keadaan dunia jika perang senjata nuklir benar-benar terjadi. Seandainya Rusia benar-benar menggunakan senjata nuklirnya dalam menghadapi perang di wilayah Ukraina, artinya Rusia tengah menggali kehancuran negerinya sendiri menghadapi senjata nuklir NATO yang berada di sekeliling wilayah Rusia.
Penggunaan senjata nuklir dapat dimaknai sebagai keadaan ”frustrasi” menghadapi perang yang tak kunjung usai.
Penggunaan senjata nuklir dapat dimaknai sebagai keadaan ”frustrasi” menghadapi perang yang tak kunjung usai. Ancaman Rusia menggunakan senjata nuklirnya menandai mulai surutnya sumber daya militer menghadapi peperangan. Di sisi lain, ancaman senjata nuklir akan mendorong negara lain bersiap menggunakan senjata nuklirnya untuk menghentikan serangan. Perang nuklir adalah malapetaka dunia.
Adalah tanggung jawab semua bangsa untuk mencegahnya. Tak ada satu bangsa pun di dunia yang ingin hancur, termasuk Rusia. Eksodus ratusan ribu warga Rusia meninggalkan negaranya, protes merebak di seluruh Rusia menentang partial mobilization, menjadi bukti bahwa rakyat Rusia sendiri tak ingin berperang, apalagi harus hancur dengan senjata nuklir. Semoga itu tidak terjadi.
Perang Rusia di Ukraina sudah menjadi masalah dunia. Harus dihentikan dengan prinsip kemanusiaan dan hukum internasional. Para pemimpin negara-negara dunia, termasuk Indonesia, harus berperan mengambil langkah- langkah perdamaian. Cukuplah tragedi PD II yang terakhir dalam sejarah kehidupan, jangan biarkan ada PD III.
(Yuddy ChrisnandiGuru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional, Dubes RI di Kyiv, 2017-2021)