Sekarang lagi gencar sosialisasi kompor listrik induksi sebagai pengganti kompor elpiji, katanya lebih hemat. Nah, kalau tarif listrik naik terus, lalu di mana hematnya kompor listrik induksi?
Oleh
Djoko Madurianto Sunarto
·3 menit baca
Mengamati rubrik Seremonia Kompas bulan Agustus dan September ini, banyak diisi oleh berita kinerja serta aktivitas PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN.
Sebagai contoh, pada Seremonia (Sabtu, 17/9/2022) tentang PLN, ”Jaga Keberlanjutan Lingkungan, PLN Raih Environmental and Social Innovation Award”, atau Kompas (3/9/2022) tentang PLN juga, ”PLN Raih Penghargaan Indonesia Best Business Transformation”.
Mungkin pimpinan PLN sangat bangga terhadap pencapaian perusahaannya dan ingin berbagi dengan publik. Setidaknya, bangsa Indonesia dapat mengetahui kinerja PLN sebagai perusahaan dengan hak eksklusif dalam monopoli perlistrikan di Indonesia.
Namun, ada sisi lain, yaitu sisi rakyat Indonesia. Ketika saya membeli token PLN prabayar Rp 1 juta, saya hanya mendapat listrik 541 kWh. Sebelumnya saya mendapatkan 641 kWh. Berarti ada kenaikan tarif listrik.
Sekarang lagi gencar sosialisasi kompor listrik induksi sebagai pengganti kompor elpiji, katanya lebih hemat. Nah, kalau tarif listrik naik terus, lalu di mana hematnya kompor listrik induksi? Jadi ingat peribahasa, ”keluar dari mulut elpiji yang makin mahal, masuk ke mulut listrik yang juga naik terus tarifnya”.
PLN saat ini belum lepas dari ketergantungan batubara. Di Kompas (Minggu, 28/8/2022) Luki Aulia menulis ”Bernapas Tanpa Cemas di China”. Disebutkan bahwa kerja besar China membawa hasil. Hanya dalam waktu enam tahun, tingkat polusi di Beijing atau wilayah China utara berkurang dan kualitas udara membaik. Ini karena tak ada lagi pabrik yang memakai batubara.
Saya melihat di Youtube, banyak edukasi tentang pemasangan sel surya di atap rumah untuk mengurangi biaya listrik PLN. Namun, saya belum pernah ketemu usaha PLN untuk mengajak, mengedukasi, dan membantu masyarakat agar beralih ke sel surya di atap rumah dengan mempermudah prosedur perizinan. Sepertinya, PLN belum siap melepas monopoli.
Saya belum pernah mendengar PLN mendapatkan penghargaan dalam pemanfaatan energi ombak, energi arus air, energi angin, energi surya, dan sebagainya. Kita terbiasa dengan budaya membeli teknologi, bukan budaya menciptakan teknologi, sehingga hanya menunggu.
Jangan hanya melihat prestasi dan kinerja dengan kacamata sendiri. Kami rakyat Indonesia hanya melihat, jika harga jual listrik makin mahal, berarti prestasi dan kinerja PLN justru semakin menurun. Bukankah sumber energi di Indonesia berlimpah? Gemes deh.
Djoko Madurianto SunartoJl Pugeran Barat, Yogyakarta 55141
Menyerah Kalah
Ada dua kata yang sudah lama membuat saya tidak nyaman. Kata pertama diartikan secara salah, yang kedua dirangkai secara tidak tepat.
Kata yang disalahartikan ialah tegak lurus, seperti dalam kalimat ini: ”Tidak boleh ada visi dan misi menteri; semua harus tegak lurus dengan visi-misi Presiden”.
Yang dimaksud tegak lurus di atas ialah sesuai, sejalan, searah, segaris. Padahal, tegak lurus itu justru berbeda total dengan searah atau segaris. Perbedaan tidak terbatas dalam planimetri (ilmu ukur bidang datar) saja, tetapi juga dalam percakapan sehari-hari dalam masyarakat yang berbahasa Inggris.
Perpendicular to berbeda arah secara total (sepenuhnya) dengan parallel with.
Anehnya, banyak pejabat tinggi dan tenaga ahli di Kantor Staf Presiden (KSP) memakai kata tegak lurus dalam arti yang salah itu!
Kata yang dirangkai tidak ”pas” ialah tak benda, seperti dalam kalimat: ”Wayang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya tak benda”.
Seharusnya frasanya bukan warisan budaya tak benda, melainkan warisan budaya bukan-benda. Kita bisa benar menyatakan bahwa pipa paralon itu pipa ”bukan-logam” (non-metal).
Tak, bentuk singkat dari tidak, tidak dapat diikuti nomina (kata benda).
Namun, akhirnya saya menyerah kalah setelah sastrawati Linda Christanty dalam kolom Analisis Budaya ikut-ikutan memakai kata tak benda (Kompas, 24/9/2022).
Linda menulis ”UNESCO menetapkan Epos Hilali sebagai Mahakarya Budaya Lisan dan Warisan Budaya Tak Benda Kemanusiaan pada 2003 dan 2008”.
Setelah berulang kali berusaha mengoreksi, sekarang saya bersikap, biar sajalah jadi salah kaprah.