Rancangan Undang-Undang Sisdiknas tidak masuk Prolegnas Prioritas 2023. Ini momentum yang tepat bagi masyarakat, semua pemangku kepentingan pendidikan, untuk berkonsolidasi agar RUU Sisdiknas sesuai aspirasi masyarakat.
Oleh
IBNU SYAMSU HIDAYAT
·5 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Dalam rapat Badan Legislasi DPR dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi manusia, pembuat undang-undang menyepakati Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Perubahan Prioritas 2022 sejumlah 32 RUU, Prolegnas Prioritas tahun 2023 sebanyak 38 RUU, dan Prolegnas Perubahan Keempat RUU tahun 2020-2024 sebanyak 275 RUU.
Dalam rapat kerja tersebut, Kementerian Hukum dan HAM mengusulkan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang merupakan RUU inisiatif pemerintah dapat dijadikan Prolegnas Prioritas tahun 2023. RUU ini berbeda nasib dengan UU Cipta Kerja 2020, walaupun sama-sama disusun dengan konsep omnibus law. Mayoritas fraksi DPR menolak RUU Sisdiknas masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023 sehingga Badan Legislasi DPR memutuskan RUU Sisdiknas tidak masuk dalam RUU prioritas tahun 2023.
Dalam penolakan ini ada pandangan anggota DPR yang sangat rasional. Sebagai RUU yang merupakan inisiatif pemerintah, harus diselesaikan terlebih dahulu pro-kontra yang terjadi di masyarakat, bukan dengan memindah pro-kontra itu di DPR. Artinya, sebelum RUU ini dijadikan RUU prioritas, substansi-substansi yang sampai saat ini masih menjadi pro-kontra masyarakat harus selesaikan terlebih dahulu.
RUU ini menggunakan konsep omnibus law, yaitu menggabungkan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Pemerintah seharusnya belajar dari pembuatan UU Cipta Kerja yang dinilai Mahkamah Konstitusi cacat formil (cacat dalam proses pembuatan RUU). Dalam pertimbangan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 disebutkan bahwa UU Cipta Kerja cacat formil karena dalam pembentukannya tidak menggunakan prinsip keterlibatan publik atau partisipasi publik yang sungguh-sungguh dan bermakna (meaningful participation).
Partisipasi masyarakat yang lebih bermakna tersebut setidaknya memenuhi tiga prasyarat. Pertama, hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard). Kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered). Ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian lebih terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
Kemudian muncul pertanyaan, kapan partisipasi publik yang bermakna ini harus dilakukan? MK telah menjawab juga dalam putusannya, publik harus dilibatkan paling tidak dalam tahapan pengajuan rancangan undang-undang; pembahasan bersama antara pemerintah dan DPR; pembahasan bersama pemerintah, DPR, dan DPD; serta pada proses persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR.
Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian lebih terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas.
Komite sekolah
Terkait proses tersebut, penulis hendak menyoroti satu hal dalam RUU Sisdiknas versi terakhir Kemendikbudristek, yakni hilangnya nomenklatur yang mengatur tentang komite sekolah. Komite sekolah tidak diatur dalam batang tubuh UU.
Dalam RUU Sisdiknas, komite sekolah masuk bagian kelima, yaitu hak dan kewajiban masyarakat yang terdiri atas dua pasal, yaitu Pasal 15 Ayat (1) mengatur tentang hak masyarakat menyelenggarakan pendidikan dan Ayat (2) mengatur hak masyarakat berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan baik secara perorangan maupun kelompok. Kemudian, dalam bagian penjelasan Pasal 15 Ayat (2), yang dimaksud kelompok salah satunya adalah komite sekolah.
Sementara di UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas, komite sekolah diatur dalam batang tubuh UU, yakni bagian ketiga tentang dewan pendidikan dan komite sekolah yang terdiri atas empat pasal.
Dalam UU Sisdiknas tersebut dijelaskan definisi komite sekolah, tujuan dibentuk komite sekolah, dan peran komite sekolah sebagai representasi masyarakat dalam meningkatkan mutu pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Diskusi bertajuk ”Implementasi Permendikbud No 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah” yang diselenggarakan Federasi Guru Independen Indonesia di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Senin (30/1/2017).
Penulis mencoba membayangkan jika dalam sekolah tidak ada komite sekolah. Bayangan yang muncul pertama kali adalah tidak akan ada checks and balances dalam penyusunan program pendidikan dan akan hilangnya pengawasan terhadap kontrol atas penggunaan keuangan sekolah, seperti penggunaan bantuan operasional sekolah (BOS) ataupun BOS daerah.
Selain menjadi pemberi pertimbangan kepada sekolah (advisory agency), komite sekolah berperan sebagai pengontrol sekolah (controlling agency). Dalam menjalankan peran ini, komite sekolah melakukan pengawasan terhadap segala program sekolah dengan cara mengadakan rapat rutin ataupun insidental dengan guru sekolah untuk membahas ataupun mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah tersebut. Selain itu, komite sekolah dapat mendorong penyelenggaraan pendidikan sekolah yang transparan dan akuntabel sehingga jauh dari praktik korupsi.
Selain itu, pentingnya pengaturan dalam bab sendiri perihal komite sekolah tersebut berkaitan dengan masih tingginya praktik korupsi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, seperti korupsi dana BOS.
Selain menjadi pemberi pertimbangan kepada sekolah ( advisory agency), komite sekolah berperan sebagai pengontrol sekolah ( controlling agency).
Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam kajiannya mencatat, pada 2020-2021, dari 240 kasus korupsi pendidikan, terdapat 52 kasus atau 21,7 persen korupsi dana BOS. Modusnya, sebelum ditransfer ke kas umum daerah, dana BOS ditransfer terlebih dahulu ke rekening sekolah. Data ICW juga menunjukkan tingginya jumlah aparatur sipil negara (ASN) dari dinas pendidikan yang menjadi tersangka kasus korupsi, yakni 160 tersangka dari ASN staf di dinas pendidikan dan 44 tersangka berasal dari kepala dinas pendidikan.
Belum terlambat
Belum disepakatinya RUU Sisdiknas sebagai RUU prioritas tahun 2023 membuka harapan masyarakat untuk tetap mempertahankan pengaturan komite sekolah seperti model UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas, diatur dalam satu bagian tersendiri dalam batang tubuh undang-undang.
Saat ini sampai dengan jadwal rapat pembahasan Prolegnas selanjutnya merupakan momentum sangat tepat bagi semua warga negara, masyarakat Indonesia, dan kelompok-kelompok masyarakat yang saat ini menjadi komite sekolah untuk menguatkan barisan, berkonsolidasi agar RUU Sisdiknas ini sesuai dengan aspirasi masyarakat. Kita semua harus memastikan bahwa RUU Sisdiknas sesuai dengan kebutuhan rakyat Indonesia.
Penulis meyakini bahwa dimasukkannya kembali nomenklatur komite sekolah dalam UU Sisdiknas bukan berarti akan menghambat proses pendidikan di Indonesia, semata untuk menjaga dari praktik penyalahgunaan wewenang penyelenggara pendidikan sebagai kontrol atas penyelenggaraan pendidikan. Karena penulis masih meyakini adagium ”power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.
Ibnu Syamsu Hidayat, Advokat Themis Indonesia Law Firm