Kenaikan Harga BBM: Beban Berat bagi Semua
Distribusi BBM terus mengalami kebocoran. Kita perlu membangun tata kelola dalam pengelolaan BBM, dari produksi hingga tata laksana distribusi yang efisien, agar subsidi BBM sungguh diterima mereka yang membutuhkan.
Baru-baru ini, pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi. Seperti pada masa-masa yang lalu, kali ini juga ada reaksi yang cukup keras dari masyarakat, khususnya mahasiswa, pekerja, dan ibu-ibu rumah tangga.
Saya tidak yakin bahwa ini adalah yang terakhir kali karena sebagian bahan bakar minyak (BBM) harganya diatur pemerintah (administered/regulated price) dan tidak sepenuhnya diserahkan kepada pasar seperti di banyak negara lain.
Setiap kali ada tekanan pada unsur-unsur yang membentuk biaya produksi, khususnya, meskipun tidak selalu faktor-faktor eksternal, maka untuk menjaga ketahanan fiskal, sebagian beban itu, yang selama ini bersifat subsidi, harus ditanggung masyarakat.
Semua presiden dalam sejarah kita sejak dulu hingga saat ini pernah mengambil langkah menaikkan harga BBM, kecuali pada masa Presiden BJ Habibie. Kenapa pada masa Pak Habibie tidak ada kenaikan harga BBM? Sebab, pada awal pemerintahannya, atau menjelang akhir pemerintahan Pak Harto, harga-harga BBM sudah dinaikkan cukup besar sehingga dalam masa satu setengah tahun pemerintahan Pak Habibie harga-harga tersebut dapat bertahan.
Di luar itu, semua presiden pernah menaikkan harga BBM. Yang paling banyak tentu pada zaman Pak Harto karena ia terlama memimpin negara ini.
Kenapa pada masa Pak Habibie tidak ada kenaikan harga BBM?
Hati nurani
Sebetulnya, seperti ditunjukkan pada masa Pak Habibie, tidak ada satu presiden pun yang berkeinginan menaikkan harga BBM kalau tidak sangat perlu. Kenaikan harga BBM berdampak sangat berat bagi masyarakat. Namun, keputusan untuk menaikkan harga bahan-bahan yang begitu pokoknya bagi kehidupan masyarakat sangatlah berat pula bagi pemerintah. Tak ada satu pemerintahan pun yang dengan senang hati mengambil kebijakan tersebut.
Bahkan, dari pengalaman saya sendiri, keputusan menaikkan harga BBM adalah salah satu keputusan terberat yang harus diambil pemerintah. Saya mengalami sendiri saat menjadi Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben)—sekarang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral—saya harus melawan hati nurani karena tidak ada jalan lain untuk kepentingan negara yang lebih besar. Beban yang sungguh berat sekali.
Pada masa saya bertanggung jawab itu, pada 1988-1993, seingat saya tiga kali BBM dinaikkan harganya. Lalu tahun 1998 ada kenaikan harga BBM yang berakibat fatal dengan jatuhnya pemerintahan. Walaupun saat itu saya bukan lagi Mentamben, melainkan sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri, saya bertanggung jawab atas pengelolaan bidang ekonomi secara keseluruhan.
Memang, akhirnya kenaikan harga pada Mei 1998 itu ditinjau kembali dan diperingan, tetapi dampaknya sudah tak bisa dihindari. Bahkan sebaliknya langkah itu mungkin menunjukkan bahwa pemerintah sudah lemah sehingga memperkuat gelombang mahasiswa yang bergerak sebagai ujung tombak proses reformasi yang menjadikan kenaikan harga BBM sebagai salah satu isu sentral.
Dapat diargumentasikan bahwa proses perubahan pemerintahan pada tahun 1998 itu dipicu oleh penembakan terhadap mahasiswa-mahasiswa Trisakti, bukan semata-mata kenaikan harga BBM, tetapi sejatinya kita dapat melihat itu sebagai suatu rangkaian.
Apa yang ingin saya sampaikan dengan tulisan ini? Pemerintah datang dan pergi, yang berkuasa silih berganti, kalau sistemnya masih seperti sekarang, kita harus selalu siap menghadapi berulang-ulangnya masalah ini sampai pada tingkat di mana tidak ada lagi kebutuhan untuk memberikan subsidi. Dan entah kapan saat itu akan tercapai.
Pemerintah dari masa ke masa berusaha meringankan beban rakyat akibat kenaikan harga BBM dengan berbagai cara.
Salah satu aspek lain dari masalah ini adalah bahwa data obyektif menunjukkan sebagian besar subsidi itu justru dinikmati oleh lapisan masyarakat yang seharusnya mampu membeli menurut harga keekonomiannya. Menjadi sebuah ironi, dan dilema, bahwa upaya untuk menjamin keadilan sosial bagi masyarakat, melalui subsidi, telah menghasilkan bentuk ketidakadilan lain, yaitu masyarakat yang mampu justru lebih banyak menikmati subsidi itu.
Bantuan langsung tunai
Pemerintah dari masa ke masa berusaha meringankan beban rakyat akibat kenaikan harga BBM dengan berbagai cara. Pada masa Orde Baru, misalnya, dengan menaikkan daya beli mayoritas masyarakat dengan cara menaikkan harga gabah atau beras di tingkat petani.
Pada masa Reformasi sekarang ini diganti dengan program bantuan langsung tunai (BLT) yang konsepnya (unconditional cash transfer) juga telah diterapkan di negara-negara lain, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi dalam kebijakan pengalihan subsidi.
Sebagai catatan, ada berbagai skema cash transfer yang bersifat kondisional untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti untuk bahan-bahan pokok, untuk pendidikan atau kesehatan, atau mengatasi dampak bencana. Konsep ini, conditional cash transfer, pernah diberikan pada masa Orde Baru dengan mekanisme instruksi presiden (inpres), yaitu dengan inpres desa tertinggal (IDT) yang menggelontorkan dana hibah bagi penduduk di desa miskin sebagai modal usaha. IDT diluncurkan ketika saya menjadi Ketua Bappenas (1993-1998).
Tulisan ini mengajak kita untuk sepemahaman bahwa penyesuaian harga barang yang diatur (regulated) pemerintah, seperti juga harga minyak goreng yang kasusnya lebih khusus, acap kali tak bisa dihindari karena kita tidak hidup sendiri, tetapi menjadi bagian dari masyarakat dunia dan tak lepas dari dinamika ekonomi global yang tak bisa dijamin tak berfluktuasi karena satu dan lain sebab, baik akibat faktor geopolitik, geoekonomi, maupun faktor alam.
Tata kelola
Sebagai penutup, walau rasionalitas kenaikan harga BBM seperti yang sudah diuraikan di atas dapat diterima, masih ada problematika lain: efisiensi Pertamina sebagai BUMN. Produksi dan lifting minyak sampai saat ini belum mencapai target. Pengolahan minyak yang mengandalkan kilang-kilang tua membuat produksi tidak optimal.
Kilang terakhir yang dibangun di Balongan, Jawa Barat, umurnya sudah hampir 30 tahun, dibangun tahun 1990 dan beroperasi sejak 1994. Akibatnya, kapasitas pengolahan minyak tidak bisa memenuhi kebutuhan akan BBM setiap hari sehingga terjadi defisit, yang harus ditutup dengan impor. Di sini terletak salah satu faktor sumbatan karena acap kali transaksinya tidak cukup transparan.
Seperti sering dikemukakan, sebanyak 80 persen subsidi BBM salah sasaran karena dinikmati oleh bukan orang miskin.
Selain itu, distribusi BBM mengalami kebocoran. Seperti sering dikemukakan, sebanyak 80 persen subsidi BBM salah sasaran karena dinikmati oleh bukan orang miskin. Perusahaan-perusahaan besar masih menggunakan BBM bersubsidi (solar) untuk operasionalisasinya.
Perhatian kita haruslah ke sini, yaitu membangun governance (tata kelola) dalam pengelolaan BBM, mulai dari produksi, pengadaan, hingga tata laksana distribusi yang efisien, agar subsidi BBM benar-benar diterima oleh mereka yang membutuhkan dengan beban yang sekecil-kecilnya bagi negara dan masyarakat. Presiden Joko Widodo sudah berkali-kali mengingatkan agar Pertamina meningkatkan efisiensi supaya tujuan subsidi BBM tercapai.
(Ginandjar Kartasasmita, Menteri Pertambangan dan Energi 1988-1993)