Fenomena Manusia Massa dalam Kerusuhan Suporter Sepak Bola
Mengapa orang bisa kehilangan kontrol diri dan kesadarannya dalam suatu kerumunan, seperti saat menonton pertandingan sepak bola di stadion, sehingga hilang kendali dan tega melakukan tindakan destruktif dan kriminal?
Masih segar dalam ingatan kita semua, sukacita keberhasilan tim PSSI U-20 mengalahkan Vietnam dalam pertandingan real final pada Sabtu, 18 September lalu, yang membawa Indonesia lolos ke putaran final Piala Asia AFC U-20.
Tim asuhan Shin Tae-yong mampu tampil menarik dan menghibur sepanjang babak kualifikasi Grup H yang diselenggarakan di Gelora Bung Tomo, Surabaya. Suporter timnas menunjukkan dukungan hangat selama pertandingan dan pemandangan indah tersaji di akhir pertandingan.
Para suporter bersama pemain muda PSSI menyanyikan lagu ”Tanah Air” karya Ibu Soed. Serasa atmosfer dan energi positif dipancarkan para suporter Indonesia kala itu. Indonesia pun mendapat pujian FIFA. FIFA pun menuliskan di laman media sosialnya, ”Siapa yang sudah tidak sabar melihat kiprah Garuda Nusantara tahun depan di panggung Asia dan Dunia?”
Sayang, cerita indah dari Gelora Bung Tomo ini seperti tidak berdampak pada perilaku suporter sepak bola Tanah Air. Baru saja diberi pujian, kerusuhan sepak bola terjadi lagi.
Sabtu, 1 Oktober 2022, malam, sebanyak 125 korban meninggal, ratusan luka-luka, mayoritas pendukung Arema, akibat kerusuhan di Stadion Kanjuruhan! Tidak sedikit petugas keamanan yang luka-luka, beberapa gugur dalam tugas. Saat tulisan ini dibuat, angka yang meninggal, serta korban luka-luka dan kerugian material, masih terus dikonfirmasi.
Tragedi Kanjuruhan akan menjadi salah satu peristiwa kerusuhan yang menelan korban dalam jumlah besar di dunia sepak bola sejagat, melebihi kerusuhan di Hillsborough saat semifinal Piala FA, Liverpool vs Nottingham Forest, di 1989.
Tragedi Kanjuruhan seperti menjadi titik klimaks kerusuhan sepak bola yang rasanya tak pernah usai!
Tragedi Kanjuruhan seperti menjadi titik klimaks kerusuhan sepak bola yang rasanya tak pernah usai! Pada 12 September 2022, beberapa suporter PSM Makassar terluka terkena anak panah saat menonton PSM melawan Persebaya. Pada Agustus 2022, seorang suporter PSS Sleman meninggal dikeroyok pendukung PSIM Yogyakarta. Para tersangka pengeroyokan yang sudah dewasa usianya ini bisa terprovokasi seorang remaja.
Suka atau tidak, menonton pertandingan sepak bola boleh dikata masih jauh dari rasa aman dan nyaman. Cepat atau lambat, Indonesia akan dievaluasi oleh FIFA. Indonesia bisa terancam gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2023. Indonesia pun terancam dilarang bermain atau menjadi tuan rumah laga internasional dalam kalender FIFA ataupun AFC.
Berkaca kejadian di atas, kehilangan nyawa akibat menonton pertandingan sepak bola menunjukkan seberapa jauh manusia telah jatuh dari kemampuannya terhubung satu sama lain. Mengapa orang bisa kehilangan kontrol diri dan kesadarannya dalam suatu kerumunan sehingga hilang kendali dan tega melakukan tindakan destruktif dan kriminal?
Fenomena manusia massa
Menurut Gustav Le Bon, seorang ahli psikologi sosial, para pelaku dan korban kerusuhan sebenarnya tidak saling kenal, tetapi dengan mudah emosinya terlecut hanya karena terprovokasi identitas atau simbol-simbol dari sang lawan.
Penulis menyebut hal ini sebagai fenomena perilaku manusia massa. Manusia massa adalah perilaku sejumlah anggota kerumunan yang mengalami anonimitas atau tidak dikenalnya identitas diri dan berpotensi menampilkan perilaku barbar dan destruktif.
Identitas kelompok rentan menimbulkan konflik antarkelompok (intergroup conflict), antara kelompok kami (we-group) dan kelompok mereka (they-group). Jika ada gesekan, semisal akibat psywar, dengan mudah dianggap menyerang identitas dan harga diri kelompok.
Pertandingan Arema dan Persebaya sering dilukiskan tidak hanya melulu soal sepak bola, tetapi juga rivalitas antarkota, persaingan identitas budaya. Adagium Arema tidak boleh kalah dari Persebaya melecut emosi suporter Arema yang tak terima tim kesayangannya bisa kalah di Stadion Kanjuruhan pada derbi Jawa Timur. Suasana chaos pun tercipta, dan tragedi kemanusiaan ini pun terjadi!
Lalu, mengapa kerusuhan ini bisa melibatkan begitu banyak orang?
Lalu, mengapa kerusuhan ini bisa melibatkan begitu banyak orang? Le Bon mengatakan, pada sekumpulan orang dalam jumlah besar di suatu tempat (crowd), perilakunya mudah dikendalikan atau dikuasai ”jiwa kelompok” (group mind).
Kesadaran individu yang menurun karena situasi chaos dan rasa aman tidak ditemukan membuat kesadaran tak lagi rasional. Akibatnya, sekelompok manusia ini jadi impulsif, mudah terhasut provokasi (suggestible). Perilaku ini kemudian menyebar ke banyak orang (contagion) dan menjadikan situasi semakin tak terkendali.
Philip Zimbardo, ahli psikologi sosial lainnya, mengatakan yang terjadi pada perilaku kerumunan tersebut adalah ”deindividuasi”. Seseorang yang mengalami deindividuasi akan kehilangan identitas dirinya dan lebur dalam perilaku kelompok. Kedua mekanisme ini, ”jiwa kelompok” dan produk ”deindividuasi”, menurut penulis, penyebab fenomena ”manusia massa” dengan segala atributnya yang negatif.
Heryunanto
Mengatasi kekerasan kolektif
Sebuah eksperimen tentang deindividuasi dilakukan terhadap 1.352 anak di Seattle, AS. Mereka dibagi ke dalam dua kelompok dan diperbolehkan mengambil ”satu kue saja”. Di kelompok pertama, semua anggota saling dikenalkan nama dan asalnya. Di kelompok kedua, anggota tidak dikenalkan satu sama lain. Hasilnya, kelompok yang tak saling kenal atau kelompok dengan kondisi deindividuasi mengambil lebih dari satu kue, artinya kelompok ini berpotensi melakukan pelanggaran.
Sementara kelompok saling mengenal lebih mampu menahan diri mematuhi peraturan karena merasa terawasi oleh mereka yang kini menjadi temannya. Dari eksperimen di atas, penulis menyimpulkan anonimitas, penularan, dan sugestibilitas berinteraksi satu sama lain menyebabkan tingkah laku pelanggaran hukum/kerusuhan.
Kami merekomendasikan beberapa langkah untuk meredakan sisi gelap perilaku manusia massa. Pertama, dilakukan serangkaian upaya agar manusia massa, meski berada di dalam kelompok, bisa berubah menjadi individu yang berkesadaran.
Penulis meminta agar panitia pertandingan menerapkan standar keamanan tertinggi sesuai regulasi FIFA.
Pengurus suporter bisa merekayasa kondisi deindividuasi menjadi kondisi individuasi. Misalnya, kostum diberi identitas sesuai nama pemilik dan domisilinya. Kostum pendukung Arema yang berasal dari kawasan Malang Barat dengan tanda lengan biru. Aremania yang dari Malang Timur memakai lengan warna hijau, dan seterusnya. Intinya, dengan kostum itu, identitas suporter menjadi jelas dan hal ini akan menciptakan mekanisme kontrol diri.
Kedua, saat akan menonton pertandingan, setiap koordinator suporter diwajibkan menyampaikan daftar nama suporter kepada pihak terkait, untuk pengawasan dan pengamanan. Langkah berikutnya: menanamkan rasa hormat dan tetap mendukung tim kesayangannya apa pun hasil pertandingan.
Penulis sepakat dengan Caruso, Domizio, dan Savage (2015), yang mengatakan pentingnya mengurangi sumber agresivitas manusia massa yang berasal dari situasi lapangan.
Penulis meminta agar panitia pertandingan menerapkan standar keamanan tertinggi sesuai regulasi FIFA. Memastikan penonton yang masuk jelas identitasnya, mengatur tempat duduk sesuai kapasitas stadion. Memisahkan jalur masuk dan keluar stadion, dan memperbanyak pintu evakuasi.
Wasit harus adil dan percaya diri, dilengkapi peralatan penunjang, seperti VAR, guna mengurangi subyektivitas yang mudah membakar emosi pendukung tim yang bertanding.
Semoga harapan menonton sepak bola yang aman dan nyaman menjadi kenyataan, dan Indonesia tetap dipercaya sebagai tuan rumah Piala Dunia Junior FIFA tahun 2023.
(Enoch Markum Dewan Pembina Ikatan Psikologi Olahraga (IPO))