Seruan mobilisasi parsial oleh Presiden Putin mengiris rasa kemanusiaan kita mengingat perang di Ukraina telah berlangsung hampir tujuh bulan. Indonesia memiliki kesempatan emas dalam G20 untuk mewujudkan perdamaian.
Oleh
PROBO DARONO YAKTI
·5 menit baca
HERYUNANTO
Ilustrasi
Perang Rusia-Ukraina tidak kunjung usai. Pada 21 September 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin mengeluarkan Perintah Eksekutif kebijakan wajib militer bagi sekitar 300.000 warga negaranya. Imbasnya, di internal Rusia terjadi pro-kontra.
Ada sekelompok warga yang memilih mengkritik keras kebijakan itu, ada pula sekelompok lain yang memutuskan kabur ke negara tetangga. Termasuk kabur ke Georgia dan Finlandia yang bebas visa, di saat Lituania, Latvia, Estonia, dan Republik Ceko menolak untuk menerima warga negara Rusia yang mencari suaka. Sontak kebijakan ini mengundang seruan dari kepala negara dan kepala pemerintahan negara yang letaknya tidak jauh dari Rusia.
Histori mobilisasi parsial
Wajib militer yang diberlakukan Presiden Putin mengusung “mobilisasi parsial” pada daerah-daerah taklukan Rusia seperti Donetsk, Luhansk, Kherzon, dan Zaporizhzhia. Mobilisasi parsial yang dimaksud adalah dalam konteks mempersiapkan dan menyiagakan pasukan wajib militer untuk menduduki wilayah yang telah dikuasai secara efektif sebelumnya oleh pasukan militer.
Catatan sejarah menunjukkan Rusia telah melakukan mobilisasi pasukan pada tiga peristiwa besar. Pertama, pada saat Rusia menghadapi Jepang pada Perang Russo-Jepang tahun 1904. Pada perang ini Rusia memobilisasi pasukan dengan total. “Perang total” menjadi salah satu upaya Rusia dalam rangka menaklukkan Jepang yang pada waktu itu bangkit menjadi negara dengan kekuatan dominan di kawasan Asia.
Akibat mobilisasi tersebut, terdapat 700.000 jiwa penduduk Rusia yang berpartisipasi pada puncak perang. Kendati perang berakhir dengan kekalahan Rusia dan perjanjian damai Porthsmouth ditandatangani, Rusia mencoba menunjukkan supremasi sebagai kerajaan yang tidak lama kemudian menjadi Uni Soviet.
Kedua, pada saat Kerajaan Rusia memobilisasi pasukan dengan skala besar pada Front Timur Perang Dunia I. Rusia tampil sebagai negara pelindung Serbia setelah peristiwa penembakan Franz Ferdinand dari Sarajevo oleh Garvilo Princip.
Mobilisasi tersebut tidak bertahan lama mengingat pada 1917 Kerajaan Rusia memasuki periode Revolusi Oktober dan mengalami perang sipil yang memecah negara tersebut dalam dua faksi, yakni republikan dan komunis. Artinya, secara singkat mobilisasi pasukan Rusia tidak mencapai tujuan perang mengingat terdapat kondisi perpolitikan internal yang tidak kondusif.
Kondisi juga memburuk dengan kepemimpinan Tsar yang mulai mendapatkan kritik sejak 1915, gagal dalam memegang tampuk komando langsung pasukan militer kerajaan, dan pada akhirnya berakhir dengan kudeta oleh kelompok nasionalis patriotik.
Ketiga, pada saat awal Perang Dunia II, Rusia yang tergabung dalam Blok Sekutu bersama dengan Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan negara-negara yang lain berusaha bertahan dari serangan Jerman akibat negara panser tersebut melanggar pakta non-agresi Molotov-Ribbentrop. Mobilisasi tidak lantas dilakukan secara penuh sebagaimana dilakukan kepada Rusia pada Perang Dunia I, melainkan mengerahkan secara bertahap pasukan-pasukan Rusia untuk mengecoh Hitler, sembari menunggu tahun 1942 pemimpin Uni Soviet Josef Stalin merasa siap untuk memukul balik pasukan Nazi Jerman.
Terbukti pada 1941, pasukan Soviet yang semula 5,5 juta orang, berlipat ganda pada 1942 menjadi 9,3 juta orang. Ini sangat efektif untuk mengungguli jumlah pasukan Nazi Jerman yang hanya bertahan di kisaran 3,7 juta orang di waktu yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa upaya “mobilisasi parsial” dari Uni Soviet berjalan dengan mulus.
KOMPAS
Rusia Mobilisasi 300.000 Pasukan Cadangan ke Ukraina
Solusi damai ditunggu khalayak global
Fakta mengenai perang dan histori mobilisasi parsial Rusia di atas tidak dapat menutup mata kita terhadap dampak kerusakan yang dahsyat pada skala yang cukup luas. Belum lagi perang antara Rusia dengan Ukraina telah berjalan hampir tujuh bulan sejak Februari lalu dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir.
Jalan berliku-liku telah ditempuh berbagai pihak dalam meredam dampak perang, termasuk yang diupayakan Pemerintah Indonesia melalui lawatan Presiden Jokowi pada Juli lalu ke dua negara yang sedang seteru.
Di tengah ketidakpastian situasi internasional yang terjadi, peran sentral sangat diperlukan, terutama sekali kepeloporan untuk menjadi pencipta perdamaian internasional.
Namun sangat disayangkan, sampai saat ini upaya-upaya yang telah dilakukan belum mengindikasikan jalan perdamaian untuk sekaligus meredam impak perang yang melibas pelbagai sektor perekonomian global. Gelombang resesi ekonomi mulai dirasakan dan krisis energi akibat suplai yang terhambat pun luput dengan kalkulasi geopolitik. Adapun negara-negara yang ikut campur dalam perang turut memperparah keadaan dengan berlomba memantik provokasi, bermain narasi di media, dan saling menjatuhi sanksi.
Di tengah ketidakpastian situasi internasional yang terjadi, peran sentral sangat diperlukan, terutama sekali kepeloporan untuk menjadi pencipta perdamaian internasional. Indonesia sebagai Presiden G20 pada 2022 ini menjadi pusat perhatian dunia internasional, mengingat politik luar negerinya yang bebas aktif dan memiliki fondasi preambul konstitusi yang sangat tegas untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Imaji Indonesia akan kondisi dunia adalah tertib sosial-politik yang berdasarkan keteraturan (order).
Sebagai tawaran solusi, Indonesia memiliki kesempatan emas dalam G20 ke depan. Pertama, bagaimana menawarkan ruang terbuka untuk berdialog secara terpisah dalam sesi bilateral. Kedua, mengadakan sesi khusus dengan Presiden Rusia, Ukraina, dan juga Amerika Serikat yang dalam berbagai aspek memainkan peran kunci di dalam perang Rusia-Ukraina.
Dalam sesi khusus ini Indonesia dapat diposisikan sebagai negara yang menjadi poros dalam perwujudan perdamaian internasional. Hal ini dapat menyempurnakan lost in translation yang agaknya timbul saat Presiden Jokowi melawat ke kedua negara pada Juli lalu. Dengan demikian Indonesia kapabel untuk menyetop dampak perang yang lebih masif terhadap perekonomian global dan menghindari eskalasi intensitas perang yang mengoyak rasa kemanusiaan kita. Semoga.
Probo Darono Yakti, Dosen Hubungan Internasional FISIP Unair, Deputi Direktur Program Emerging Indonesia Project
