Aneka Pertanyaan tentang FIR
Ada yang janggal dengan perjanjian FIR antara Indonesia dan Singapura. Saat ini beredar luas isi perjanjian FIR, ternyata sebagian wilayah pada FIR yang diambil alih Indonesia masih akan tetap dikuasai Singapura.
Belakangan banyak sekali pertanyaan muncul tentang wilayah informasi penerbangan atau flight information region (FIR). FIR dimaksud adalah mengenai FIR Singapura. FIR Singapura muncul ke permukaan karena mencakup wilayah teritorial kedaulatan NKRI.
Pengertian sederhana tentang FIR Singapura adalah wilayah udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna yang berada di bawah kendali pengelolaan otoritas penerbangan Singapura. Hal ini berlangsung dan tertuang dalam agreed minutes atau notula dari South East Asia Regional Air Navigation Meeting (SEA RAN Meeting) 1948.
Walaupun sudah merdeka tahun 1945, Indonesia belum menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) sehingga yang terjadi adalah perjanjian antara otoritas penerbangan kolonial Inggris dan otoritas penerbangan Hindia Belanda. Bisa dikatakan ini adalah batas FIR Batavia dengan FIR Singapura, ”warisan” otoritas penerbangan kolonial Inggris di Singapura dan otoritas penerbangan kolonial Belanda di Indonesia.
Dengan kondisi yang seperti itu, beberapa kesulitan dihadapi dalam penerbangan operasi dan latihan pesawat terbang Indonesia. Dalam hal ini, operasi penerbangan Indonesia di wilayah udara tersebut menghadapi banyak keterbatasan yang menyulitkan, bahkan merugikan.
Lebih jauh lagi, berkaitan dengan penerbangan latihan dan operasi pesawat terbang TNI, terutama Angkatan Udara, di wilayah tersebut. Sebuah wilayah yang berbatasan dengan banyak negara dan memiliki potensi konflik yang sangat besar.
Intinya, kondisi itu telah menyulitkan pelaksanaan penerbangan di wilayah udara kedaulatan kita, alias sulit bergerak di rumah sendiri, terutama dalam rangka menjaga keamanan nasional.
Sekadar contoh, di perairan kawasan itu tak pernah berhenti muncul masalah penyelundupan manusia, pencurian ikan dan kekayaan laut Indonesia oleh pihak asing. Sebuah kawasan yang sangat memerlukan pengawasan ketat, terutama dari udara. Intinya, kondisi itu telah menyulitkan pelaksanaan penerbangan di wilayah udara kedaulatan kita, alias sulit bergerak di rumah sendiri, terutama dalam rangka menjaga keamanan nasional.
Pada sisi lain, pesawat terbang asing dapat dengan mudah memasuki wilayah udara kedaulatan Indonesia tanpa izin karena dengan mudah memperoleh clearance dari otoritas penerbangan Singapura.
Hal yang cukup sering terjadi adalah pesawat terbang Angkatan Udara RI berhasil menggagalkan penerbangan liar tanpa izin. Sudah telanjur masuk teritori Indonesia karena diizinkan oleh otoritas penerbangan Singapura. Rekaman peristiwa pelanggaran ini banyak tersimpan di ruang operasi Komando Operasi Udara Nasional Angkatan Udara (Koopsudnas AU).
Sebenarnya pada dokumen (Arsip Nasional Belanda) hasil SEA RAN Meeting tahun 1948 sudah tercantum komitmen Pemerintah Inggris di Singapura kepada Pemerintah Belanda di Jakarta. Dalam pertemuan itu Pemerintah Belanda berkeberatan atas masuknya sebagian ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Kepulauan Natuna ke pengelolaan FIR Singapura.
Berikutnya harus ada jaminan bahwa kendali lalu lintas penerbangan militer harus dilakukan melalui ATC Militer di Tanjung Pinang. Demikian pula ATC Singapura harus menjamin suatu block clearance untuk memprioritaskan penerbangan militer di wilayah Indonesia.
Terakhir, pengoperasian fasilitas SAR di wilayah Riau dalam FIR Singapura tetap dilaksanakan oleh militer Belanda di wilayah Indonesia. Itu adalah komitmen hitam di atas putih yang tercantum dalam dokumen RAN Meeting tahun 1948.
Perkembangan yang terjadi
September 2015, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar FIR yang selama ini dikuasai Singapura segera diambil alih dan meminta kementerian terkait mempersiapkan peralatan dan personel untuk mengelola ruang udara itu.
Selanjutnya, pada bulan yang sama, September 2022, keluar penjelasan Presiden bahwa dengan penandatanganan perjanjian FIR, ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh wilayah udara teritorial Indonesia, terutama di perairan sekitar Kepulauan Riau dan Kepulauan Natuna. Saat ini yang beredar luas tentang isi perjanjian FIR antara lain bahwa sebagian wilayah pada FIR yang kini diambil alih Indonesia masih akan tetap dipegang atau dikuasai Singapura.
Pelayanan jasa penerbangan (PJP) di ketinggian 0-37.000 kaki didelegasikan kepada otoritas penerbangan Singapura selama 25 tahun ke depan dan akan diperpanjang. Mengamati isi perjanjian, sangat jelas terdapat banyak ketidaksesuaian antara instruksi dan penjelasan Presiden dengan yang tercantum dalam perjanjian.
Mengamati isi perjanjian, sangat jelas terdapat banyak ketidaksesuaian antara instruksi dan penjelasan Presiden dengan yang tercantum dalam perjanjian.
Banyak pertanyaan muncul, antara lain mengapa harus didelegasikan dan mengapa harus 25 tahun dan diperpanjang. Pendelegasian kewenangan mengelola PJP terkait dengan kemampuan otoritas penerbangan Indonesia yang mungkin dinilai tidak atau belum mampu.
Untuk itu, jawabannya sederhana sekali karena bisa dilihat dari hasil audit keselamatan penerbangan internasional yang dilakukan dalam rangka universal safety oversight audit programme (USOAP) oleh ICAO pada 2017. Dinyatakan, nilai efektivitas implementasi Indonesia mencapai 81,15 persen, yang berarti jauh di atas rata-rata negara lain di dunia yang 62 persen. Artinya, Indonesia tak hanya mampu mengelola PJP, tetapi juga memiliki kemampuan jauh melampaui rata-rata dunia.
Di samping itu, AirNav Indonesia sebagai penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan menyatakan kemampuan mereka dalam pengambilalihan FIR Singapura. Dengan demikian, klaim ketidakmampuan Indonesia menjadi tidak valid.
Alasan berikutnya mengapa harus didelegasikan adalah karena padatnya lalu lintas masuk-keluar Singapura ke dan dari Indonesia sehingga PJP harus didelegasikan ke Singapura.
FIR Singapura-Malaysia
Pada kenyataannya, kepadatan traffic jauh lebih banyak berada pada jalur penerbangan ke dan dari utara Singapura yang berbatasan dengan Malaysia.
Pada kawasan ini justru batas FIR Singapura dan Malaysia sama dan sebangun dengan batas teritori kedua negara, yang artinya tak ada FIR Singapura di Malaysia yang traffic-nya jauh lebih padat. Dengan demikian, alasan kepadatan traffic menjadi gugur dengan sendirinya.
Selanjutnya, mengapa harus 25 tahun dan diperpanjang? Sangat masuk akal bahwa setiap perubahan perlu masa transisi untuk penyesuaian. Akan tetapi, masa 25 tahun dan diperpanjang terasa agak aneh dan mengundang pertanyaan juga.
Pertama, hal itu melanggar UU Penerbangan Nomor 1/2009, yang salah satu pasalnya menyebutkan bahwa pendelegasian wilayah udara sudah harus berakhir tahun 2024, yaitu 15 tahun setelah UU itu diundangkan. Dua atau tiga tahun kelihatan sangat masuk akal karena rentang waktu 25 tahun dan diperpanjang dapat pula memunculkan persepsi keliru.
Pendelegasian untuk 25 tahun dan diperpanjang bisa diartikan kita tak akan mengerjakan apa pun selama itu. Kita hanya akan menikmati pengelolaan PJP yang dikerjakan Singapura selama 25 tahun plus-plus. Lalu bagaimana nasib inpres penyiapan personel dan peralatan dalam proses pengambilalihan FIR Singapura?
Akan tetapi, masa 25 tahun dan diperpanjang terasa agak aneh dan mengundang pertanyaan juga.
Masih ada beberapa pertanyaan lain dari ketidaksesuaian antara instruksi dan penjelasan Presiden dengan isi dari perjanjian. Salah satunya lagi, mengapa perjanjian FIR dikaitkan dengan perjanjian ekstradisi. Ini seolah menunjukkan bahwa apabila masalah FIR tak disetujui, perjanjian ekstradisi tak akan disetujui pula.
Metode itu dapat saja terlihat sebagai sebuah tindakan yang kurang memberikan penghargaan pada nilai persahabatan antarbangsa dan penghormatan pada spirit ASEAN.
Mudah-mudahan aneka pertanyaan yang muncul ini dapat segera terjawab dengan penjelasan yang lebih rinci lagi tentang apa sebenarnya yang telah dicapai oleh kerja keras kita selama ini dalam memperjuangkan kedaulatan negara di udara dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemerdekaan Republik Indonesia.
Chappy Hakim, Pusat Studi Air Power Indonesia