Andaikan Indonesia Tanpa Frans Seda
Sulit membayangkan Indonesia yang ada saat ini tanpa apa yang pernah dilakukan Frans Seda. Banyak orang menyebutnya sebagai putra Flores yang membenahi keuangan Indonesia. Ia meninggalkan banyak artefak dan warisan.
Di tengah isu yang sengaja ditebar polisi rahasia Belanda di kalangan gereja Katolik di Flores tentang tokoh beraliran komunis-marxis yang tengah dibuang dan penolakan pimpinan sekolah, Soekarno tetap membulatkan tekad untuk mengunjungi sebuah sekolah Katolik.
Akhirnya pimpinan Sekolah Rakyat (Schakelschool) Ndao, Ende, menerima kunjungan Soekarno dengan hanya menyiapkan penyambutan sederhana. Seorang murid berusia sembilan tahun bertubuh kecil menyampaikan pidato sambutan dalam bahasa Belanda yang sempurna dengan isi yang berbobot. Soekarno yang berusia 30 tahun terkesan dengan anak yang kemudian diketahuinya merupakan anggota keluarga kapiten di Maumere.
Membenahi perkebunan
Siapa anak tersebut? Tak lain adalah Franciscus Xaverius Seda, yang lebih dikenal sebagai Frans Seda. Reuni resmi Soekarno dan Frans Seda kembali terjadi pada Juni 1964 saat Soekarno sebagai Presiden Indonesia melantik Frans Seda sebagai Menteri Perkebunan RI dalam Kabinet Kerja IV.
Suatu posisi yang sangat strategis bagi Frans Seda yang saat itu baru berusia 38 tahun, mengingat sektor perkebunan yang sebagian besar merupakan hasil nasionalisasi perusahaan- perusahaan Belanda merupakan sektor utama pendukung keuangan negara saat itu.
Kiprah Frans Seda sejak bersekolah ataupun keterlibatan dalam gerakan mendukung Indonesia merdeka, mulai di Muntilan, Surabaya, hingga Belanda—juga pendidikan yang dikenyam—memberikan kemampuan kepada Frans Seda untuk menyusun konsep.
Dengan cepat Frans Seda menjadi salah satu menteri kepercayaan Soekarno.
Apalagi, sebelum menjadi menteri, ia adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, serta Ketua Umum Partai Katolik Indonesia (Parkindo).
Dengan cepat Frans Seda menjadi salah satu menteri kepercayaan Soekarno. Ia mengonsolidasikan sektor perkebunan yang saat itu sebagian dikuasai beberapa faksi militer dan sebagian masih milik asing sebagai aset utama negara. Ia mengalihkan pelelangan tembakau ke Bremen, Jerman, dan membentuk joint venture dalam bidang pemasaran tembakau.
Perusahaan asing masih boleh eksis, tetapi tenaga kerja asing harus segera dialihkan ke tenaga kerja Indonesia. Dengan tegas ia menolak proyek Nasakomisasi perkebunan negara. Soekarno betul-betul memercayai Frans Seda, hingga setiap Sabtu pagi dia harus menyiapkan amplop-amplop berisi uang untuk disampaikan Soekarno sebelum Soekarno pada menjelang sorenya akan incognito ke para istri dan membagikan amplop-amplop itu.
Mendirikan ”Kompas”
Pada 1965, Frans Seda ditelepon Jenderal Achmad Yani yang mendesak agar Partai Katolik menginisiasi koran partai untuk mengimbangi koran milik PKI yang dominan saat itu.
Gagasan Yani ini kemudian dibawa Frans Seda dalam pembicaraan di kalangan pimpinan Partai Katolik yang memang pada 1964 pernah memiliki gagasan untuk menerbitkan koran Gagasan Baru sebagaimana usulan Mgr A Soegijapranata. Frans Seda kemudian mengajak bertemu IJ Kasimo, PK Ojong, dan Jakob Oetama.
Di tengah optimisme dan pesimisme, akhirnya mereka bersepakat mendirikan Yayasan Bentara Rakyat yang akhirnya menerbitkan Kompas pada 28 Juni 1965, sebuah nama koran yang diberikan langsung oleh Soekarno setelah mendapatkan izin terbit dari Kodam V Jaya.
Pasca-Peristiwa 1965, Presiden Soekarno tersingkir. Pangkostrad Jenderal Soeharto dengan mandat Supersemar dilantik menjadi presiden. Soeharto mempertahankan Frans Seda untuk tetap menjadi Menteri Perkebunan RI.
Saat ditunjuk Soeharto menjadi menteri, Frans Seda datang melapor kepada Soekarno, tokoh yang ia idolakan sejak kecil.
Bukan hanya itu, Soeharto juga menambahi Frans Seda dengan pekerjaan tambahan sebagai Menteri Perburuhan ad interim. Atas inisiatif Frans Seda, Departemen Perburuhan kemudian diganti menjadi Departemen Tenaga Kerja (sekarang: Kementerian Tenaga Kerja).
Saat ditunjuk Soeharto menjadi menteri, Frans Seda datang melapor kepada Soekarno, tokoh yang ia idolakan sejak kecil. ”Saya menghormati dan setia kepada Bapak, sekarang saya diminta Presiden Soeharto untuk membantu beliau. Saya izin melaksanakan amanat beliau karena tujuan saya adalah melayani bangsa, negara, dan Tanah Air,” ujar Frans Seda.
Tak lama kemudian ia mendapat tugas baru dari Soeharto, yaitu sebagai Menteri Pertanian. Departemen-departemen yang tadinya berdiri sendiri, seperti pertanian, agraria, perkebunan, kehutanan, perikanan yang sebetulnya tergabung dalam kompartemen pertanian dan agraria, disatukan Frans Seda dalam satu departemen, yakni Departemen Pertanian.
Dengan cepat, ia merehabilitasi kembali Bimas dan mengundang Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) untuk membantu Indonesia meningkatkan pangan.
”Pahlawan Keuangan”
Menjelang Sidang MPRS 5 Juli 1966, Frans Seda diminta Soeharto untuk berkeliling mendatangi negara-negara kreditor di Eropa Barat guna menjajaki penyelesaian utang lama dan pemberian kredit baru. Inisiatif yang dilakukan Frans Seda lalu memunculkan kebijakan pembentukan Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) yang diketuai Belanda.
Pemerintahan Soeharto mewarisi tumpukan masalah warisan pemerintahan Soekarno. Frans Seda bertugas untuk mengurai semua benang kusut yang ada. Mulai dari mengendalikan laju inflasi, meningkatkan nilai rupiah, hingga membenahi ekonomi nasional yang amburadul.
Ia mengenalkan sistem anggaran berimbang, yakni semua pendapatan harus masuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan semua pengeluaran melalui APBN.
Yang menarik, Frans Seda yang alumnus Universitas Katolik Tilburg, Belanda, dalam mengimplementasikan kebijakan yang dibuatnya mendapat bantuan dari teknokrat pakar ekonomi yang notabene adalah lulusan AS, yang lazim disebut sebagai kelompok Berkeley.
Layak jika Prof Emil Salim menyebut Frans Seda sebagai ”pahlawan keuangan Indonesia”.
Selama menjadi Menteri Keuangan, Frans Seda juga berhasil mengegolkan Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing, UU Penanaman Modal Dalam Negeri, dan UU Pokok Perbankan, merombak etatisme dalam ekonomi dengan mengadakan deregulasi, debirokratisasi, dekonsentrasi, desentralisasi.
Begitu banyak pembenahan sistem keuangan Indonesia yang berhasil dilakukannya. Layak jika Prof Emil Salim menyebut Frans Seda sebagai ”pahlawan keuangan Indonesia”.
Pada 1968 Presiden Soeharto menunjuk Frans Seda menjadi Menteri Perhubungan (pengangkutan, komunikasi, pariwisata) dalam Kabinet Pembangunan I. Berbagai kebijakan dan pembenahan dibuat Frans Seda.
Ia, antara lain, menyatukan seluruh kegiatan perhubungan (laut, darat, udara, dan telkom) dalam satu kebijakan nasional yang terpadu dan mengembalikan penguasaan sektor perhubungan di tangan sipil. Selain itu, mengintroduksikan angkutan laut dan udara perintis bagi daerah-daerah terpencil, khususnya di Indonesia bagian timur.
Hal lain adalah mengintroduksi rencana pengembangan pariwisata dan penentuan Bali sebagai pusat pengembangan pariwisata Indonesia, menginisiasi dan merencanakan pembangunan Bandar Udara Soekarno-Hatta di Cengkareng, membentuk Otorita Pulau Batam, dan menentukan daerah Nusa Dua sebagai daerah pengembangan sarana turis internasional dan membentuk BTDC Nusa Dua.
Membaca kembali rekam jejak Frans Seda, terlihat jelas bahwa sosoknya selalu hadir di setiap pemerintahan, siapa pun yang menjadi presiden. Saat BJ Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto, Frans Seda dipercaya menjadi penasihat presiden untuk bidang ekonomi.
Ketika Pemerintah Indonesia mendapat tekanan internasional terkait Timor Timur, Habibie mengutus Frans Seda untuk menemui para tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Frans Seda tengah menjalankan tugasnya di Dili saat Jakarta memutuskan untuk memberikan opsi referendum kepada Timor Timur. Sebuah keputusan yang tak pernah disampaikan secara langsung oleh Habibie yang memberinya penugasan. Ia hanya mengetahui dari tayangan televisi.
Artefak dan warisan Seda
Sulit membayangkan Indonesia yang ada saat ini tanpa apa yang pernah dilakukan Frans Seda. Banyak orang menyebutnya sebagai putra Flores yang membenahi keuangan Indonesia. Bukan hanya itu, pada setiap penugasan, selain sukses melaksanakannya, Frans Seda juga melahirkan berbagai inovasi dan membangun sistem. Ia meninggalkan banyak artefak dan warisan.
Di hampir setiap situasi krisis yang dihadapi Indonesia, Frans Seda selalu tampil dan menawarkan langkah solusi. Jangan kaget apabila ia tak setuju dan mencoba menghalangi Presiden Soeharto agar tak menandatangani letter of intent (LoI) yang ditawarkan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Michel Camdessus pada 15 Januari 1998.
Di hampir setiap situasi krisis yang dihadapi Indonesia, Frans Seda selalu tampil dan menawarkan langkah solusi.
Foto Frans Seda yang tengah meloncati pagar di Kementerian Keuangan yang menjadi foto headline sebuah media nasional keesokan harinya menunjukkan hal tersebut.
Pada Mei 1998, ia adalah tokoh yang memerintahkan agar pagar kampus Unika Atma Jaya dibuka agar mahasiswa yang digiring ke luar dari kompleks Gedung MPR/DPR bisa masuk dan selamat.
Frans Seda, yang lahir 4 Oktober 1926, dipanggil Sang Khalik pada 31 Desember 2009. Andaikan masih hidup, ia kini berusia 96 tahun, seusia dengan Ratu Elizabeth II yang meninggal pada 8 September lalu.
Kesuksesan Frans Seda menjalani berbagai peran untuk Republik Indonesia tak lain lebih dikarenakan ia memiliki keunggulan, memiliki konsep (keilmuan), memahami konteks (praksis keilmuan yang dimiliki diterapkan sesuai konteks yang ada), serta memiliki jejaring (yang bersifat lintas agama, lintas kepentingan, dan jaringan internasional).
Empat hal keutamaan ini menjadi perpaduan dan ketersilangan yang istimewa dalam diri Frans Seda, yang hingga akhir hayatnya tidak berhenti mengabdi untuk Tanah Air dan Tuhan.
(Stanley Adi PrasetyoKetua Dewan Pers 2016-2019)