Wacana UU KKR dan Rekonsiliasi Kultural
Beban sejarah belum juga dapat dilupakan dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Perjalanan pahit dapat menjadi ”beban sejarah”. Rekonsiliasi jalan terbaik untuk bisa jalan terus ke depan tanpa dihantui masa lalu.
Wacana penyusunan kembali Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau RUU KKR digaungkan lagi. Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No 17 Tahun 2022 tentang pembentukan tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Tim punya masa kerja hingga 31 Desember 2022.
Upaya penyelesaian kasus HAM berat pada masa lalu ini sebenarnya sejak reformasi 1998 telah dilakukan lewat rekonsiliasi politik, melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, juga pengadilan internasional, serta berbagai upaya melalui rekonsiliasi struktural.
Berbagai upaya dilakukan untuk menuju rekonsiliasi struktural itu, tetapi upaya-upaya itu kian memperkuat pertentangan dalam masyarakat di antara mereka yang pro dan kontra. Harapan untuk saling memaafkan pun mengalami kebuntuan.
Gagalnya rekonsiliasi struktural
Pada masa reformasi, RUU KKR mulai diwacanakan. Para mantan tahanan politik (tapol) dan narapidana politik (napol) Orde Baru mendorong pemerintah saat itu untuk melakukan rekonsiliasi nasional, dan kemudian dibentuklah Tim Rekonsiliasi Nasional. Kasus pelanggaran HAM, jika tidak diselesaikan, akan menghambat pembangunan karena hal itu tercatat dalam pikiran dan sejarah masyarakat Indonesia.
Kasus pelanggaran HAM, jika tidak diselesaikan, akan menghambat pembangunan karena hal itu tercatat dalam pikiran dan sejarah masyarakat Indonesia.
Proses rekonsiliasi tidak akan memuaskan semua pihak. Akan tetapi, dengan proses ini, semua pihak dapat jujur dan berdamai dengan masa lalu sehingga dapat sedikit mengobati luka hati masyarakat. Hal itu akan lebih baik lagi jika pemerintah atau pihak yang dinilai bertanggung jawab dapat memberikan ganti rugi (Kompas, 1998). Namun, upaya tersebut belum juga berhasil dilaksanakan.
Pada pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilakukan kembali upaya untuk melakukan rekonsiliasi. Gus Dur mewacanakan mencabut Tap MPRS/ XXV/1966 sekaligus menyampaikan permohonan maaf secara terbuka kepada para mantan tapol 1965.
Wacana itu mendapat reaksi keras dari sebagian masyarakat sehingga Gus Dur meminta maaf kepada para mantan tahanan politik atas nama pribadi, bukan atas nama pemerintah. Namun, salah satu mantan tapol 1965, Pramoedya Ananta Toer, menolak permintaan maaf atas nama pribadi itu. Pramoedya menginginkan Gus Dur meminta maaf atas nama pemerintah dan negara.
Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri muncul kembali desakan dari para mantan tapol perempuan 1965 untuk mencabut Tap MPRS No XXV/ MPRS/1966 dan memberikan rehabilitasi nama baik kepada mereka. Pencabutan dipandang oleh mereka sebagai langkah awal untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional sebab Tap MPRS itulah yang menyebabkan mereka senantiasa dicurigai masyarakat luas. Permasalahan yang masih tersisa dari pemerintahan Megawati adalah bahwa UU KKR yang telah dirancang sejak masa BJ Habibie belum menemukan kejelasan.
Sementara itu, pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, UU KKR tersebut telah disahkan, tetapi beberapa aktivis dan mantan tapol 1965 menolak beberapa pasal yang dianggap tidak memihak pada korban sehingga mengakibatkan dicabutnya UU KKR ini melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Terhentinya rekonsiliasi struktural itu mendorong para mantan tapol 1965 melakukan upaya lain demi mendapatkan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi. Mereka kemudian melakukan somasi kepada lima presiden dan melakukan class action.
Baca juga : Tim Non-yudisial Kasus HAM Dinilai Memanipulasi Keadilan bagi Korban
Baca juga : Antara Santunan dan Pengungkapan Kebenaran
”Class action”: mencari keadilan
Tak adanya respons terhadap somasi yang diajukan kepada lima presiden, yaitu Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Yudhoyono, mendorong para mantan tapol 1965 mencari jalan lain untuk mencari keadilan. Mereka yang berasal dari Manado, Blitar, Surabaya, Solo, Yogyakarta, Jakarta, Blora, Purwakarta, Banyuwangi, dan Jember datang ke Puncak, Bogor, untuk mendiskusikan perihal gugatan itu.
Mereka kemudian melakukan gugatan class action. LBH Jakarta membantu untuk mengawal proses class action. Sebelum era Reformasi, LBH Jakarta telah menerima beberapa laporan dari tapol atau napol peristiwa G30S.
Sejak 2002, LBH Jakarta mulai mengumpulkan data beberapa laporan terkait peristiwa tersebut. Puncak advokasi LBH Jakarta terhadap tapol/napol yang mengadu terjadi pada 2004. Dalam beberapa rapat tim hukum saat itu disimpulkan bahwa gugatan yang diajukan satu per satu orang per orang akan menyita waktu lama sehingga diputuskan gugatan diajukan dalam bentuk kolektif. Langkah yang memungkinkan ialah mengajukan gugatan class action atau gugatan perwakilan kelompok ke pengadilan negeri.
LBH Jakarta mengidentifikasi apa yang menjadi permintaan para mantan tapol 1965. Kebanyakan dari mereka menginginkan pemulihan nama baik dan ganti rugi ketika mereka tak pernah diadili secara hukum, lalu masuk penjara. Juga kerugian terhadap pekerjaan yang hilang dan pemecatan karena tidak lolos bersih lingkungan. Karena jumlahnya banyak, akhirnya diputuskan untuk mengambil jalur gugatan perwakilan kelompok stigmatisasi PKI. Pihak yang menggugat tak hanya tapol/napol, tetapi juga keturunannya.
Beberapa tokoh yang aktif dalam pengajuan gugatan class action adalah Tjasman Setyo Prawiro, Koesalah Soebagio Toer, Pramoedya Ananta Toer, Nani Nurani Affandi, Utati Koesalah Soebagio Toer, dan Mudjiati.
Tak ada data yang pasti terkait jumlah total korban stigma PKI. Tempo memberitakan sekitar tiga atau empat juta orang menjadi korban. Referensi itu digunakan LBH untuk menentukan berapa jumlah mantan tapol/napol dan keturunannya. Setelah dikalkulasikan dengan keluarga, muncul angka 20 juta korban yang terdiri dari korban terdampak langsung dan tidak berdampak langsung, yaitu keluarganya.
Para mantan tapol percaya untuk memberikan kuasa kepada LBH karena melihat rekam jejak LBH Jakarta dalam menangani kasus struktural lainnya.
Hal itu mendorong keyakinan dari para mantan tapol bahwa LBH Jakarta mampu membantu mengembalikan hak-hak mereka. LBH Jakarta sebagai pihak yang diminta bantuan untuk melakukan advokasi juga melakukan riset terhadap kejadian-kejadian, jumlah kerugian, pihak yang mewakili, dan cara menghitung kerugian.
Penghitungan kerugian menggunakan asumsi kenaikan harga emas. LBH Jakarta juga menyelidiki daluwarsa dari sebuah kasus. Daluwarsa terjadi apabila korban dari sebuah kasus yang terjadi tidak melakukan gugatan apa pun.
Hal itu mendorong keyakinan dari para mantan tapol bahwa LBH Jakarta mampu membantu mengembalikan hak-hak mereka.
Kasus stigmatisasi peristiwa G30S tidak dianggap daluwarsa karena beberapa korban telah banyak melayangkan gugatan dan protes, dan kasus ini terkait dengan rehabilitasi nama baik. LBH Jakarta menindaklanjuti dengan melakukan focus group discussion secara intens dengan para mantan tapol 1965 langsung ataupun tak langsung untuk menyiapkan bahan-bahan materi gugatan.
Mereka kemudian mengajukan gugatan class action. Class action itu menggugat pemerintah untuk memenuhi tuntutan mereka. Tuntutan tersebut antara lain agar pemerintah merehabilitasi nama baik dan menghapus stigmatisasi, memberikan ganti rugi kepada para PNS, ABRI, dan pegawai BUMN yang menjadi tapol G30S atas uang pensiun yang tidak mereka terima, dan pemecatan secara tidak hormat oleh negara, serta pemulihan hak-hak sebagai warga negara.
Di samping itu, mereka juga menuntut pencabutan semua peraturan yang selama ini sudah mendiskriminasi, seperti tanda ET di KTP. Mereka juga menginginkan pencabutan Tap MPRS No XXV Tahun 1966. Gugatan itu didaftarkan dan diterima panitera Pengadilan Negara Jakarta Pusat, dengan nomor perkara 238/SK/LBH/III/2005.
Para korban didampingi kuasa hukum dari LBH Jakarta. Namun, gugatan class action itu juga ditolak Pengadilan Tinggi Negara karena dianggap tidak tepat. Seharusnya gugatan itu dilakukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
Antara ingatan dan melupakan
Beban sejarah belum juga dapat dilupakan dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Perjalanan sejarah anak manusia, bangsa, dan negara sering kali diliputi oleh peristiwa sejarah yang tidak menyenangkan, pahit, dan gelap. Perjalanan pahit dapat menjadi ”beban sejarah” (Azyumardi Azra: Kompas, 2022).
Setiap tanggal 30 September, kita diingatkan kepada sejarah kelam yang menyedihkan bagi bangsa Indonesia. Bagi mantan tapol peristiwa Gerakan 30 September 1965, seharusnya sudah tidak ada lagi persoalan ketika mereka kembali dan hidup berbaur dalam masyarakat.
Kebijakan pemerintah dengan memberikan pembekalan kepada mereka untuk dapat hidup berdampingan dengan masyarakat telah mereka jalani.
Namun, bagi mantan tapol 1965 dan keluarganya, beban sejarah itu masih jadi persoalan. Berbagai upaya pun dilakukan untuk mewujudkan rekonsiliasi struktural meski itu tak mudah. Para mantan tapol perempuan 1965 kemudian membangun ruang sebagai wadah untuk mewujudkan rekonsiliasi kultural melalui ekspresi budaya.
Mereka menampilkan berbagai seni pertunjukan sebagai wadah komunikasi mereka agar mereka dapat diterima masyarakat melalui reproduksi budaya. Cara ini digunakan untuk memaknai dan menawarkan narasi baru terhadap sejarah mereka. Mereka berharap, dengan rekonsiliasi kultural ini, dapat diterima seutuhnya oleh masyarakat.
Rekonsiliasi tersebut didasarkan pada prinsip saling memaafkan dan keterbukaan dari semua pihak yang terlibat, tanpa mengesampingkan pertanggungjawaban hukum.
Rekonsiliasi dinilai menjadi jalan terbaik untuk Indonesia bisa jalan terus ke depan tanpa dihantui peristiwa masa lalu.
Rekonsiliasi dinilai menjadi jalan terbaik untuk Indonesia bisa jalan terus ke depan tanpa dihantui peristiwa masa lalu. Para pakar hukum menyarankan untuk melihat rekonsiliasi sebagai investasi politik ke depan dan bukan hanya mendamaikan kelompok yang sedang bertentangan. Rekonsiliasi bukan isu politik, melainkan kejujuran untuk melihat kesalahan di masa lalu.
Adnan Buyung Nasution menyatakan bahwa kuncinya ialah saling memaafkan, tetapi tidak menggugurkan pertanggungjawaban hukum bagi pihak yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, rekonsiliasi kultural yang sudah lama terbangun di tengah masyarakat juga perlu didukung untuk melepaskan beban sejarah antara yang ingin dilupakan dan diingat oleh anak bangsa.
(Amurwani Dwi LestariningsihKandidat Doktor Prodi Sejarah UI, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, Kemendikbudristek, Peneliti Mantan Tahanan Politik Perempuan 1965)