Subkultur Suporter Sepak Bola
Kontestasi adalah sebuah keniscayaan yang dibutuhkan anak muda sebagai momen atau ruang untuk memperlihatkan identitas sosialnya. Persoalannya adalah bagaimana kontestasi itu tidak berpotensi menjadi aksi anarkistis.
Tragedi tewasnya sedikitnya 125 suporter dan polisi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, melahirkan pertanyaan besar: apa sebetulnya yang harus dikembangkan untuk mencegah agar aksi anarkisme suporter tidak terus terulang?
Kenapa sebuah pertandingan sepak bola yang seharusnya menjunjung tinggi sportivitas justru kerap dinodai ulah suporter yang memalukan, bahkan sering kali anarkistis?
Selama ini, upaya penanganan ulah suporter yang cenderung anarkistis umumnya lebih banyak dikembangkan dengan menempatkan suporter sebagai bagian dari perilaku kerumunan. Kerusuhan (riot) dianggap sebagai bagian dari tindakan agresif yang dilakukan oleh kerumunan yang destruktif. Suporter yang melakukan tindakan merusak dianggap sebagai bagian dari kerumunan yang lepas kendali. Dipicu oleh aksi-aksi spontan satu-dua orang yang kemudian menstimulasi tindakan orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Dari perspektif sosiologi klasik dipahami, ulah suporter yang lepas kendali adalah konsekuensi dari perilaku kerumunan yang merupakan ledakan spontan dari kelompok yang kecewa. Dalam kerumunan, yang terjadi adalah amplifikasi interaksional, yakni suatu proses di mana para anggota saling memberikan rangsangan dan respons satu sama lain sehingga intensitas emosi dan ketanggapan mereka mengalami peningkatan.
Suporter yang melakukan tindakan merusak dianggap sebagai bagian dari kerumunan yang lepas kendali.
Memahami ulah suporter sebagai bagian dari ulah kerumunan yang lepas kendali tak hanya menyimplifikasi akar masalah di balik terjadinya aksi anarkisme suporter, tetapi juga melahirkan pendekatan yang kurang tepat. Memahami ulah suporter sebagai ekspresi subkultur anak muda dan subkultur anak marjinal akan menjadikan pemahaman kita tentang ulah anarkisme suporter menjadi kontekstual dan lengkap.
Subkultur
Dalam perspektif cultural studies, subkultur mengacu pada seluruh cara hidup atau ”peta makna” yang menjadikan dunia ini dapat dipahami anggotanya. Kata sub mengandung konotasi suatu kondisi khas dan berbeda dari masyarakat dominan (mainstream).
Jadi, istilah subkultur otentik tergantung pasangan biner ini, yaitu ide tentang budaya dominan atau budaya mainstream yang diproduksi massal dan tidak otentik. Seperti dikatakan Thornton (1997), pemahaman tentang arti subkultur terletak pada bagaimana akses diletakkan pada perbedaan antara kelompok sosial-budaya tertentu dan masyarakat yang lebih luas. Subkultur dengan kata lain dipandang rendah dan berada dalam satu kesadaran tentang liyan atau kesadaran akan perbedaan.
Untuk memahami apa yang disebut subkultur—termasuk subkultur suporter—tak bisa dilepaskan dari konteks perkembangan masyarakat di mana subkultur itu muncul. Dalam konteks modernitas, seperti dikemukakan Ken Gelder (2005), subkultur merupakan konsep soal perbedaan antara non-normatif di satu sisi dan marjinal di sisi lain.
Dalam sejarah masyarakat modern, penjelasan tentang subkultur cenderung dikaitkan dengan perilaku non-normatif dan representasi marjinalitas melalui kepentingan dan praktik khusus: apa yang dilakukan dan di mana melakukannya serta yang demikian itu merupakan di luar batas-batas normal masyarakat.
Dalam konseptualisasi awal ini, pada tahun 1940-an, pemahaman tentang subkultur ketika itu telah membantu para peneliti mengategorikan orang menurut sejumlah sifat sosial secara bersamaan (Gordon, 1947: 41).
Keyakinan yang mendasari definisi ini adalah bahwa budaya seseorang terkait langsung dengan keanggotaan dalam kategori demografis tertentu, serta diasumsikan bahwa semua orang yang berbagi karakteristik sosial tertentu juga berbagi budaya, yaitu nilai-nilai, keyakinan, dan praktik yang kemudian menjadi panduan bagi masyarakat untuk bertingkah laku dan menampilkan dirinya.
Seorang suporter yang tumbuh dalam habitus yang terbiasa menempatkan suporter lawan sebagai musuh, jangan heran jika di benak anggotanya kemudian tumbuh kebencian yang tidak bisa dijelaskan asal-usul dan alasan kenapa rasa benci itu muncul. Dendam kesumat dan ketidaksukaan kepada tim dan suporter lawan adalah salah satu subkultur yang menandai dan tumbuh di kalangan suporter sepak bola, seperti Arema, Bonek, dan para suporter yang lain.
Baca juga :Doa Aremania untuk Korban Tragedi Kanjuruhan
Baca juga : Hujan Duka hingga Buzzer Polisi dalam Tragedi Kanjuruhan
Menyimpang
Jika dilacak ke belakang, berbagai teori tentang subkultur anak muda yang berkembang hingga saat ini sebenarnya berakar dari studi-studi tentang subkultur yang dilakukan di AS sejak 1920-an.
Studi subkultur yang dihasilkan Universitas Chicago merupakan bagian dari tradisi AS, sewaktu penduduk kota Chicago mengalami peningkatan jumlah penduduk dua kali lipat dari tahun 1860. Dengan tujuan mempelajari pertumbuhan kota-kota dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial serta masalah sosial, terutama disintegrasi sosial, kajian tentang subkultur masyarakat kota pun mulai berkembang.
Kajian para ahli Mazhab Chicago banyak menyoroti tentang penyimpangan dan tekanan yang dihadapi masyarakat dalam konteks perubahan sosial yang berlangsung dahsyat di kota-kota besar di AS, khususnya Chicago. Penelitian tentang subkultur urban yang dikembangkan para ahli dalam rentang waktu itu penekanannya lebih pada aspek non-normatif atau penyimpangan dari perilaku kolektif. Meski tak disebutkan bahwa penelitian mereka adalah tentang subkultur, mereka dianggap melakukan penelitian subkultur karena secara etik bertujuan untuk memahami bagaimana masyarakat dengan variasi budaya yang dimiliki saling berinteraksi.
Penelitian mereka umumnya diarahkan pada kaum minoritas, imigran, atau pekerja miskin yang tinggal di perkotaan yang berpotensi memunculkan masalah sosial sehingga lebih mungkin untuk mengembangkan budaya alternatif.
Penelitian mengenai asal-usul kenakalan remaja dan penyimpangannya oleh para ahli Mazhab Chicago itu merupakan hal penting untuk menjelaskan disfungsi sosial yang terjadi di Stadion Kanjuruhan. Asumsi dan temuan terpenting Mazhab Chicago adalah sebagian besar pola perilaku kriminal diperoleh selama kehidupan masa muda para penjahat dan bukan karena sebab-sebab biologis ataupun psikologis.
Artinya, seseorang melakukan perilaku menyimpang atau tindakan jahat bukan karena secara psikologis mereka agresif dan jahat, melainkan lebih karena nilai dan norma serta pengaruh peer group mereka ketika remaja. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi di benak anak-anak muda yang sejak usia dini sudah tergabung dalam kelompok suporter tertentu yang mengajarkan kebencian kepada kelompok lawan?
Kebencian yang menumpuk dan terkonstruksi di kepala anak-anak muda pendukung kesebelasan tertentu niscaya akan otomatis muncul ketika tim kesayangan mereka bertanding.
Setiap orang membutuhkan makanan dan tempat tinggal, tetapi beberapa orang berjuang lebih dari yang lain untuk mendapatkannya
Di antara tokoh Mazhab Chicago yang menonjol adalah Albert Cohen. Cohen adalah murid Robert K Merton yang berhasil menelurkan karya monumental, Delinquent Boys (1955). Konsep subkultur yang dikembangkan Cohen mengacu pada prinsip bahwa semua tindakan manusia adalah keberlanjutan dari upaya untuk memecahkan masalah. Dari perspektif ini, orang-orang akan menghabiskan waktu mereka untuk mencoba memecahkan masalah duniawi, seperti bagaimana memastikan perlindungan, rezeki, dan persahabatan.
Bagi kebanyakan orang, budaya yang dominan memberikan cara-cara pemecahan terhadap masalah ini. Misalnya, pekerjaan memberikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan tempat berteduh, sementara kegiatan formal dan informal memberikan kesempatan untuk mengembangkan ikatan yang bermakna dengan orang lain.
Cohen juga mencatat, tak semua orang memiliki akses yang sama terhadap sarana untuk memecahkan masalah. Setiap orang membutuhkan makanan dan tempat tinggal, tetapi beberapa orang berjuang lebih dari yang lain untuk mendapatkannya. Selanjutnya Cohen juga menyatakan bahwa titik fokus seseorang terhadap masalah itu sangat penting. Orang tak selalu memutuskan untuk bertindak dengan cara yang sama untuk menyelesaikannya.
Cohen mencatat bagaimana kelompok muda laki-laki kelas pekerja memilih memecahkan masalah melalui cara yang abnormal, yaitu berperilaku menyimpang atau bermasalah. Studi yang dilakukan Cohen menunjukkan bagaimana perilaku menyimpang di kalangan pekerja miskin bisa terus terjadi dalam menghadapi ketegangan. Ini terutama terlihat pada individu kelas bawah yang terpinggirkan dan berusaha mencari cara untuk mengatasi ketegangannya atau permasalahannya, agar dapat berbaur dengan masyarakat luas.
Menurut Cohen, frustrasi yang dialami penduduk miskin kota akibat status sosial mereka yang rendah telah memicu munculnya ”reaksi formasi”, yang menyebabkan mereka membalik nilai-nilai budaya dan norma yang dominan untuk melegitimasi tindakan tertentu.
Daripada bekerja untuk memenuhi tujuan budaya masyarakat (misalnya, bekerja keras untuk mendapatkan rasa hormat dari masyarakat umum), anak- anak muda marjinal umumnya justru berusaha membalik tujuan tersebut dengan secara sengaja tak mencapai tujuan itu, misalnya melakukan tindakan vandalisme untuk mendapatkan rasa hormat dari orang-orang yang sama-sama terpinggirkan di sekitar mereka.
Di AS, studi tentang subkultur ini dikembangkan lebih lanjut tahun 1960 dan 1970. Beberapa konsep dalam kajian subkultur yang muncul pada 1960-an di antaranya adalah counterculture dan contraculture (Roberts 1978; Yinger 1960). Tahun 1970, bahasan soal subkultur dilanjutkan oleh David Arnold yang mengedit The Sociology of Subcultures yang sebagian besar berisi penelitian tentang kenakalan dan geng.
Sebagian besar penelitian kriminologi tentang subkultur berperspektif paternalistik sehingga pembuat kebijakan menganggap subkultur anak muda selalu berisiko (Carswell, 2007).
Pandangan yang muncul dari penelitian subkultur pemuda ini lebih cenderung menganggap anak muda merupakan kelompok ”nakal” yang mengembangkan perilaku kriminal, selalu menimbulkan masalah sosial dan untuk itu perlu dicari cara penyelesaiannya.
Kontestasi adalah sebuah kenicayaan yang dibutuhkan anak muda sebagai momen atau ruang untuk memperlihatkan identitas sosialnya.
Mendekonstruksi
Untuk mencegah agar aksi kerusuhan suporter sepak bola tak terjadi lagi, cara paling mudah memang dengan memberlakukan kebijakan melarang pertandingan sepak bola, memperbanyak jumlah aparat ketika pertandingan berlangsung, atau menyelenggarakan pertandingan di luar daerah tim yang bertanding untuk menghindari kehadiran suporter yang jumlahnya kelewat banyak.
Cara ini jelas pragmatis dan efektivitasnya niscaya bersifat temporer. Kalau kita sepakat memahami ulah anarkisme suporter sebetulnya representasi dari subkultur perlawanan dan subkultur masyarakat marjinal, strategi yang dikembangkan seyogianya adalah bagaimana mendekonstruksi subkultur itu, untuk kemudian dapat direkonstruksi subkultur baru yang nirkekerasan dan menjunjung tinggi sportivitas.
Kontestasi adalah sebuah kenicayaan yang dibutuhkan anak muda sebagai momen atau ruang untuk memperlihatkan identitas sosialnya. Persoalannya adalah bagaimana kontestasi itu tak berpotensi menjadi aksi anarkistis dan hanya sekadar jadi arena untuk melampiaskan rasa kecewa jika tim kesayangan atau egonya dikalahkan pihak lain.
Menjadi suporter tak harus hanya menjadi penggemar yang membabi buta dan mengembangkan loyalitas buta yang buruk. Menjadi suporter adalah kesempatan untuk menyemangati tim kesayangan agar bertanding secara sportif dan bersedia berlatih keras untuk meraih kemenangan di dunia olahraga.
Semoga kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan menjadi kerusuhan terakhir yang menodai sportivitas olahraga di Tanah Air tercinta.
(Rahma SugihartatiGuru Besar Sains Informasi. Menulis Disertasi dan Buku tentang Subkultur Anak Muda)