Indonesia berduka seiring tewasnya lebih dari 100 penonton pada laga Arema FC melawan Persebaya Surabaya. Sepak bola kita perlu pembenahan sistemis.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Berbagai upaya guna mencegah kerusuhan pada Sabtu (1/10/2022) malam di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sudah dilakukan. Maklum, ini pertandingan besar, derbi klub Jatim, yakni Arema asal Malang dan Persebaya yang klub Surabaya. Persaingan kedua tim termasuk salah satu rivalitas klasik di BRI Liga 1 Indonesia.
Salah satu upaya itu, meminta suporter Persebaya tidak hadir di Kanjuruhan, dan kesepakatan itu dipenuhi. Yang hadir di Kanjuruhan itu hanya suporter Arema yang berjuluk Aremania, atau warga Malang dan sekitarnya yang ingin menyaksikan Liga 1, kasta tertinggi liga sepak bola kita.
Laga di lapangan hijau sejatinya menarik. Tim tamu Persebaya menang dengan skor tipis, 3-2. Kemenangan tim ”Bajul Ijo” ini menepis asumsi kurang sedap yang selama ini berembus di liga kita bahwa tuan rumah selalu menang atau ”dimenangkan”.
Namun, tuntasnya laga 2 x 45 menit tanpa insiden bukan berarti kepastian ketiadaan masalah. Problem mulai muncul saat penonton memasuki lapangan. Ini terlarang, sesuai Laws of the Game Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) dan peraturan-peraturan yang mengikutinya.
Tak heran, di berbagai laga di Eropa, ketika ada penonton tiba-tiba masuk lapangan, sejumlah petugas dengan sigap membekuknya. Penonton juga dilarang mendekati bangku pemain cadangan (bench) karena memang hanya mereka yang punya akreditasi sah yang berhak berada di bench.
Yang terjadi di Kanjuruhan pada Sabtu malam, ribuan penonton turun dari tribune dan gagal dicegah petugas panitia dan aparat keamanan. Sejauh mana kesiapan petugas pengamanan, itu tanda tanya besar. Terlebih, beredar informasi penjualan tiket yang melebihi aturan semasa pandemi Covid-19, yakni 75 persen dari total kapasitas stadion yang sebanyak 45.449 penonton.
Manajemen massa, dalam hal ini penonton, menjadi kunci dalam penanganan masalah ini. Lalu lintas penonton, baik saat memasuki maupun meninggalkan stadion, seharusnya menjadi perhatian bersama dan harus diantisipasi sejak awal.
Penggunaan gas air mata oleh polisi, sementara hal itu sudah dilarang FIFA, menjadi aspek lain yang juga harus ditelusuri. Mengapa larangan FIFA itu belum tersosialisasikan di Indonesia? Sudah optimalkah PSSI sebagai federasi sepak bola di Indonesia menyosialisasikan itu?
Tragedi Kanjuruhan menambah pesan akan urgensi pembenahan sistemis sepak bola kita. Jangan sampai nyawa penonton kita menjadi korban sia-sia di kemudian hari.
Sudah banyak pelajaran yang bisa kita petik demi perbaikan ke depan. Musibah di sejumlah negara, seperti di Lima, Peru, pada 1964 dengan 318 korban jiwa, tragedi di Accra (Ghana) dengan 126 tewas pada 2001, dan tragedi Hillsborough di Sheffield, Inggris, dengan 97 tewas pada 1989 sepatutnya membuat kita sigap membenahi persepakbolaan nasional.
Tragedi Kanjuruhan menambah pesan akan urgensi pembenahan sistemis sepak bola kita. Jangan sampai nyawa penonton kita menjadi korban sia-sia di kemudian hari.