Hakikat politik harus berujung kesejahteraan rakyat. Tujuan luhur ini hilang karena, seperti ditulis Bivitri, seperti ada jembatan yang putus antara kita, warga negara, dengan para wakilnya di legislatif dan eksekutif.
Oleh
Hadisudjono Sastrosatomo
·3 menit baca
Tulisan Bivitri Susanti senantiasa menggugah pikiran. Salah satunya adalah ”Berdebatlah Para Calon Pemimpin” (Kompas, 22/9/2022). Dia membuka tulisan dengan kalimat, ”Semakin mendekati 2024, politik semakin mirip sinetron. Ditonton tetapi tak berisi”.
Pertemuan, pidato, sindiran di media sosial, bahkan joget Tiktok dan baliho semakin banyak dan memusingkan. Padahal, saat ini rakyat juga menghadapi kesulitan karena harga-harga beranjak naik. Sayang, para calon presiden yang namanya sudah muncul dari survei tidak memperdebatkan isu-isu yang dihadapi rakyat.
Tulisan Bivitri mengingatkan saya kepada buku M Subhan SD, Bangsa Mati di Tangan Politikus. Perilaku Politik Zaman Now. Prof Dr Azyumardi Azra, yang memberi kata pengantar buku itu, ditampilkan Bivitri dalam kalimat: ia selalu merisaukan demokrasi yang diacak-acak elite politik yang rakus kekuasaan dan uang.
Prof Azyumardi setia pada pemikiran tentang demokrasi dan kebangsaan, bukan pada sosok pemimpin.
Budiman Tanuredjo dalam kolom Catatan Politik dan Hukum Kompas juga menulis: berkelebatan bayangan rebutan kekuasaan, manuver dan akrobat politik.
Komentar seorang teman kepada saya, ”Teruslah mengoceh sebagai orang waras di tengah ketidakwarasan para petualang politik.”
Kosakata pesimistis memang makin bertebaran: oligarki, korupsi, intoleransi. Martabat manusia sebagai hak dasar rakyat tidak pernah muncul dan diperjuangkan.
Sungguh bijak jurnalis senior Rosihan Anwar yang menyimpulkan, partai politik masa kini tidak satu pun yang memiliki ideologi. Jangan mengharapkan idealisme serta jiwa kenegarawanan lahir di tempat itu.
Kompas (21/9/2022) menunjukkan betapa memprihatinkan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Indonesia 2019-2021. Nilai HDI Indonesia lebih buruk dibandingkan rata-rata dunia. Peringkat Indonesia juga merosot tahun 2021 jika dibandingkan 2019, dari ke-107 jadi ke-114.
Hakikat dasar politik haruslah berujung kesejahteraan rakyat. Tujuan luhur ini hilang karena, seperti ditulis Bivitri, seperti ada jembatan yang putus antara kita, warga negara, dengan para wakilnya di legislatif dan eksekutif.
Hadisudjono SastrosatomoAnggota Tim Pengarah Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS–STM PPM Menteng Raya, Jakarta 12970
Catatkan HKI Milik Sendiri
Ilustrasi Hak Kekayaan Intelektual
Sejak 20 Desember 2021 Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) menerapkan sistem Persetujuan Otomatis Pencatatan Hak Cipta (POP HC) berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor HKI-05.TI.03.02 Tahun 2021. Tujuannya untuk mempercepat pelayanan masyarakat dalam hal pencatatan ciptaan secara elektronik.
POP HC dapat diselesaikan sistem kurang dari 10 menit. Sistem POP HC ini pada periode Januari hingga Juli 2022 menghasilkan 7.029 permohonan yang dicatatkan. Jumlah ini naik dua kali lipat dibandingkan periode yang sama pada tahun 2021.
Ada hal yang perlu diingat para pengguna sistem POP HC ini, terkait salah satu syarat formal, yaitu melampirkan surat pernyataan kepemilikan Ciptaan dan Hak Terkait.
Dalam surat pernyataan kepemilikan ciptaan disebutkan bahwa: 1. Karya Cipta berupa … dengan judul … adalah benar ciptaan saya sendiri dan bukan ciptaan pihak lain serta tidak bertentangan dengan Hak Cipta ... pihak lain mana pun; 2. Jika ternyata di kemudian hari Karya Cipta tersebut terbukti bertentangan dengan Hak Cipta pihak lain, saya bersedia mempertanggungjawabkan secara hukum.
Surat pernyataan itu tidak main-main. Kalau terbukti tidak benar, ada ancaman pidana serius berdasarkan Pasal 263 KUHP. Ada ancaman pidana penjara enam tahun.
Gunawan SuryomurcitoKonsultan HKI, Pondok Indah, Jakarta 12310