Ada yang nekat meski akhirnya menunggak bayar SPP, mencari utang, dan lain-lain. Ada yang jeli mencari beasiswa sehingga bisa kuliah, atau kuliah sambil kerja. Namun, kesempatan ini terbatas dan tidak semua bisa.
Membaca Kompas, 22-23 Agustus 2022, kehormatan lembaga perguruan tinggi runtuh karena pemimpinnya mengotori diri dan mencemarkan institusi dengan menjual kursi PTN. Lembaga tinggi dengan marwah mendidik masyarakat agar berkarakter mulia justru menjerumuskan warganya menjadi pribadi hina.
Bagaimana menghasilkan manusia unggul apabila pendidiknya amoral? Para pejabat dengan sederet gelar sarjana, tetapi korupsi atau bertindak kriminal, bisa jadi manifestasi hasil didikan guru tanpa ”roh” pendidikan.
Fenomena jual-beli kursi PTN sepertinya sudah membudaya, tetapi baru terungkap. Kenapa pula masyarakat terobsesi kuliah di PTN sehingga menghalalkan segala cara? Apakah PTN menjanjikan segalanya dan berasumsi PTS tak bermakna? Padahal, banyak PTS berakreditasi A, bahkan A plus, dengan kualitas alumni lebih baik dan mental lebih jujur dibandingkan alumni PTN.
Dari kasus sederhana ini, asumsi berkembang. Mau sekolah, tetapi tidak kompeten. Karena punya uang, lalu menyogok agar diterima. Ketika nilai sekolah jelek, menyogok agar lulus. Mencari kerja pun menyogok. Ujung-ujungnya, saat kerja korupsi.
Jika setiap tahun total PTN di Indonesia meluluskan 5 juta orang, virus mental korup pastilah menyebar ke mana-mana, menginfeksi dan mendarah daging di masyarakat. Inikah mental SDM Indonesia yang ingin dibentuk oleh lembaga pendidikan?
Fakta itu makin memperlebar kesenjangan si kaya dan si miskin karena karakter dan kompetensi si miskin gagal menjadi jembatan untuk memperoleh keadilan, bangunan roboh karena fondasi rusak oleh uang. Mungkin uangnya juga hasil korupsi sehingga terjadi lingkaran setan.
Dua tulisan rubrik Opini, satu karikatur, dan laporan wartawan di rubrik Nusantara (Kompas, 24/8/2022) mewakili kegeraman masyarakat atas ulah Rektor Unila.
Yes SugimoJl Melati Raya, Melatiwangi, Bandung 40616
Guru Harus Bisa Digugu dan Ditiru
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F05%2F25%2F20d1724e-5bee-4df4-94f3-10b6b223a1a3_jpg.jpg)
Peningkatan kualitas guru jadi fokus.Organisasi guru seperti Persatuan Guru Republik Indonesia juga berperan penting mendorong guru bermutu.
Membaca berita kilas daerah berjudul ”Guru Cabuli 20 Siswa SMP di Batang”, membuat saya sebagai guru SMP merasa prihatin, resah, dan malu.
Mengapa guru yang seharusnya digugu dan ditiru justru bertindak asusila?
Disebutkan bahwa guru AM (33) yang sekaligus pembina OSIS mencabuli 20 siswa dari Juni hingga Agustus 2022 (Kompas, 31/8/2022).
Mengapa hal ini sampai terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia? Apa yang salah? Di mana masalahnya?
Jika kita merunut tugas guru, seharusnya kita menemukan berbagai tugas yang mulia. Tugas guru mulai dari mendidik anak menjadi lebih baik, mengajarkan berbagai kemampuan dan kecakapan hidup, hingga memberi teladan siswa untuk berlaku sopan dan berbudi pekerti luhur.
Hal ini sesuai semboyan dari Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara, ”Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Semboyan Ki Hajar Dewantara itu mengingatkan kita agar guru menjadi contoh baik bagi anak didik.
Masyarakat menganggap guru serba tahu dan menjadikannya patokan perilaku berbudi luhur. Maka, guru selalu digugu (dipercaya omongannya) dan ditiru (dicontoh perilakunya).
Mungkin masalah kemasyarakatan di Indonesia terlalu kompleks sehingga sulit menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun, sebagai orangtua dan pendidik, kita harus berlaku seperti Ki Hajar Dewantara. Jangan kita rusak semboyan itu menjadi ”ing ngarso numpuk bandha, ing madya nyebar wisa, tut wuri mbilaeni (mbebayani)”.
Semoga menjadi introspeksi kita sehingga bisa memberi teladan luhur bagi generasi muda bangsa.
Rusdi NgarpanJl Nusa Indah, Magersari, Rembang 59214
Menjaga Rupiah
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F23%2F256a73d5-03dd-4e4e-977b-f68ca7c67853_jpg.jpg)
Mata uang rupiah.
Nilai tukar mata uang rupiah sejak Indonesia merdeka sering melemah. Kenyataan ini jelas merupakan indikasi bahwa kualitas ekonomi kita belum bisa bersaing dengan negara lain, bahkan dengan negara tetangga sekalipun.
Jika nilai tukar rupiah kurang kuat, memang bisa membantu APBN tidak terlalu defisit karena memberikan nominal rupiah lebih banyak dari penukaran devisa, tetapi kerugiannya jauh lebih banyak untuk masyarakat.
Rupiah yang melemah mengakibatkan eksportir akan memilih menyimpan devisanya dalam bentuk mata uang asing, bahkan kadang di luar negeri. Ini tentunya karena sadar jika ditukar ke rupiah nilai tukarnya bisa berkurang. Investor pun akan berpikir sangat panjang untuk membuka usaha di dalam negeri, kecuali jika bisnisnya mendatangkan keuntungan di atas menurunnya nilai rupiah.
Rupiah yang melemah bisa melemahkan daya beli rakyat mayoritas. Masyarakat dengan pendapatan tinggi tidak terlalu terpengaruh.
Dari hasil pencarian Google, rupiah ada di urutan kelima terlemah setelah mata uang Venezuela, Iran, Vietnam, dan Sierra Leone. Belajar dari negara-negara maju, nilai mata uang mereka selalu stabil kuat. Mereka membangun kesejahteraan rakyat dengan memperkuat daya beli.
Karena tidak dikaitkan lagi dengan aset tertentu, misalnya emas, nilai mata uang sangat dominan dipengaruhi oleh faktor kepercayaan dan ekspektasi internasional.
Sebagai bangsa, tentunya kita ingin dipercaya dunia internasional. Oleh karena itu, strategi nilai tukar mata uang yang tepat seharusnya adalah selalu menstabilkan dan menguatkannya. Dari situ, semua pihak akan bisa membangun rencana bisnis lebih baik dan masa depan yang lebih sejahtera.
Edwin DewayanaPetukangan Selatan, Jakarta Selatan 12270