Epos La Galigo: Huruf, Bahasa, dan Karya Sastra
Temuan tulisan lontaraq adalah puncak pencapaian tertinggi dalam sejarah, kebudayaan, dan peradaban orang Bugis. Para ahli sepakat huruf lontaraq adalah huruf Bugis, yang menyebar di Sulsel, hingga nusa tenggara.
Membaca tulisan Linda Christanty di Kompas (Sabtu, 24/9/2022) sungguh sangat mencerahkan. Mengantar kita untuk memahami karya sastra besar sekaliber Epos Hilali yang selama ini luput dari pembahasan dan perbincangan kami.
Namun, selagi asyik membaca karya besar Epos Hilali, tiba-tiba di bagian pertengahan tulisan tersebut masuk ke epos La Galigo sehingga saya berpikir seharusnya tulisan ini mencatumkan juga epos La Galigo di judulnya agar menjadi berimbang dan adil.
Berawal tradisi lisan
Seperti dinyatakan para ahli, epos La Galigo pada awalnya berasal dari tradisi lisan, baru kemudian ditulis setelah orang Bugis mengenal aksara lontaraq.
Bukti bahwa ia berasal dari tradisi lisan ditandai oleh dua hal. Pertama, adanya formula yang ditulis berulang-ulang ketika terjadi peristiwa yang sama. Misalnya, perkawinan, kematian, perang, pelayaran, dan sebagainya.
Bukti kedua adalah adanya pengulangan kalimat yang sama yang selalu muncul pada penggambaran situasi alam, lingkungan, deskripsi watak tokoh, ekspresi tokoh, dan sebagainya.
Temuan tulisan lontaraq adalah puncak pencapaian tertinggi dalam sejarah, kebudayaan, dan peradaban orang Bugis.
Temuan tulisan lontaraq adalah puncak pencapaian tertinggi dalam sejarah, kebudayaan, dan peradaban orang Bugis. Para ahli sepakat bahwa huruf lontaraq adalah huruf Bugis, yang kemudian menyebar di Sulawesi Selatan, bahkan sampai ke Sumbawa dan Ende.
Kata lontaraq berasal dari kata Sanskerta, yaitu daun lontar, yang dari kata ini berubah mengikuti sistem bunyi dan karakteristik bahasa Bugis yang tidak mengenal huruf mati sehingga lontar menjadi lontaraq. Aksara lontaraq merupakan turunan dari aksara Brahmi India yang kemudian di-local-geniuskan orang Bugis menjadi huruf lontaraq. Satu-satunya tanda pengenal dari induknya adalah susunan alfabetis dan penanda vokalnya yang sama.
Aksara ini bersifat silabis, ditulis dari kiri ke kanan, seperti aksara Brahmi lainnya, yang setiap konsonannya merepresentasikan satu suku kata dengan vokal /a/ yang melekat secara otomatis di dalam konsonan yang diwakilinya, dan dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu.
Bersamaan dengan ditemukannya huruf lontaraq, La Galigo pun dituliskan. Pada awalnya ditulis di atas daun lontar, seperti gulungan pita kaset yang cara membacanya dari kiri ke kanan. Karena terbatasnya kapasitas daun lontar untuk menuliskan La Galigo secara utuh, maka yang dituliskan hanya formula dan pengulangan kalimat yang bersifat mnemonic (alat pengingat).
Pengisian slot yang kosong di antara formula dan kalimat pengulangan diisi oleh passureq (penembang) La Galigo ketika dilisankan. Jadi terlihat La Galigo berasal dari tradisi lisan, lalu ditulis, kemudian dilisankan lagi untuk menyosialisasikan isi dan nilainya ke publik.
Ketika kertas sudah masuk di Sulawesi Selatan, La Galigo pun dituliskan di kertas. Karena kertas cukup lebar dan panjang serta banyak memuat halaman, La Galigo pun disalin utuh seperti ketika ia didendangkan.
Kapan awal mula dituliskan La Galigo, para ahli sepakat ini adalah karya pra-Islam, dengan waktu yang berbeda antara pakar yang satu dan yang lain. Tentu dengan argumentasi ilmiah dan metodologi yang bertanggung jawab. Prof Mattulada berpendapat abad ke-7-10 M, Prof Fachruddin Ambo Enre abad ke-12 M, Prof Christian Pelras abad ke-11-13 M, dan Prof Noorduyn abad ke-10 M.
Baca juga : Epos Hilali
Para ahli berpendapat bahwa bahasa yang digunakan dalam La Galigo adalah bahasa Bugis yang sebagian kosakatanya sudah kuno, tidak dipahami lagi oleh orang Bugis sekarang ini. Itu yang menyulitkan generasi sekarang mempelajarinya, di samping penggunaan bahasa Bugis tinggi dengan gaya bahasa sastra yang terdiri atas lima suku kata di setiap penggal frasa. Semua itu turut mempersulit memahami bahasa Galigo.
Bahasa Galigo bukan bahasa to ri langiq (bahasa orang langit). Bahasa to ri langiq adalah bahasa para bissu (pendeta agama tradisional orang Bugis) yang hanya di antara mereka yang bisa saling memahaminya, sekaligus bahasa yang digunakan ketika mereka berkomunikasi dengan para dewa.
Jadi koleksi
Khusus untuk koleksi Dr Benjamin Frederik Matthes yang dikumpulkan dan disalin kembali oleh Retna Kencana Colliq Pujie (karena para pemiliknya tidak mau menyerahkan kepada Matthes), terdiri atas 12 jilid yang sekarang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden. Koleksi ini dikukuhkan oleh UNESCO sebagai Memory of the World tahun 2011.
Ke-12 jilid itu berjumlah sekitar 360.000 bait. Di samping 12 jilid naskah ini, masih terdapat beberapa naskah La Galigo di Belanda yang berjumlah sekitar 6.000 halaman, yang menurut Prof RA Kern baru sepertiga dari seluruh naskah La Galigo. Kern juga menerbitkan katalog lengkap yang memuat seluruh naskah La Galigo di perpustakaan Eropa dan Perpustakaan Matthes di Makassar.
Ada 113 naskah yang dia temukan, terdiri atas 31.500 halaman. Kern menyaring dan membuat ringkasan katalognya setebal 1.356 (lihat Catalogus I terbit 1931, katalog II 1954).
Kesimpulan dari apa yang telah diuraikan di atas adalah bahwa La Galigo merupakan karya sastra Bugis. Saya tidak paham apa yang dimaksudkan oleh Linda Christanty sebagai karya sastra Luwu yang menggunakan bahasa Luwu.
Saya tidak paham apa yang dimaksudkan oleh Linda Christanty sebagai karya sastra Luwu yang menggunakan bahasa Luwu.
Di Luwu ada 12 suku yang sekarang tersebar pada beberapa kabupaten di Luwu. Disebut suku karena mereka masing-masing menggunakan bahasa tersendiri yang tidak saling kenal antara bahasa yang satu dan yang lainnya.
Secara garis besar, Luwu dapat diklasifikasikan menjadi dua tipologi permukiman, yaitu yang bermukim di pedalaman dan pegunungan, dan yang bermukim di pesisir. Orang yang bermukim di pedalaman dan pegunungan disebut to pabbuluq (orang gunung), sedangkan yang bermukim di pesisir disebut to pabbiring (masyarakat pesisir), sebagian besar tinggal di ibu kota, di istana, di pesisir, sampai ke perbatasan Wajo.
Pada umumnya suku-suku yang berada di pedalaman dan pegunungan tidak mengenal tradisi tulis. Mereka mengabadikan kearifan masa lampau melalui memori kolektif, yang diturunkan dengan lisan secara turun-temurun dengan ciri budaya agraris.
Sementara to pabbiring mengenal tradisi tulis lontaraq, berbahasa Bugis, dengan budaya maritim yang sangat kental. Pemelihara peradaban lontaraq adalah istana, para kaum bangsawan, kaum aristokrat kerajaan Luwu, serta penduduk yang berbahasa Bugis. Semua suku ini telah menyebar di beberapa kabupaten di Luwu, yang kini telah dimekarkan menjadi beberapa kabupaten dalam rangka persiapan menjadi Provinsi Luwu Raya.
Saya bersama teman-teman telah menerbitkan jilid 1, 2, dan 3, koleksi Matthes yang ada di Belanda. Pada bagian akhir setiap jilid kami membuat daftar kata-kata La Galigo.
Saya pernah menyampaikan kepada teman-teman di Luwu yang tidak menggunakan bahasa Bugis, terutama yang menggunakan bahasa Tae (rumpun bahasa Toraja), untuk mencocokkan bahasa mereka dengan bahasa Galigo.
Mereka semua baru paham bahwa ternyata tidak ada satu kata pun yang sama dalam kosakata La Galigo dengan kosakata bahasa yang mereka gunakan.
(Nurhayati RahmanGuru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin)