Darurat Reformasi Hukum
Banyak di antara kita yang mengakui bahwa yang disebut reformasi ternyata cuma slogan yang dibuat tanpa rencana, tanpa arah, sasaran, ataupun tahapan. Bukankah akhirnya kita terjebak dalam kebingungan sendiri?
Menyusul hebohnya berita sekitar terjeratnya salah satu hakim agung dalam kasus suap, Presiden Joko Widodo menegaskan perlunya reformasi hukum.
Salah satu koran nasional mengangkat isu itu di tajuknya. Kalau Presiden menyatakannya sebagai keharusan, koran tersebut menulis sebagai sesuatu yang mendesak. Malah, dalam berita utama berikutnya, ditulis agar reformasi hukum jangan (sekadar) basa-basi.
Semua pasti menangkap sentimen dan nuansa sosial politik yang melingkupi lahirnya pernyataan itu. Semua juga geregetan, kecewa, bahkan marah terhadap perilaku dalam peristiwanya. Namun, apa persisnya obyek reformasi dan bagaimana mesti menanganinya?
Khalayak mengungkapkan kekecewaan karena petinggi hukum yang mengawal keadilan malah mencederai marwahnya dengan menerima suap. Sebutan ”Yang Mulia”, tetapi (dengan laku yang) tidak mulia, begitu ejekan yang terdengar.
Semua tahu, tak hanya di lingkungan Mahkamah Agung dan jajaran Mahkamah Konstitusi, tetapi juga di lembaga-lembaga peradilan lapis di bawahnya. Baik yang urusan pidana, perdata, tata usaha negara, dan bahkan peradilan agama.
Tak adil rasanya tanpa mengungkapkan bahwa kalau namanya kekecewaan, hal serupa merambah ke segenap aparat dan lembaga penegakan hukum, termasuk kejaksaan dan kepolisian. Begitu pula di lembaga lain, penyakit itu ada. Masyarakat juga merekam dalam ingatan bahwa laku korupsi, apalagi lewat suap, ada dan banyak. Tidak kurang, tidak pula lebih.
Khalayak mengungkapkan kekecewaan karena petinggi hukum yang mengawal keadilan malah mencederai marwahnya dengan menerima suap.
Gunakan bahasa yang sederhana
Lantas apa dan mana yang mesti direformasi? Bukankah hukum itu bagai langit, tak mudah dipegang. Atau yang dimaksud UU dan peraturan pelaksanaannya? Belum lagi hukum yang tak tertulis. Kalau menyangkut peraturan perundang-undangan yang tertulis, bukankah itu cerita lama? Olok-olok tentang obesitas UU, sisi prosesnya yang amburadul: pagi dibuat, sore dicabut, diperbaiki/diubah, atau diuji di mahkamah sesuai tingkatan jenis peraturan.
Saking simpang siurnya (meski juga belum tentu efektif), Presiden malah pernah berniat membentuk Badan Legislasi Nasional. Semua bermula dari ketiadaan yang namanya politik perundang-undangan, sebagai desain besar bagi penentuan program legislasi nasional (prolegnas). Belum lagi dengan kealpaan kita untuk membangun dan mendidik kemampuan teknis tenaga perancang perundang-undangan kita.
Pastilah jauh jadinya jika mengaitkan soal perundang-undangan tadi dengan kekecewaan masyarakat dan refleksinya dalam anjuran tentang reformasi hukum. Lantas apanya? Apakah tentang sikap dan perilaku manusia, khususnya aparat hukum dan mentalitas mereka? Atau soal rendahnya disiplin sosial masyarakat kita, atau rendahnya pandangan mereka terhadap sikap taat pada aturan? Bukankah memang itu masalah dasar dan terbesar yang kita hadapi?
Masuk ke berantah yang satu ini, bukan saja keblusuk dalam wacana klise dan menjemukan, melainkan juga mesti mau merangkum spektrum pembangunan manusia yang luas dan kompleks. Sudah banyak tulisan tentang itu. Seminar dan kajian juga tak sedikit kalau dicacah. Malah kemarin (mungkin sekarang masih berlaku) digelar slogan revolusi mental. Cuma programnya yang tak kelihatan. Dari mana memulai, banyak yang menilai remang-remang. Yang pasti soal itu pun baru sebatas niat.
Baca juga : Terkait Korupsi Hakim Agung, MA Rotasi Semua Aparaturnya
Baca juga : Anggotanya Ditangkap KPK, Peradi Semarang Tawarkan Bantuan Hukum
”Re-invent Indonesia”
Kalau semua mau berpikir dan bersikap lugas, masalahnya memang berputar pada sebab yang jelas: mentalitas kita! Sebenarnya semua tahu itu. Soal kualitas kita, soal kadar disiplin sosial kita yang rendah. Soal tipisnya empati kita terhadap kondisi kehidupan sosial kita dalam bermasyarakat dan berbangsa.
Masalah yang memperbaiki dan membangunnya mesti lewat mekanisme pendidikan, baik formal maupun nonformal, di samping lewat tuntunan para pemimpin serta para tokoh sebagai panutan. Tidak lagi perlu menuntut kesabaran karena proses membentuk mentalitas atau karakter manusia setepatnya berlangsung evolutif.
Kalaupun dalam skala investasi, kita memang ibarat membangun generasi baru yang lebih baik. Kita mesti berani bertekad ”re-invent Indonesia”. Hampir tak mungkin, soal membangun mentalitas, jati diri, karakter, dan kepribadian jika harus ditempuh lewat revolusi.
Namun, pernahkah kita memikirkan fondasi dan infrastruktur yang nggenah untuk membangun itu, selain sekadar debat dan pengaturan tentang pendidikan nasional yang nyatanya tak pernah ketahuan konsep ataupun ujungnya.
Melempar pikiran politis dan populis, memang lebih sederhana. Namun, susahnya, dari banyak pengalaman bersama, hal itu akhirnya hanya bisa mengaduk emosi dan sentimen sosial. Apa dan di mana akhir semua itu, juga tak ke mana-mana, selain sekadar wacana.
Kita punya banyak pengetahuan komunal tentang reformasi. Bukan saja bidang-bidang seperti ketentaraan dan kepolisian, ada bidang lain. Yang dikenal luas, reformasi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun, seperti kita simak sewaktu momen refleksi 20 tahun reformasi, banyak di antara kita sendiri pula yang kemudian mengakui bahwa yang disebut reformasi ternyata cuma slogan yang dibuat tanpa rencana, tanpa arah, sasaran, ataupun tahapan. Bukankah akhirnya kita terjebak dalam kebingungan sendiri?
Karena itu, lebih baik dihindari penggunaan istilah atau jargon yang, walau manjur untuk maksud politik, seperti halnya reformasi hukum ini, tidak mudah mencernanya. Lebih baik bicara dengan tandas, apa masalah kita dan bagaimana harus memperbaiki.
Lebih baik bicara dengan tandas, apa masalah kita dan bagaimana harus memperbaiki.
Kalau masalahnya terletak pada rendahnya cara pandang atau sikap hormat dan taat terhadap hukum, lebih baik secepatnya disepakati mengapa demikian. Bilamana menyangkut tipis dan rendahnya disiplin sosial masyarakat kita, carilah akarnya. Kalau soalnya terletak pada kian suburnya sistem nilai dalam sikap hidup manusia Indonesia yang ingin cepat hidup enak dan mapan, dan mewujudkannya dengan segala cara, mestinya ada pula obatnya.
Pasti tak ada cara yang cepat, manjur, dan sekali tepuk. Begitu pula kalau berkembang kecenderungan penyalahgunaan kewenangan dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan, politik ataupun penegakan aturan untuk memperkaya diri, itu pun harus memperoleh takaran tersendiri. Masih banyak lagi.
Kualitas manusia dan pengawasan
Akan tetapi, kalau semuanya ditarik benang merah, pangkalnya satu. Kualitas manusia. Kualitas dalam makna etika dan mentalitas kita dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Kualitas kita dalam menyelenggarakan kehidupan pemerintahan, politik, dan ketertiban serta ketenteraman, bahkan kemasyarakatan. Bagaimana memperbaiki dan membangun diri kita sebagai bangsa, melalui jalur apa yang paling pantas. Sebagai bangsa, kita bersama-sama pasti mampu merumuskan konsep dan langkah itu.
Kalaupun perhatian pintas diperlukan, dan salah satunya akan dipusatkan pada sikap dan perilaku aparatur negara, baik di pemerintahan, penegakan hukum, maupun keamanan, coba ditilik dengan jujur apakah program dan kurikulum pendidikan dan pelatihan teknis ataupun penjenjangan dewasa ini tetap diselenggarakan secara berkelanjutan dan terjadwal?
Sudah terlalu sering terdengar sinisme dalam masyarakat, bagaimana fungsi pengawasan, baik eksternal maupun internal, tidak berjalan optimal.
Pembekalan dan pemberian penyegaran dengan mengedepankan etika dan kehormatan profesi kepada mereka senyatanya tetap diperlukan. Perhatian dan sikap pimpinan tiap lembaga terhadap dijalankannya fungsi pengawasan secara benar dan menanganinya secara obyektif, yang selama ini dianggap titik lemah, sebaiknya ditingkatkan.
Sudah terlalu sering terdengar sinisme dalam masyarakat, bagaimana fungsi pengawasan, baik eksternal maupun internal, tidak berjalan optimal. Di sektor internal, disuarakan sikap pimpinan yang lebih mengedepankan capaian operasional. Dari luar, berkembang kebiasaan meluweskan pengawasan yang saling ”ngemong kebutuhan penilaian baik”. Di luar itu, masih ada lagi faktor mandeknya fungsi tersebut karena ”demi nama baik lembaga” dan ”solidaritas korps” yang keblinger.
(Bambang Kesowo, Ketua Dewan Penasihat Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas, Pengajar Sekolah Pascasarjana FH UGM)