Salah satu ancaman utama yang dihadapi generasi emas adalah gempuran industri rokok yang menyasar mereka. Sementara sederet riset membuktikan Indonesia masih menduduki peringkat atas perokok tertinggi di dunia.
Oleh
FAISAL BASRI
·4 menit baca
Pemerintah menggadang-gadang Indonesia bakal menjadi negara maju dan berpendapatan tinggi sebelum 2045. Sekarang, Indonesia masih negara berpendapatan menengah-bawah. Ujung tombak untuk mewujudkan target itu adalah Gen Z yang kini berusia 10-25 tahun sebanyak 28 persen. Ketika merayakan seabad Indonesia merdeka nanti, mereka berusia 33-48 tahun.
Pelapisnya, post-Gen Z yang sekarang berusia sembilan tahun ke bawah sebanyak 11 persen. Pada 2045, generasi pelapis ini berusia di bawah 32 tahun. Kedua generasi emas itu sekarang hampir mencapai 40 persen. Bonus demografi tersebut akan bisa kita nikmati jika mereka menjadi generasi unggul dengan produktivitas tinggi. Modal utamanya adalah pendidikan berkualitas dan sehat jasmani-rohani.
Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan learning loss yang cukup serius dalam proses pembelajaran generasi emas. Tampaknya pemerintah menyadari harus menyusul ketertinggalan ini sebagaimana tampak dari kenaikan belanja pemerintah pusat untuk fungsi pendidikan di RAPBN 2023 menjadi Rp 231 triliun, dari Rp 197 triliun (outlook APBN 2022), naik sebesar 17 persen.
Namun, tidak demikian untuk belanja fungsi kesehatan yang justru turun tajam dari Rp 147,7 triliun menjadi Rp 97,6 triliun, merosot 33,9 persen. Pemerintah sejauh ini belum menunjukkan komitmen yang kuat untuk mengistimewakan sektor kesehatan demi melindungi generasi emas.
Salah satu ancaman utama yang dihadapi generasi emas adalah gempuran industri rokok yang menyasar mereka.
Tertinggi di dunia
Salah satu ancaman utama yang dihadapi generasi emas adalah gempuran industri rokok yang menyasar mereka. Hasilnya, sederet riset membuktikan Indonesia masih menduduki peringkat atas perokok tertinggi di dunia.
Indonesia bahkan menjadi satu dari tujuh negara yang tak menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) meski anggota G20, negara-negara di Asia, dan negara-negara Islam sepakat dengan kerangka pengendalian tembakau ini.
Di sisi lain, pemerintahan Joko Widodo belakangan sigap menyelesaikan berbagai permasalahan di masyarakat, hingga membuat berbagai satuan tugas untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng, meningkatkan investasi fisik, kasus asuransi Jiwasraya, hingga memburu utang penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang telah menguras anggaran negara hingga Rp 650 triliun akibat krisis 1998.
Terlepas dari baik atau buruknya solusi yang diberikan, ini menunjukkan ada keseriusan pemerintah. Sayangnya, dampak nyata industri rokok terhadap penurunan kualitas SDM tak pernah mendapatkan perhatian khusus seperti itu.
Padahal, Presiden mempunyai visi mencetak SDM unggul untuk mewujudkan Indonesia maju. Semua negara di dunia sepakat, rokok adalah barang membahayakan yang menimbulkan berbagai jenis penyakit sehingga konsumsi dan peredarannya harus dikendalikan. Sebab, jika tingkat perokok terus meningkat, cepat atau lambat produktivitas SDM di Indonesia akan tergerus dan kian tertinggal dari negara-negara tetangga.
Tahun 2013, tingkat prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun sebesar 7,2 persen. Pemerintahan Jokowi mencanangkan penurunan jumlah perokok anak-anak menjadi 5,4 persen pada 2019, sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.
Alih-alih tercapai, angka itu justru melonjak hingga 9,1 persen pada 2018 dan hanya turun tipis menjadi 9 persen di 2021. RPJMN 2020-2024 pun hanya mematok target sangat konservatif 8,7 persen untuk prevalensi merokok anak di 2024.
Pada 2020 prevalensi perokok dewasa di Indonesia 37,6 persen, tertinggi kelima di dunia.
Tak cukup kenaikan cukai
Tak hanya pada anak-anak, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Global Adult Tobacco Survey yang dipublikasikan pada 2021 juga menunjukkan tingkat prevalensi perokok dewasa masih sangat tinggi. Pada 2020 prevalensi perokok dewasa di Indonesia 37,6 persen, tertinggi kelima di dunia. Bahkan prevalensi perokok laki-laki dewasa Indonesia adalah yang tertinggi di dunia, 71,3 persen.
Meskipun pemerintah konsisten menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) hampir setiap tahun, instrumen fiskal ini belum cukup. Buktinya, pada 2021 rata-rata kenaikan tarif CHT sebesar 12,5 persen, tetapi tingkat prevalensi merokok anak 10-18 tahun stagnan dari 2020 ke 2021 di 9 persen. Untuk itu, pemerintah perlu merombak kebijakan pengendalian rokok.
Pertama, menaikkan harga jual eceran (HJE) rokok secara signifikan agar efeknya bisa maksimal menekan konsumsi rokok. Ini dibarengi dengan kontrol dari otoritas berwenang di lapangan untuk membuktikan kebenaran HJE rokok terutama di tingkat ritel.
Kedua, simplifikasi tarif cukai rokok menjadi hanya tiga lapis (layer), sebab aturan saat ini terdapat delapan lapis. Pemerintah baru berani mengurangi jumlah layer menjadi delapan tahun ini. Selama empat tahun sebelumnya, yakni 2018-2021, jumlah lapis tarif CHT konsisten sepuluh layer.
Ketiga, pemerintah harus berani membuat aturan jumlah batang rokok dijual tidak kurang dari 20 batang per bungkus, dan berlaku untuk semua jenis rokok, sigaret keretek tangan (SKT), sigaret keretek mesin (SKM), dan sigaret putih mesin (SPM) untuk meredam money illusion.
Skema kebijakan ini akan efektif menurunkan tingkat prevalensi merokok anak usia 10-18 tahun lebih progresif dari target RPJMN, sebab harga rokok jadi benar-benar tak terjangkau. Pemerintah perlu merumuskan ini dalam kebijakan pengendalian rokok 2023. Melihat kenyataan pada 2014 dan 2019, pada 2024 besar kemungkinan CHT tak naik seiring adanya pilpres.
Apalagi, sekarang pemerintah dan DPR tengah merumuskan APBN 2023. Jika harga rokok secara drastis meningkat, ini akan mengurangi beban anggaran pemerintah untuk mengatasi masalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang langganan defisit. Dengan begitu, kita lebih optimistis, slogan pemerintah ”SDM unggul, Indonesia maju” bakal mendekati kenyataan.
Faisal Basri,Ahli Ekonomi; Peneliti Senior Indef; Anggota Dewan Penasihat Komnas Pengendalian Tembakau